OKNUM polisi main tembak sudah sering terjadi. Tapi tindakan Kopral Dua Abi Sofian, Kepala Pos Polisi Sungaitabuk, Waringin Barat, Kalimantan Tengah, menyudahi nyawa tujuh nelayan pukat harimau, terhitung luar biasa. Mahkamah Militer I Banjarmasin, yang bersidang di Pangkalan Bun baru-baru ini, pun berpendapat tmdakan Abi keterlaluan. Sebab itu selain dipecat dari dinas ABRI, Abi vonis hukuman penjara seumur hidup. Suatu malam Januari lalu, Abi mendapat informasi dari beberapa nelayan di tempatnya bertugas tentang sebuah kapal pukat harimau yang lagi beroperasi di perairan sekitar Pangkalan Bun. Dengan kapal klotok milik seorang nelayan, Abi segera turun ke laut, bersama empat orang nelayan, Syahrul, Djami'an, Muhan, dan Mardan. Berbekal karabin berisi 12 peluru, dan parang serta tombak di tangan nelayan itu, mereka mendekati kapal pukat harimau yang dicurigai, Purnama 1, yang lagi melego jangkar dengan lampu menyala. Begitu kedua kapal merapat, sekitar pukul 02.00 dinihari, Abi Sofyan, yang bercambang lebat. segera meloncat ke Purnama I. "Menyerah dan angkat tangan," kata Abi, sambil menodongkan karabinnya, bagai di film serial televisi. Delapan orang awak kapal Purnama I, yang lagi sibuk memilih ikan dan udang, kaget. Belum habis kekagetan itu, Abi berteriak memerintahkan mesin kapal nelayan, asal Jakarta itu, dimatikan. Tapi setelah mesin kapal mati, menurut Subandi satu-satunya korban yang selamat - pembantaian terjadi. Peluru pertama dari karabin Abi, cerita Subandi, menerjang temannya Sali. Menyusul Masad, lalu Wardi dan Subandi. Untung bagi Subandi, peluru hanya menyambar kakinya. Ia jatuh dan langsung pura-pura mati. Setelah itu, Abi menuju ke belakang kapal. Di situ ia menemukan empat orang rekan Subandi yang lain, Wantoro, Abu Hari, Paswan, dan Asa. "Saya nelayan biasa, Pak," ratap salah seorang dari nelayan itu, minta dikasihani. Tapi Abi tak peduli. Bagai Jango, karabinnya kembali memuntahkan timah panas sehingga keempat awak kapal itu terjungkal. Kemudian Abi mengangkat tubuh-tubuh berlumuran darah tersebut, termasuk Subandi, dan membuangnya ke laut. Setelah mengumpulkan semua harta benda di kapal itu, termasuk ikan-ikan hasil tangkapan para korban, Abi kembali ke kapal klotok temannya. Untuk menghilangkan jejak sebelumnya, ia membuka keran kapal Purnama I agar kapal itu tenggelam. Ternyata, jejak Abi masih berbekas. Subandi, yang dikira mati, segera naik ke kapalnya, begitu Abi dan pengiringnya berlalu. Ia bahkan berhasil menyelamatkan kapalnya dengan menutup kran kembali. Esoknya, Subandi diselamatkan nelayan setempat yang menemukan kapal Purnama terombang-ambing tak terarah di laut. Lima di antara tujuh temannya, beberapa hari kemudian, ditemukan dalam keadaan membusuk sehingga sulit dikenali. Peristiwa pembantaian itu kemudian dilaporkan Subandi ke polisi Pangkalan Bun. Tapi celaka bagi Subandi, yang menerima laporannya di pos polisi itu ternyata Abi Sofyan sendiri. Ia ingat persis suara polisi itu. Dan, tampaknya, Abi pun terkejut atas kedatangan Subandi. Melihat gelagat tak menguntungkan itu, Subandi terpaksa berbohong. Ia melapor bahwa kakinya tertembak oleh orang tak dikenal. Tapi, "Kami tidak melakukan patroli tadi malam," jawab Abi. Subandi, yang berasal dari Banyumas itu, tak memperpanjang ceritanya. Barulah, ketika ia bertemu dengan polisi lain, Basori, yang juga berasal dari Banyumas, ia laporkan peristiwa pembantaian itu seluruhnya. Atas laporan itu, Abi Sofyan yang kelahiran Barabai, Kalimantan Selatan, ditangkap. Di persidangan, Abi membantah telah menembak mati ketujuh nelayan itu dengan membabi buta. Senjata laras panjang itu ditembakkannya, alasan Abi, lantaran kapten kapal, Wantoro, mencoba melawan dan merebut senjatanya itu. Sementara itu, nelayan yang lain, katanya, tak mengindahkan tembakan peringatan, yang dilakukannya. Malah, kata Abi, para nelayan itu mencoba mengeroyok dengan berbagai alat pemukul. Cerita Abi itu dipatahkan Subandi. Ia lebih tidak berkutik ketika empat nelayan, yang malam itu mengikuti operasinya, dihadapkan sebagai saksi. Menurut para nelayan, temannya itu, setelah pembantaian terjadi, Abi memerintahkan mereka menjarah isi kapal Purnama I antaranya teropong, jam dinding, serta udang hasil tangkapan korban, sebanyak 2 ton. Udang itu, menurut para saksi, dijual Rp 2 juta. Keempat nelayan itu mengaku kebagian masing-masing Rp 50 ribu, sedang sisanya untuk Abi Sofyan. Berdasar bukti-bukti itu Abi dituntut Oditur Letkol. CKh. Soewardi hukuman penjara seumur hidup serta dipecat dari dinas ABRI. Tuntutan itu, akhir Maret lalu, dikabulkan majelis hakim yang diketuai Letkol. TNI AL Arsyad Gafar. Vonis setimpal agaknya buat pembantai itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini