KOMPUTERISASI sistem administrasi bank ternyata tak luput dari
incaran "bandit bank". Buktinya, Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Cabang Yogyakarta kebobolan Rp 845 juta, setelah memakai mesin
komputer Olivetti untuk mengecek dana nasabah. Komplotan yang
juga melibatkan oknum-oknum BRI telah mengubah mesin komputer
itu seakan-akan dana seorang nasabah selalu dalam keadaan cukup
untuk membayar cek-cek yang ditarik.
Kejaksaan Yogyakarta, yang hari-hari ini sibuk mengusut,
menyatakan telah berhasil menemukan kunci permainan baru
tersebut. Seorang nasabah BRI yang juga nasabah Bank Niaga
Yogya, Liaw Yoen Tjian alias Atjen, disangka sebagai pemegang
peran penting dalam kasus ini. Atjen, pemilik Toko Serimpi di
Jalan Ketandan, Yogyakarta, sejak September sampai Desember
telah membuka cek BRI sebanyak 44 lembar dengan nilai Rp 845
juta itu. Cek itu disetorkannya ke rekeningnya di Bank Niaga.
Tentu saja proses antar-bank itu harus melalui lembaga clearing.
Di sinilah kebobolan terjadi. Ketika petugas BRI mengecek dana
Atjen, mesin komputer yang sudah ditukangi, selalu menisyaratkan
cukup padahal sebenarnya tidak cukup. Tentu saja setiap kali
BRI harus membayar kepada Bank Niaga. Dan giliran berikutnya,
Atjen menarik uang dari Bank Niaga, yang tentu saja tak ada
persoalan lagi.
Dari pengusutan kejaksaan ditemukan orang-orang yang berperan
memainkan "mesm pintar". Seoran kepala Bagian Pembukuan di BRI,
Salip Jamhari, yang dituduh mengatur mesin itu. Anehnya, sebagai
pegawai bagian pembukuan Salip juga bebas memasuki kamar
komputer. Karena ulah Salip ini, menurut penusut, saldo Atjen
di BRI tidak pernah berubah walau berapa besar cek dibuka dan
tanpa pernah ada setoran. Untuk perannya itu, menurut pengusut
lagi, Salip pernah dapat imbalan Rp 10 juta.
Pihak BRI tampaknya baru menyadari ada ketidakberesan pada
Februari lalu. Dalam suratnya tertanggal 15 Februari Kepala
Cabang BRI, R. Slamet Wiriokusumo, menegur Atjen agar menutupi
ketekoran dananya sebesar Rp 350 juta (waktu itu baru sebanyak
itu yang diketahui). Surat yang disertai berbagai ancaman -
misalnya akan dilaporkan kepada yang berwajib - rupanya tldak
digubris oleh Aten.
Sekitar 10 hari kemudian Slamet mengirimkan surat yang kedua.
Kali ini Atjen diminta menyetorkan uang sebanyak Rp 845 juta.
Disebutkan dalam surat itu bahwa telah diskors dua karyawan BRI,
Salip dan Junaedi, karena meloloskan cek Atjen. "Kalau saudara
masih ingin hidup normal dan ingin berhubungan baik dengan
pemerintah harap segera mengadakan penyetoran," ancam Slamet.
Agaknya Atjen memang telah bertekad tidak memenuhi segala macam
teguran. BRI lalu menyerahkan urusan kepada Kejaksaan Tinggi
Yogyakarta. Kepala Kejaksaan Tinggi cepat-cepat membentuk tim
yang terdiri dari Soehadi Muslam, M. Simanjuntak, Sutarmo dan
Bayu Hutabarat. "Dalam tempo satu jam kami sudah tahu cara kerja
komputer, ujar seorang anggota tim. Dan beberapa hari kemudian
semua permaman di BRI bisa terungkap. Senin pekan lalu,
kejaksaan resmi menangkap AtJen, setelah lebih dulu menahan
Salip.
Masih bujangan, Atjen (28 tahun) kepada TEMPO malah mengaku,
tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi di BRI. "Yang jelas
saya mengeluarkan cek dan bank menyatakan ada dananya," ujar
Atjen dengan tenangnya.Bahkan, pedagang muda yang bertubuh tegap
dan wajah ganteng itu? merasa tidak pernah membuka cek yang
tldak ada saldonya. "Kurang satu rupiah pun bank pasti tahu,"
kata Atjen.
Menurut Atjen, ia baru tahu ada ketekoran di BRI, setelah Kepala
Cabang BRI, Slamet, datang ke rumahnya 9 Februari lalu. "Saya
tentu saja kaget ketika Pak Slamet menatakan saya telah
mengambil uang melebihi dana sebesar Rp 350 juta," katanya.
Waktu itu pula, kata Atjen, pimpinan BRI menyodorkan surat di
atas segel yang harus ditekennya sebagai pernyataan bahwa ia
telah salah menarik cek. Tapi ditolaknya.
Proses hukum selanjutnyalah yang akan menguii penyangkalan AtJen
dan be erapa pegawai BRI yang disebut-sebut terlibat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini