Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bau Anyir Makin Menyengat

Komisi Yudisial terus memanggil saksi-saksi yang diduga mengetahui adanya duit di balik dikabulkannya putusan peninjauan kembali Sudjiono Timan. Penelusuran Tempo menunjukkan sejumlah pelanggaran prosedur.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA muncul dengan penampilan tak seperti biasanya: pakaian serba hitam dan stoking-juga warna hitam-yang membungkus kakinya. Rambutnya juga tertutup semacam wig. Rasa waswas, seperti takut tepergok orang, terlihat dari langkahnya yang bergegas masuk ke gedung Komisi Yudisial di kawasan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Rahayuningsih datang lebih awal satu setengah jam dari waktu yang dijadwalkan. Rabu dua pekan lalu, Komisi Yudisial memang mengagendakan memeriksa perempuan yang sehari-hari menjabat asisten Hakim Agung Syarifuddin ini. Naning-demikian Rahayuningsih biasa dipanggil-akan dimintai keterangan oleh tim investigasi Komisi yang tengah menyelidiki ada-tidaknya dugaan suap di balik dikabulkannya perkara peninjauan kembali terpidana korupsi Sudjiono Timan pada akhir Juli lalu.

Tim investigasi sejak pertengahan September lalu telah menjadwalkan memanggil sejumlah saksi yang diduga mengetahui apa yang terjadi di balik dikabulkannya PK itu. Naning, yang sebelumnya merupakan asisten Hakim Agung Djoko Sarwoko, diharapkan dapat memberi petunjuk perihal adanya aliran suap kepada hakim agung.

Komisi Yudisial memang mencium bau busuk di balik dikabulkannya peninjauan kembali itu. Kepada Tempo, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki menyatakan, beberapa saat setelah majelis hakim memutuskan mengabulkan PK Sudjiono, ia mendapat panggilan telepon dari seseorang di Mahkamah Agung. "Saya sangat percaya informasi yang ia berikan," ujarnya.

Sang penelepon melaporkan, dia pernah melihat seseorang wanita membawa sebuah amplop yang diduga berisi uang ke kamar kerja seorang anggota majelis hakim peninjauan kembali Sudjiono. Tapi hakim agung yang terkejut disodori uang itu, menurut penelepon tersebut, menolak dan meminta sang perempuan pergi. Naning disebut-sebut tahu perihal "peristiwa amplop" itu.

Rabu dua pekan lalu, soal ini pula yang dicecar tim investigasi kepada Naning. Satu setengah jam "disidang", menurut anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Syahuri, perempuan 51 tahun itu lebih banyak memberikan jawaban tidak tahu. Padahal, kata Taufiq, Naning diharapkan membantu mengungkap dugaan suap terhadap majelis hakim PK Sudjiono.

Dicegat Tempo setelah diperiksa tim investigasi Komisi Yudisial, Naning menutup mulutnya rapat-rapat. Ia terlihat terkejut ketika ada wartawan yang melihatnya. "Saya tidak tahu, tidak tahu," ujarnya ketus saat ditanya apakah benar dia yang membawa uang ke majelis hakim. Naning lalu memasuki taksi di depan gedung Komisi Yudisial dan menghilang.

Dikabulkannya peninjauan kembali Sudjiono Timan sampai kini "meninggalkan" PR untuk Komisi Yudisial. Komisi ini kini tengah menelisik sejumlah keganjilan di balik dikabulkannya PK tersebut. Peninjauan kembali itu dikabulkan saat Sudjiono, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, buron setelah majelis hakim agung kasasi memvonisnya dengan hukuman 15 tahun penjara serta diharuskan membayar denda Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 369 miliar. Kendati buron, Yujin-begitu Sudjiono disapa oleh koleganya-disebut-sebut kerap terlihat di sebuah kawasan elite di Singapura. Delapan tahun kemudian, Fanny Barki, istri Sudjiono, mendaftarkan permohonan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam berkas permohonan PK, pengacara Fanny, Hasdiawati, partner di kantor pengacara Lukas, mengutip Pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 sebagai dasar mengajukan peninjauan kembali-sekalipun Sudjiono masih buron. Pasal itu, seperti tertulis di berkas permohonan PK, menyebutkan, "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung."

Pengacara Fanny juga mengutip pemikiran mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap dalam bukunya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Belakangan Yahya menyesalkan pemikirannya yang dikutip keliru itu. "Hak untuk mengajukan upaya hukum apa pun hanya diberikan kepada yang menaati hukum," katanya. Yahya juga menyebutkan pengabulan PK Sudjiono itu sebuah kecerobohan.

Menurut mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko, berkas peninjauan kembali Sudjiono masuk ke MA pada 6 Juni 2012. Di hari yang sama, ia menetapkan majelis hakim. Djoko memilih dirinya sendiri sebagai ketua majelis, sedangkan Andi Samsan Nganro dan Abdul Latief sebagai anggota majelis.

Sidang pertama yang digelar pada 10 Desember 2012 gagal membuat putusan. Djoko menunda sidang. "Pak Andi Samsan terlambat datang," ucap Djoko, yang saat itu menjabat Ketua Kamar Pidana Khusus, kepada Tempo.

Setelah itu, Djoko memutuskan menambah jumlah majelis hakim menjadi lima orang. Menurut dia, itu karena jumlah kerugian negara di atas Rp 50 miliar. "Ini sesuai dengan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2009," ujarnya. Belakangan, karena dia akan segera pensiun, Djoko menunjuk Suhadi sebagai ketua majelis, dengan anggota Andi Samsan Nganro, Abdul Latief, Sofyan Martabaya, dan Sri Murwahyuni.

Djoko menunjuk Suhadi sebagai ketua majelis. "Waktu itu sudah diproyeksikan menggantikan saya. Dia memang baru satu setengah tahun jadi hakim agung, tapi paling menguasai undang-undang dan memimpinnya bagus," kata Djoko memberi alasan. Menurut Djoko, tidak ada aturan yang menyatakan bahwa perkara PK hanya dipegang oleh hakim senior. "Di MA tidak berlaku unsur senioritas," dia menjelaskan.

Sidang kedua digelar pada 31 Juli 2013 dan majelis hakim memutuskan mengabulkan peninjauan kembali Sudjiono. Namun putusan itu tidak bulat. Hakim Agung Sri Murwahyuni menolak mengabulkan PK. "Dia melawan hukum, tapi kok menuntut haknya. Jadi, ini ironis sekali," ujar Sri kepada Tempo.

Sumber Tempo menyebutkan sejumlah keganjilan memang terlihat nyata dalam perkara PK Sudjiono tersebut. Itu antara lain dengan munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Inti surat itu: diperbolehkannya pengajuan peninjauan kembali oleh ahli warisnya. Surat itu bertentangan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1988 yang ditandatangani Ketua MA Ali Said, yang hanya membolehkan terpidana mengajukan PK. SEMA Nomor 1 Tahun 2012 itu terbit sekitar tiga bulan setelah istri Sudjiono mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Jumat pekan lalu, Tempo berupaya meminta konfirmasi Hatta Ali perihal dikeluarkannya Sema 2012. Hatta tak menjawab pertanyaan Tempo. Ia langsung masuk mobil dinas Toyota Camry-nya di depan gedung Mahkamah Agung dan langsung pergi. Panggilan telepon dan pesan pendek yang dilakukan Tempo tidak dibalas.

Bukan hanya Yahya Harahap yang menyesalkan "dicabut"-nya SEMA Nomor 6 Tahun 1988. "Bagi saya, SEMA itu sangat-sangat sakral," katanya. Mantan Ketua Mahkamah Agung A. Harifin Tumpa juga menyesalkan keluarnya Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012. Menurut dia, definisi ahli waris harus merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya, ahli waris efektif digunakan ketika terpidana meninggal. "Tidak ada dasar hukum apa pun buron dapat mengajukan PK," Harifin menegaskan.

Harifin mengaku ada kejanggalan dalam proses keluarnya PK Sudjiono. Dari segi formalitas, kata dia, seharusnya MA sudah sejak awal menolaknya karena alasan istri sebagai ahli waris. "Mahkamah berwenang tidak meregister perkara itu dan menyerahkannya kembali ke pengadilan negeri," ucap Harifin. Kejanggalan bukan hanya soal ahli waris dan sema. Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar mengaku tidak pernah diberi tahu tentang penambahan majelis hakim peninjauan kembali Sudjiono. "Saya tidak pernah tahu."

Menurut Artidjo, pengabulan PK Sudjiono juga tidak dibicarakan dalam rapat. Padahal, kata dia, setelah pembagian perkara di MA beralih ke sistem kamar, ada aturan mewajibkan perlunya rapat kamar dalam membahas perkara yang berpeluang menimbulkan putusan yang tidak bulat oleh majelis hakim. Harifin menyatakan aturan yang disebut Artidjo itu memang ada. Aturan tersebut ditandatangani Harifin pada 19 September 2011. "Sampai sekarang masih berlaku."

Semua keganjilan itu juga sudah jadi masukan tim investigasi Komisi Yudisial. Menurut Suparman, pihaknya telah menjadwalkan sejumlah orang yang akan dimintai keterangan demi mengungkap keganjilan peninjauan kembali Sudjiono. "Komisi memang mencium bau anyir kasus ini," ujar seorang anggota tim investigasi Komisi. "Laporan yang datang makin memperkuat dugaan adanya suap," kata sumber ini.

Dari gedung Mahkamah, Hakim Agung Gayus Lumbuun mendukung langkah Komisi mengungkap apa yang terjadi sebenarnya di balik diloloskannya PK Sudjiono. "Beberapa pelanggaran prosedur pemeriksaan perkara di MA ini juga disebabkan oleh kepemimpinan MA yang oligarki, kepemimpinan sekelompok elite," ucapnya.

Maria Hasugian, Fransisco Rosarians, Khairul Anam, Ahli Ahmad


Bebas Setelah Surat Edaran Baru

Bebasnya terpidana korupsi Sudjiono Timan-yang berstatus buron-lewat upaya hukum peninjauan kembali masih dalam "penyelidikan" Komisi Yudisial. Komisi mencium ada "permainan" di balik bebasnya Sudjiono alias Yujin ini.

2001
Sudjiono "Yujin" Timan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini dituduh merugikan negara Rp 2,2 triliun.

25 November 2002
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Sudjiono dari segala tuntutan hukum.
Majelis hakim: I Gede Putra Jadnya (ketua), Abdul Kadir, dan Syamsu Ali.

3 Desember 2004
Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung menghukum Sudjiono Timan 15 tahun penjara, membayar denda Rp 50 juta, dan mengganti kerugian negara Rp 369 miliar.
Majelis hakim: Bagir Manan (ketua), Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil.

17 April 2012
Fanny Barki, istri Sudjiono Timan, mendaftarkan permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Awal Juni 2012
Berkas permohonan PK Sudjiono Timan masuk ke MA.

6 Juni 2012
Ketua kamar pidana khusus Djoko Sarwoko menetapkan dirinya sendiri sebagai ketua majelis hakim PK Sudjiono Timan, dengan anggota Andi Samsan Nganro dan Abdul Latief.

Akhir Oktober-November 2012
Djoko menerima berkas PK Sudjiono Timan setelah pembaca satu (Andi Samsan Nganro) dan Abdul Latief (pembaca dua) selesai memberikan pendapat hukum.

10 Desember 2012
Sidang PK pertama digelar namun Djoko Sarwoko kemudian menunda sidang karena Andi Samsan terlambat datang.

20 Desember 2012
Djoko Sarwoko menambah jumlah majelis hakim menjadi lima hakim agung.

22 Desember 2012
Djoko Sarwoko pensiun.

Januari-Juni 2013
Tiga anggota majelis hakim yang baru membacakan berkas PK Sudjiono Timan.

31 Juli 2013
Sidang putusan PK Sudjiono Timan. Majelis hakim mengabulkan PK Timan.


Atas Nama Ahli Waris

Peninjauan kembali kasus Sudjiono diajukan istrinya yang menyatakan sebagai ahli warisnya. Sebelumnya MA menyatakan larangan hakim menerima PK jika terpidana tak jelas di mana keberadaannya.

10 Desember 1988
Ketua Mahkamah Agung Ali Said menandatangani Surat Edaran MA Nomor 6 Tahun 1988. Surat edaran ini menegaskan larangan hakim agung menerima permohonan PK terpidana in absentia yang diajukan oleh pengacara atau kuasa hukum.

17 April 2012
Istri buron Sudjiono Timan, Fanny Bakri, mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Fanny mengatakan berhak mengajukan PK dengan alasan sebagai ahli waris.

28 Juni 2012
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menandatangani Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012, menggantikan Surat Edaran MA Nomor 6 Tahun 1988. Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2012 menyebutkan terpidana atau ahli waris sebagai pemohon PK.
Atas dasar inilah permohonan pengajuan PK oleh istri Sudjiono diterima.


Majelis Hakim Perkara Sudjiono

Sidang pertama, 10 Desember 2012
1.Djoko Sarwoko (ketua)
2.Andi Samsan Nganro
3.Abdul Latief
Sidang ditunda karena Andi Samsan terlambat datang.
Posisi: Djoko Sarwoko dan Abdul Latief menolak PK.
Andi Samsan mengabulkan PK.

Sidang kedua, 31 Juli 2013
1.Suhadi
2.Andi Samsan Nganro
3.Abdul Latief
4.Sofian Martabaya
5.Sri Murwahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus