RUMAH bercat putih di kawasan elite Mapala, Makassar, itu seolah teronggok tanpa penghuni. Tak ada siapa-siapa di pos penjagaan. Berkali-kali bel dipencet, tak ada orang yang keluar. Hanya ada dua lampu neon yang menyala di teras. Berbeda keadaannya dengan sebulan lalu. Selama hampir tiga bulan, rumah itu bak tak pernah tidur. Sepanjang hari selalu saja dipenuhi orang yang berniat mengusung si empunya rumah, Nurdin Halid, ke kursi Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.
Tapi bukan semata kekalahan telak Nurdin yang membuat kediamannya kini lengang. Politikus lihai dari Golkar ini lagi sibuk di Jakarta, bersiap-siap berangkat haji. "Dia datang kemari, minta izin pergi haji," ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Haryadi Widiasa.
Tak pelak, rencana Nurdin terbang ke luar wilayah Indonesia kian memunculkan tanda tanya ke arah Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Bukan apa-apa. Nurdin masih punya utang perkara. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi kakap.
"Hebatnya" lagi, kedua-duanya kini macet. Perkara pertama, dugaan penggelapan dana Bulog senilai Rp 169,7 miliar saat ia menjabat Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia, Oktober lalu pernah diumumkan bakal segera dilimpahkan ke pengadilan. Tapi tak lama kemudian rilis itu diralat lagi dengan alasan masih kurang bukti.
Yang lain, menyangkut penyelewengan Rp 91 miliar dana penyertaan modal petani cengkeh Sulawesi Utara di Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) yang juga dipimpin Nurdin. Perkara ini pun tak kurang macetnya. Izin Presiden Megawati untuk memeriksa Nurdin, yang anggota Majelis, belum turun-turun juga. Buntutnya, sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober lalu, Nurdin tak kunjung bisa diperiksa.
Selasa pekan lalu, untuk kedua kalinya Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Martinus Manoi, kembali melayangkan surat. "Karena yang pertama belum ada tanggapan," kata Martinus. Sangatlah konyol, menurut dia, kalau kasus yang tengah disidik ini jadi sia-sia hanya karena tak terpenuhinya urusan tetek-bengek semacam persyaratan formal pemeriksaan.
Lalu, di mana gerangan surat itu tersangkut? Martinus tak tahu. Yang jelas, katanya lagi, surat pertama sudah dikirimnya ke Kejaksaan Agung dua setengah bulan lalu, November 2002. Anehnya lagi, izin untuk memeriksa Frederik Batong sebagai saksi sudah turun. "Padahal surat permohonannya dikirim bersamaan (dengan surat mengenai Nurdin?Red.)," kata Martinus. Frederik adalah mantan Direktur Utama Inkud yang kini juga anggota Majelis.
Bekas juru bicara Kejaksaan Agung, Barman Zahir, membantah Jaksa Agung M.A. Rachman telah "bermain mata" memblokade penyidikan Nurdin. Menurut dia, surat Martinus telah diteruskan ke Sekretariat Negara pada 5 November 2002. Antasari Azhar, pengganti Barman, juga menyatakan hal serupa. "Tapi sejauh ini kami belum mendapat tanggapan dari Presiden. Kami akan segera menanyakannya kembali," katanya.
Namun, ceritanya lalu jadi seperti "Kisah Misteri". Saat ditanya soal ini, Wakil Sekretaris Kabinet Erman Rajagukguk mengaku sama sekali belum pernah menerima surat tersebut. "Kalau sudah dikirim ke Sekretariat Negara, tentu saya sudah menerimanya," katanya kepada Karel Dewanto dari Tempo News Room. Erman malah menduga surat memang belum pernah dikirim. "Jangan gampang percaya. Kalau sudah dikirim, tentu ada buktinya. Jangan bilang sudah dikirim lalu melempar persoalan kemari," katanya dengan nada kesal.
Dan tinggallah Jaksa Martinus Manoi yang geleng-geleng kepala. Setengah tak percaya, ia mengaku kecewa surat sepenting itu bisa tak tentu rimbanya. "Saya heran, kok surat saya untuk memeriksa Nurdin Halid tidak bisa ditelusuri," ujarnya.
Martinus tak perlu begitu heran. Sudah kelewat lama, ihwal bagaimana kejaksaan menangani perkara Nurdin Halid telah membuat orang lebih dari sekadar heran.
Ahmad Taufik, Verianto Madjowa (Manado), Syarief Amir (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini