MAJELIS hakim di negeri ini memang paling ahli bikin vonis (tak) lucu, terkhusus jika menyangkut perkara yang melibatkan pengusaha besar lagi berduit. Meski semula didakwa dengan begitu seramnya, kalangan yang satu ini pada akhirnya selalu saja melenggang bebas dari meja hijau.
Kali ini "kelucuan" itu datang dari putusan majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Amiruddin Zakaria. Jumat pekan lalu, tuan-tuan hakim membebaskan Kaharudin Ongko, mantan pemilik dan Wakil Komisaris Utama Bank Umum Nasional (BUN). Yang diganjar hukuman cuma Leonard Tanubrata, mantan Direktur Utama BUN. Bankir senior ini dihukum 10 tahun penjara, itu pun tanpa perintah langsung masuk tahanan. Jaksa menuntut 16 tahun penjara untuk Ongko dan 14 tahun penjara buat Leonard.
Padahal jerat yang disiapkan jaksa untuk Ongko sama dengan yang ditujukan ke Leonard. Keduanya didakwa telah menilap uang negara dalam jumlah yang tak tanggung-tanggung: Rp 6,7 triliun?suatu jumlah yang besarnya dua kali lipat dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi bagi rakyat miskin tahun 2002, yang diambil dari subsidi BBM, sekitar Rp 3 triliun. Uang itu adalah dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan saat krisis moneter 1997-1998 untuk menambal perdarahan di kas BUN.
Oleh hakim, Leonard dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Dia dianggap telah memperkaya orang lain atau suatu badan, yaitu perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan BUN, sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun itu.
Tapi, anehnya, Ongko yang notabene juga pemilik sejumlah perusahaan yang digerojoki dana BLBI itu malah dibebaskan dengan pertimbangan tak dapat dibuktikan melanggar hukum. Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan tak ditemukan fakta Ongko sebagai wakil komisaris utama pernah memberi perintah kepada direksi untuk melanggar peraturan perbankan. Jadi, meski faktanya uang BLBI telah nyata-nyata dibelokkan ke perusahaan afiliasi milik Ongko, hanya direksilah yang harus bertanggung jawab. "Itu hal yang terpisah," Hakim Amiruddin berkelit usai sidang ketika ditanya soal kejanggalan ini.
Hakim juga tak mengharuskan terdakwa mengganti kerugian negara, dengan alasan pemegang saham BUN?termasuk Bob Hasan, yang kini mendekam di Nusakambangan?sudah meneken perjanjian penyelesaian utang di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Menurut sumber TEMPO, vonis sebenarnya tidak bulat disepakati. Terjadi tarik-menarik antara dua pendapat: Ongko dan Leonard sama-sama divonis bersalah, atau yang satu bebas satu bersalah. Bisa jadi, karena ini pulalah pembacaan putusan sempat molor dua pekan.
Sejak awal persidangan, perkara ini sudah menuai kontroversi. Saat perkara dilimpahkan ke pengadilan, Hakim Amiruddin telah sigap mengeluarkan penetapan agar kedua terdakwa tak ditahan. Padahal, selama proses penyidikan, kejaksaan telah menahan mereka. Kabarnya, para hakim anggota lain tak tahu-menahu soal ini.
"Itu kewenangan majelis, dan majelis tidak khawatir terdakwa akan melarikan diri," kata Amiruddin sambil buru-buru masuk ke mobil yang segera membawanya meninggalkan gedung pengadilan.
Di tengah perjalanan sidang, Amiruddin kembali diguncang protes ketika menolak kehadiran saksi ahli Oey Hoey Tiong, seorang pejabat BI di bidang hukum. Gara-gara itu, Jaksa Penuntut Umum Arnold Angkouw sempat meminta ketua pengadilan negeri agar mengganti Amiruddin. Baru setelah itu keterangan Oey bisa didengar sidang.
Leonard melalui kuasa hukumnya, Juniver Girsang, menyatakan banding. Sedangkan pihak Ongko dengan kuasa hukumnya, O.C. Kaligis, tentu tenang-tenang saja menerima putusan.
Terhadap vonis yang mengundang kritik ini, jaksa menyatakan pikir-pikir untuk Leonard dan akan mengajukan kasasi untuk Ongko (untuk terdakwa yang bebas, tak bisa dilakukan banding?Red.). "Korupsi sebesar itu kok dibebaskan," kata Salman Maryadi, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, "Ongko tidak hanya tahu, bahkan menyetujui pengucuran dana itu." Ia pun menyangsikan penyelesaian utang di BPPN. "Iya kalau bayar. Kalau tidak, bagaimana? Sudah lolos, tidak bayar pula dia," katanya, geram.
Ardi Bramantyo, Wahyu Dyatmika (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini