Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan atas pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) makin nyaring saja. Bukan hanya pegiat antikorupsi yang meneriakkan penolakan atas kedua rancangan yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat itu. Lembaga negara semacam Komisi Pemberantasan Korupsi pun protesnya tak kalah kencang.
Bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan, KPK bahkan berencana menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menarik lagi Rancangan KUHP dan KUHAP yang sudah telanjur dikirimkan ke DPR. Alasannya, Rancangan KUHP tak lebih baik dari KUHP lama warisan pemerintah kolonial Belanda. Adapun Rancangan KUHAP penuh pasal jebakan yang bisa memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto terang-terangan mengungkapkan kecurigaan bahwa pembahasan kedua rancangan undang-undang itu tak bakal obyektif. Soalnya, sebagian dari pembahasnya termasuk orang yang sedang bermasalah dengan hukum. "Sebagai pihak terkait, KPK pun tak pernah sekali pun diundang dalam pembahasan," kata Bambang.
Penolakan terhadap pembahasan Rancangan KUHAP sebenarnya baru muncul beberapa bulan terakhir. Sebelumnya, ketika pemerintah resmi menyampaikan Rancangan KUHAP bersama Rancangan KUHP Maret tahun lalu, sebagian peneliti dan praktisi hukum masih punya pilihan. Mereka umumnya menolak Rancangan KUHP, tapi masih bisa menerima Rancangan KUHAP, yang juga dibuat pemerintah. "Dulu kami pernah mendorong pembahasan Rancangan KUHAP didahulukan," kata peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik, Miko Susanto Ginting, Kamis pekan lalu. Kini, karena banyak syarat yang tak tercukupi, "Pembahasan Rancangan KUHAP pun lebih baik ditunda."
Pernah dianggap sebagai produk hukum nasional yang cukup maju di zamannya, menurut ahli hukum pidana Andi Hamzah, KUHAP yang telah berusia 31 tahun itu kini tak mewakili kondisi dan kebutuhan masyarakat. Apalagi belakangan pemerintah meratifikasi berbagai konvensi internasional yang perlu diadopsi dalam perangkat hukum acara pidana.
Konvensi terpenting, antara lain, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi, Konvensi Internasional Anti-penyiksaan, serta Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. "Hukum acara pidana perlu disesuaikan dengan konvensi itu," ucap Andi, yang ditunjuk pemerintah sebagai Ketua Tim Perumus Rancangan KUHAP.
Ternyata penyusunan Rancangan ÂKUHAP oleh pemerintah memakan waktu hampir sepuluh tahun. Pemerintah tak hanya melibatkan ahli hukum nasional dalam merumuskan draf hukum acara baru yang berisi 285 pasal itu. "Rancangan juga disusun lewat studi banding ke 14 negara, seperti Belanda, Prancis, Italia, dan Amerika Serikat," ujar Andi.
Di negara tujuan, tim perumus berdiskusi dengan sejumlah ahli hukum pidana ternama. Sebut saja di antaranya Nico Kijzer dan Scahffmeister dari Belanda serta Iur. Stephen C. Thaman dan Robert Strang dari Amerika Serikat. Di luar negeri, tim perumus juga berdiskusi dengan kalangan jaksa, hakim, polisi, dan pejabat pembuat undang-undang. Pendapat pakar hukum internasional itu dianggap penting karena biasanya mereka lebih obyektif. Selain itu, Rancangan KUHAP nantinya bakal mengikat warga negara asing selama tinggal di Indonesia.
Rancangan KUHAP, kata Andi, dibuat untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat serta lebih melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa. Soal penahanan tersangka, misalnya. Selama ini penyidik bisa menahan tersangka selama 20 hari. Oleh penuntut umum, masa penahanan bisa diperpanjang sampai 40 hari berikutnya. Dalam Rancangan KUHAP, masa penahanan oleh penyidik dipangkas menjadi maksimal lima hari. Perpanjangan oleh penuntut umum hanya bisa dilakukan paling lama lima hari.
Meski sudah berkurang banyak, masa penahanan itu masih lebih lama ketimbang standar dalam konvensi internasional. Dalam diskusi dengan pakar hukum dari Amerika, misalnya, masa penahanan lima hari itu pun pernah dikritik. Di banyak negara maju, masa penahanan maksimal 2 x 24 jam. Namun, dengan alasan Indonesia terdiri atas ribuan pulau, masa penahanan yang lebih panjang itu masih dimaklumi.
Rancangan KUHAP juga memperketat ketentuan penyadapan. Di negara yang menghormati hak asasi dan privasi warganya, menurut Andi, penyadapan pada prinsipnya dilarang. Kalaupun akan dilakukan, penyadapan memerlukan persyaratan ketat. Dalam Rancangan KUHAP, penyadapan hanya bisa dilakukan untuk tindak pidana serius, seperti korupsi, penyelundupan, dan pencucian uang. Penyadapan pun harus atas perintah tertulis atasan penyidik, setelah mendapat izin hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris.
Rancangan KUHAP yang mengatur penyidik dan penyidikan juga menghapuskan istilah penyelidikan. Lagi-lagi ini untuk memastikan status serta hak para tersangka dan saksi yang diperiksa penyidik. Andi menambahkan, dalam KUHAP di negara maju mana pun tak ada istilah penyelidikan. "Penyelidikan bukan berarti hilang prosesnya, melainkan dimasukkan dalam satu paket bersama penyidikan," tuturnya.
Dengan sejumlah kemajuan itu, Andi berharap pegiat antikorupsi tak terlalu khawatir KUHAP baru akan memangkas wewenang KPK. Sesuai dengan asas lex specialis, sejumlah kewenangan yang telah melekat pada KPK akan tetap berlaku meski KUHAP baru kelak disahkan.
Toh, penjelasan tim perumus tak langsung meyakinkan pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, tanpa ketentuan soal penyelidikan, KPK akan kesulitan dalam memberantas korupsi. "Penyelidikan itu jantungnya penegakan hukum di KPK," ujar Bambang.
Senada dengan Bambang, peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun, berpendapat penghapusan ketentuan penyelidikan bisa memereteli wewenang KPK dalam melakukan pencekalan, penyadapan, pemblokiran rekening bank, dan operasi tangkap tangan. Penyitaan dan penyadapan yang kelak memerlukan persetujuan hakim komisaris pun bakal menyulitkan kerja KPK. "Ini potensial membuat KPK sulit mengembangkan sebuah kasus," kata Tama.
Meski ada prinsip lex specialis, Miko S. Ginting juga menunjuk, bila KUHAP baru disahkan, semua "taring" KPK mudah dicopoti satu per satu. "Misalnya lewat praperadilan atau uji materi di Mahkamah Konstitusi," ucap Miko.
Menurut bekas Wakil Ketua KPK Amin Sunaryadi, Rancangan KUHAP tak hanya melemahkan KPK, tapi juga akan memangkas kewenangan aparat hukum lain, seperti polisi dan penyidik pegawai negeri sipil. Menurut dia, karena asas lex specialis rawan diabaikan, Rancangan KUHAP sebaiknya mengakomodasi kebutuhan aparat hukum di bidang pidana khusus. "Wewenang khusus lembaga penegak perlu diperkuat dalam Rancangan KUHAP," ujar Amin.
Ketua Panitia Kerja Rancangan KUHAP Aziz Syamsuddin meminta kalangan pegiat antikorupsi, jika mereka keberatan, segera melayangkan keberatan mereka kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Itu, kata Aziz, karena mereka sebagai wakil pemerintah yang mengajukan Rancangan KUHAP. "Jika ingin dilibatkan, langsung ajukan," ujarnya.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin berjanji memperhatikan berbagai kepentingan dalam pembahasan Rancangan KUHAP. Pemerintah, kata dia, juga terbuka dengan kemungkinan menghentikan pembahasan Rancangan KUHAP, terutama bila waktunya tak memadai.
Perihal wewenang KPK, Amir memastikan pemerintah tak punya niat menggerogotinya. "Status lex specialis KPK itu tak perlu diutak-atik," ujarnya.
Yuliawati, Wayan Agus Purnomo, Muhamad Rizki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo