SETELAH naik turun bukit, menerobos semak dan rawa, beberapa
orang berpakaian petani tiba di rumah seorang janda cantik di
Kawengan. Denan gerakan yang amat gesit, para "bapak tani" tadi
tiba-tiba mengeluarkan senjata api dari balil. kain sarung,
langsung dikokang, dan salah seorang dari mereka membentak:
"Jangan bergerak! Rumah ini sudah terkepung!" Is, 28 tahun,
pacar si janda cantik yang sedang tidur siang segera menyerah.
Ia diringkus oleh para bapak tani yang ternyata anggota SSR
(Satuan Setingkat Regu) dari Arhanudri 15 (Artileri Pertahanan
Udara Ringan) Sabtu dua pekan lalu. Itulah sedikit cerita dari
"operasi militer" di Semarang Selatan.
Is, bukan sisa gerombolan DI/TII yang mengganas tahun 1950-an di
Jawa Barat, melainkan sisa anggota komplotan perampok yang
senang beraksi ramai-ramai di Semarang Selatan. ABRI terpaksa
turun tangan karena pimpinan rampok, bernama Muid, adalah bekas
anggota Marinir AL yang melakukan desersi. Ia diketahui membekal
senjata api. Dalam menjalankan aksinya, yang melibatkan sampai
50 orang, Muid selalu menggunakan taktik militer. Desember 1982
lalu ia memimpin perampokan di seputar Semarang Selatan. Antara
lain di Desa Meteseh, Tembalang, Srondol dan Jabungan (TEMPO, 15
Januari 1983).
Nasib Is masih baik - karena mau menyerah secara baik-baik. Lain
halnya Hadi alias Bagong, 24 tahun, penduduk Jabungan. Ketika
&sergap petugas Koramil V Semarang, ia nekat berlari, zig-zag.
Tembakan peringatan tak digubris, akhirnya "dor!", sebutir timah
panas menghantam punggungnya. Ia langsung tersungkur dan menemul
ajalnya di tempat itu juga.
Muid sendiri tertangkap 2 Februari lalu di daerah Bandungan,
Ambarawa, dengan cedera di kaki dan tangan. Ia di-"dor" karena
mencoba melawan. Dari rumahnya, di Peterongan, petugas menemukan
empat granat dan belasan peluru - di antaranya peluru senjata
M-16 - dan beberapa barang lain. Dalam perjalanan kembali ke
Semarang, Muid tiba-tiba meloncat dari kendaraan dan mencoba
lari. Tapi, belum sempat lolos terlalu jauh, ia terjerembab
diteriang peluru. Mati.
Anak buah Muid yang juga mati ditangan tentara ialah Sofyan, 30
tahun, dan Suradi, .25 tahun. Keduanya penduduk Desa Jabungan
dan memang dikenal sebagai penjahat kambuhan. Mereka dikubur
awal bulan ini dan sampai pekan lalu suasana duka masih terasa
di rumah mereka. "Walau bagaimanapun ia tetap anak saya. Dan
saya tak tahu kalau ia ....," kata ibu kandung Suradi dengan
berurai air mata.
Sofyan meninggalkan seorang istri, Parminah, 21 tahun, dan tiga
anak perempuan kecil yang lucu dan montok: Sriati (6 tahun), Ika
Haryani (3 tahun) dan Indayani (8 bulan). "Saya memang tak tahu
persis apa pekerjaan Kang Pian yang sebenarnya. Tapi ia jarang
di rumah dan katanya, jadi penggali sumur di Perumnas
Banyumanik," kata Parminah sendu.
Sampai pekan lalu sudah 38 anggota kawanan perampok Semarang
Selatan tergulung. Delapan orang tertangkap mati dan 28
tertangkap hidup. Sisa kawanan perampok kini praktis sudah tak
mempunyai kekuatan apa-apa. Penduduk Semarang Selatan pun mulai
tenang dan bisa tidur nyenyak.
"Tapi kami belum berani mengatakan daerah ini aman benar. Siapa
tahu mereka mengamuk lagi secara mendadak," kata seorang petugas
Koramil. Kesiap-siagaan memang nampak sekali di Posko Kramas dan
Jabungan. Pasukan Arhanudri 15 yang dikomandani Mayor Art Y.B.
Wirawan juga siaga penuh 24 jam di Posko darurat di Desa
Meteseh. Para petugas keamanan mendapat dukungan penuh dari
masyarakat. Penyergapan terhadap Is di Kawengan, misalnya,
adalah berdasarkan informasi penduduk yang melihat bajingan itu
tiba-tiba muncul menemui pacarnya.
Menurut Kepala Penerangan Laksusda Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta, Letkol Antono Margie, tindakan Muid nampaknya bukan
hanya tindak kriminal biasa. "Perampokan yang mereka lakukan
mengarah ke tendensi politik," kata Antono kepada TEMPO,
memberikan alasan perlunya "operasi militer" di Semarang
Selatan. Aksi rampok yang melibatkan anggota sampai 50 orang,
seperti terjadi di Meteseh Desember lalu, sebenarnyalah memang
tak cukup membawa hasil bagi si pengacau. Dari rumah Mahfud,
misalnya, mereka hanya bisa mendapat uang tunai Rp 29 ribu.
Maklum, penduduk di bilangan Semarang Selatan yang sebagian
besar petani, hidupnya boleh dibilang hanya pas-pasan.
"Kalau ingin kaya, mengapa tidak merampok perusahaan besar
saja?" Seperti dipertanyakan Hartono. Jawabnya? "Kini sedang
diusut," ujar Antono lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini