Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMPURAN itu berpindah medan. Setelah bertahun-tahun berlaga dan menjadi pecundang di dalam negeri, pemerintah Kalimantan Timur akhirnya memilih lapangan lain untuk ”berperang”. Pilihan kali ini adalah International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) alias pengadilan arbitrase. Inilah babak akhir perjuangan provinsi tersebut mendapatkan saham Kaltim Prima Coal (KPC), perusahaan batu bara yang kini dimiliki Bumi Resources—perusahaan milik kelompok usaha Bakrie.
Pada akhir Januari lalu kantor ICSID di New York memberikan kabar: gugatan Provinsi Kalimantan Timur diterima. Putusan pengadilan ini kelak akan menentukan apakah Kalimantan Timur berhak mendapat 32,4 persen saham KPC atau sebaliknya: menjadi penonton sementara kekayaan buminya dikeruk KPC. ”Ini langkah terakhir, karena kami tak puas dengan penyelesaian di dalam negeri,” kata Didi Dermawan, pengacara pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Kisruh perebutan saham KPC ini dimulai 14 tahun silam, saat perusahaan milik Rio Tinto dan British Petroleum (BP) mendapat hak menambang batu bara di Kalimantan Timur. Ketika itu, menurut perjanjian, bukan saja royalti yang wajib disetor KPC, tapi perusahaan itu dikenai kewajiban melakukan divestasi alias menjual sahamnya ke ”pihak nasional”. Kata ”nasional” di sini berarti pemerintah pusat, atau pemerintah daerah tingkat satu dan dua. Perjanjian itu juga menyatakan, pada tahun kesepuluh divestasi itu harus mencapai angka maksimal, 51 persen alias saham mayoritas.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bernafsu memiliki saham itu. Sejak saham ditawarkan baru 37 persen, pemerintah Kalimantan Timur sudah menawar. Tapi KPC tak menanggapi. Saat penawaran saham mayoritas dibuka pada 2001—setelah 10 tahun beroperasi—Kalimantan Timur kembali mengajukan diri untuk membeli saham tersebut. Tapi, lagi-lagi, pemerintah Kalimantan Timur hanya gigit jari (lihat Sengketa Sampai Jauh).
Merasa KPC telah melanggar kesepakatan, pemerintah Kalimantan Timur pada 2001 menggugat perusahaan tambang tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka meminta perusahaan itu membayar ganti rugi US$ 776 juta (sekitar Rp 7,76 triliun). Jumlah itu setara dengan dividen yang menurut mereka hilang akibat keterlambatan divestasi. Tapi, lantaran KPC menawarkan perdamaian, pemerintah Kalimantan Timur mencabut gugatannya. KPC menjanjikan proses divestasi akan dilakukan lagi. Tapi, belum lagi proses itu rampung, Rio Tinto dan British menjual 100 persen saham mereka di KPC kepada Bumi Resources Tbk., perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga Bakrie.
Inilah yang membuat para pejabat Kalimantan Timur berang. Gubernur Suwarna membawa sengketa ini ke pengadilan arbitrase. Pada pertengahan tahun lalu gugatan berikut dokumen seputar perjanjian divestasi itu mereka kirim ke kantor ICSID di New York. ”Harapan kita sekarang memang di arbitrase,” kata Didi. Selain Bumi Resources, yang ikut digugat adalah Rio Tinto Plc., BP Plc., Sangatta Holding Ltd., dan BP International Ltd. Untuk biaya pendaftaran gugatan itu, sedikitnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merogoh kocek Rp 250 juta.
Menurut Didi, ia optimistis akan menang lantaran dalam kontrak penambangan dinyatakan pemerintah daerah adalah bagian dari pemerintah nasional. ”Apalagi ada keputusan dari rapat kabinet dan rapat koordinasi para menteri yang menyatakan pemerintah provinsi berhak atas sebagian saham yang didivestasi.” Optimisme Didi bertambah karena sepanjang 41 tahun sejarah ICSID, baru kali ini gugatan pemerintah daerah melawan investor asing diterima pengadilan.
Namun lawan-lawan Provinsi Kalimantan Timur juga sudah bersiap diri. Rio Tinto, misalnya, sudah menyiapkan pengacara kondang Todung Mulya Lubis untuk bertempur di meja arbitrase. Adapun KPC sudah menyiapkan pengacara dari kantor Baker and Botts L.L.P.
Di mata Todung, pemerintah daerah tidak punya hak menggugat ke pengadilan arbitrase. ”Yang berhak hanya pemerintah pusat sebagai representasi negara,” katanya. Todung lantas menunjuk saat Tinto dan BP dibeli Bumi Resources. ”Pemerintah pusat ketika itu juga tidak menyatakan keberatan atau melakukan upaya hukum apa pun,” ujarnya.
Untuk ”mengunci” langkah Kalimantan Timur di sidang arbitrase, Todung sudah mengirim surat ke Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Simon Sembiring, mempertanyakan ada-tidaknya persetujuan pusat dalam gugatan yang dilakukan pemerintah Kalimantan Timur. Dalam surat tanggapannya, ujar Todung, Simon menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak pernah memberikan persetujuan. Simon juga menyatakan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tidak punya hak dalam divestasi.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, sependapat dengan Todung. ”Tanpa kuasa atau penunjukan pemerintah pusat, sangat sulit meneruskan sidang,” kata guru besar UI ini. Apalagi, ujarnya, kontrak perjanjian penambangan batu bara itu ditandatangani antara pemerintah pusat dan KPC. ”Jadi, terserah pemerintah pusat menunjuk siapa saja,” katanya. Namun Didi tak patah arang. Katanya, ”Saya yakin, setidaknya pengadilan ini tak bisa diintervensi siapa pun.”
I G.G. Maha Adi
Sengketa Sampai Jauh
SENGKETA perebutan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) akhirnya sampai ke pengadilan arbitrase. Enam tahun berjuang mendapatkan saham KPC dan akhirnya gagal, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur membawa kasus ini ke International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID)-pengadilan arbitrase di New York. Inilah jalan panjang kasus ini.
8 April 1982 Kaltim Prima Coal, perusahaan pertambangan batu bara milik Rio Tinto dan British Petroleum, meneken Perjanjian Karya Pengusahaan dan Penambangan Batubara (PKP2B) dengan pemerintah Indonesia. Perjanjian itu mewajibkan mereka menawarkan (divestasi) sahamnya kepada Indonesia hingga maksimal 51 persen pada tahun kesepuluh.
1 Januari 1992 KPC mulai beroperasi secara komersial.
1 Mei 2001 Setelah 10 tahun beroperasi, KPC mendivestasi 51 persen sahamnya kepada pemerintah seharga US$ 453,5 juta (sekitar Rp 4,5 triliun).
20 November 2001 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka minta proses divestasi dihentikan karena KPC dan pemerintah pusat dinilai mengabaikan tawaran pemerintah provinsi. Gugatan ini dikabulkan pengadilan.
9 April 2002 Pengadilan mencabut putusan perintah penghentian proses divestasi. Keputusan ini diambil setelah terjadi ”perdamaian” antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, pemerintah pusat, dan KPC.
30 Juli 2002 Pemerintah memutuskan, 20% saham KPC diberikan kepada pemerintah pusat dan 31% untuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Timur.
16 Juli 2003 PT Bumi Resources Tbk. membeli seluruh saham KPC. Saat itu negosiasi KPC dengan Pemerintah Kalimantan Timur belum selesai.
22 Juli 2003 Pemerintah menilai penjualan saham KPC melanggar kontrak. Alasannya, hak kontraktor tak dapat dialihkan tanpa mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Juni 2004 Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mendapat jatah divestasi 18,6% senilai US$ 104 juta (Rp 1,4 triliun). Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum mendapat haknya, 32,4% saham.
30 Juni 2004 Untuk divestasi lanjutan, Bumi Resources mengajukan harga seluruh saham KPC senilai US$ 1,978 miliar (sekitar Rp 20 triliun). Harga yang disepakati dengan pemerintah akhirnya US$ 1,4 miliar (Rp 14 triliun).
21 Maret 2005 Bumi Resources memilih PT Sitrade Nusaglobus sebagai pembeli 32,4 persen saham KPC. Bumi menyatakan seluruh divestasi telah selesai.
5 April 2006 Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur membawa kasus ini ke International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID)-pengadilan arbitrase di New York.
16 April 2006 Direktur Jenderal Geologi, Simon Sembiring, menyatakan Provinsi Kalimantan Timur tidak mempunyai hak dalam divestasi KPC.
18 Januari 2007 ICSID menyatakan gugatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur ini diterima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo