DI negeri ini hukuman keras nyaris hanya berlaku untuk maling ayam dan penjahat kelas teri. Dua pekan lalu, dua pegawai rendahan Mahkamah Agung (MA) dipecat setelah dipergoki terlibat tindakan kriminal. Dari hasil pemeriksaan internal, Eka Indra Kumala Djuwita, staf Bagian Pidana Militer, disimpulkan terbukti telah memalsukan surat penundaan eksekusi yang seakan-akan diteken Wakil Ketua MA Taufik. Adapun Hasanudin, seorang satpam, tertangkap basah ketika membobol kantor Hakim Agung Chairani A. Wani.
Tapi untuk tuan-tuan hakim yang gemar memperdagangkan toganya, hukuman tak pernah dijatuhkan sesigap itu. Lihatlah betapa "beruntungnya" Hakim Fauzatulo Zendrato. April tahun lalu, mantan Kepala Sub-Direktorat Kasasi Perdata MA ini telah divonis setahun setelah terbukti menerima suap Rp 550 juta. Toh ia tak dipecat. Sampai kini Fauzatulo masih berstatus hakim nonpalu di Pengadilan Tinggi Jakarta. Begitu pula dengan Torang Tampubolon, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sudah sejak Desember kemarin ia diadukan Pengacara Wawan Irianto telah memeras kliennya sebesar Rp 3 miliar, tapi hingga kini Torang belum juga diperiksa tim pengawas.
Pengawasan hakim oleh MA memang terasa kedodoran. Menurut sumber TEMPO, gejala memprihatinkan ini dimulai saat mekanisme pengawasan yang dulu dilakukan oleh Hakim Agung Pengawas Daerah dirombak di masa Ketua MA Sarwata. Fungsi itu lalu dialihkan kepada ketua pengadilan tinggi. Di MA sendiri dibentuk kelompok tim ahli. Dipimpin Wakil Sekjen MA, institusi ini akan mengkaji hasil pemeriksaan ketua pengadilan tinggi untuk kemudian direkomendasikan kepada Ketua MA.
Namun, alih-alih membuatnya jadi efektif, kebijakan baru ini justru memperpanjang rantai birokrasi. "Ketua pengadilan tinggi menjadi raja-raja kecil, dan pengawasan malah tidak berjalan optimal," kata sumber TEMPO.
Sekarang lebih parah. Tugas penting itu dibebankan kepada Ketua Muda Pengawasan dan Pembinaan MA, yang kini dijabat oleh Marianna Sutadi. Ini struktur baru. Tapi, sejak Marianna dilantik delapan bulan lalu, 9 Mei 2001, rencana membentuk direktorat baru dan menambah staf pendukung belum juga kesampaian.
Menurut Frans Hendra Winarta, anggota Komisi Hukum Nasional, kinerja Ketua Muda Pengawasan tak bakal efektif. Buat dia, sistem hakim mengawasi hakim "sama saja dengan omong kosong". Yang terbaik, pengawasan mestinya dilakukan oleh sebuah lembaga independen semacam Komisi Yudisial.
Ketua MA Bagir Manan menampik kritik itu. Kata dia, setiap laporan yang masuk selalu ia rekomendasikan supaya diperiksa, "Tapi kami selalu kesulitan untuk membuktikannya." Belum lagi, kalaupun pemeriksaan telah dilakukan, hasilnya harus dikirim ke Departemen Kehakiman karena MA tak berwenang menetapkan hukuman.
Hakim Marianna pun mati-matian menyanggah anggapan ia tak becus. Menurut dia, ia telah bekerja ekstrakeras, antara lain "berkoordinasi dengan Inspektur Jenderal Kehakiman untuk memeriksa hakim-hakim yang dilaporkan." Namun pemeriksaan sering tak bisa diverifikasi lebih lanjut. "Kalau menuding, harus ada bukti awal. Jika tidak, sulit menindaknya," katanya.
Tapi Frans cuma tersenyum mendengar kilah itu. Di matanya, Marianna memang tak cukup tegas, dan selalu penuh pemakluman terhadap para koleganya. "Dia pernah bilang paling-paling cuma satu dua hakim yang nakal," ujarnya. Bahkan, Frans berkisah, dalam sebuah pertemuan antara MA dan Komisi, Marianna pernah bertamsil begini, "Hakim itu seperti dokter, kalau pasiennya baik hati dan lantas memberi sesuatu, kan tidak apa-apa."
Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini