Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bebas setelah lumpuh

Tiga nelayan tanjungbalai (senggono, ismail, harun) yang dituduh sebagai bajak laut dibebaskan hakim. tapi mereka terlanjur ditahan 400 hari, bahkan ismail lumpuh dan impoten akibat disiksa polisi.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGGONO, Ismail, dan Harun, tiga, orang nelayan Tanjungbalai, Sumatera Utara, bisa dikatakan beruntung, tapi sekaligus malang. Mereka beruntung karena dibebaskan hakim dari tuduhan sebagai bajak laut. Vonis bebas itu bahkan dikukuhkan oleh peradilan banding dan Mahkamah Agung. Tapi, malangnya, ketiga nelayan yang tidak bersalah itu sempat mendekam 400 hari di tahanan. Selama itu pula mereka mengaku disiksa polisi agar mengakui kesalahan yang tldak mereka perbuat. Akibatnya, Ismail, 29 tahun, misalnya, menjadi lumpuh di tahanan karena kakinya mengecil menjadi hanya sebesar pergelangan tangan. "Paha, pantat, dan selakanganku mereka hajar habis-habisan," kata Ismail di sidang. Bukan hanya itu, lelaki yang baru setahun menikah itu juga mengalami kelumpuhan pada alat vitalnya, alias impoten, sehingga begitu ia keluar tahanan istrinya meminta cerai. Akibat semua itu, ketiga nelayan tadi melalui LBH Medan, pertengahan bulan lalu, menggugat polisi dan jaksa berupa tuntutan ganti rugi Rp 146 juta. Namun, pekan lalu tuntutan para nelayan itu ditolak kejaksaan dan polisi. Kuasa Polda Sumatera Utara, Letkol Pol. O.J.M. Siahaan, S.H., menganggap mereka salah alamat menggugat polisi melalui sldang perdata. "Seharusnya mereka meminta ganti rugi melalui sidang praperadilan," kata Siahaan. Betulkah? Inilah tampaknya yang membuat persoalan itu menjadi menarik. Sebab, di KUHAP disebutkan, praperadilan harus dimajukan sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Bahkan sidang praperadilan tentang ganti rugi akibat penangkapan dan penahanan tidak sah harus gugur jika perkara pokok sudah disidangkan. "Lagi pula, dalam kasus ini penahanan dan penangkapan yang dilakukan polisi sah," kata Direktur LBH Medan, Kamaluddin Lubis, kuasa para nelayan itu. Polisi dalam hal itu cuma salah dalam mencomot terdakwa. Sebab itu, LBH menggugatnya secara perdata. Namun, bagi polisi, melalui kuasanya O.T.M. Siahaan, dasar ganti rugi melalui persidangan perdata itu sebagai ketentuan umum (lex generalis), sementara ketentuan ganti rugi yang diatur oleh praperadilan sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Sesuai dengan asas hukum, maka ketentuan khusus mengalahkan ketentuan yang umum. "Jadi, ganti rugi itu harus melalui praperadilan," ujar Siahaan. Siahaan juga membantah bahwa praperadilan hanya bisa diajukan sebelum persidangan perkara pokok dimulai. Sebab, di peraturan pelaksanaan KUHAP, katanya, disebutkan ganti rugi semacam itu harus diajukan ke praperadilan, tiga bulan setelah vonis hakim berkekuatan tetap. Karena vonis Mahkamah Agung lahir Januari lalu, Siahaan menanap upaya hukum itu sudah kedaluwarsa bila diajukan ketiga nelayan itu sekarang. "Karena itu, baik mereka ajukan ke pengadilan perdata maupun ke praperadilan tuntutan itu harus ditolak," tambah Siahaan. Dalil para tergugat itu tentu saja tidak bisa diterima oleh pengacara ketiga nelayan itu, Kamaluddin Lubis. Ia menganggap ganti rugi yang merupakan wewenang praperadilan hanya terbatas terhadap penangkapan dan penahanan tidak sah misalnya tanpa surat penangkapan atau tidak diberi tembusan ke keluarga terdakwa. "Dalam soal ini, cara polisi menangkap dan menahan sudah benar, hanya orangnya keliru." katanya. Kisah penahanan 400 hari itu sebenarnya sudah dimulai sejak 13 Mei 1984. Ketika itu Senggono, nakoda perahu nelayan Irian Barat bersama awaknya Ismail -- dua dari tiga nelayan itu -- merapat di pelabuhan Belawan Medan. Tergopoh-gopoh mereka melapor ke Pos keamanan Laut (Kamla) bahwa mereka baru saja dirampok bajak laut di perairan Asahan. Kedua nelayan itu juga mengaku disandera oleh empat perompak. Senggono dikurung di ruang palka, sementara Ismail mereka sandera di kamar mesin. Rupanya, ketika mereka disandera, ada tiga kapal nelayan lainnya yang juga dirampok para perompak. Bahkan seorang nakoda salah satu kapal itu, Ang Khe, tewas terbacok para pembajak yang konon memakai topeng itu. Celakanya, awak ketiga perahu yang menjadi korban perampokan belakangan, hanya tahu perahu yang menyikat harta benda mereka bernama Irian Barat. Tiga hari kemudian Senggono dan Ismail dicomot Polisi Perairan Belawan, dan kemudian dipindahkan ke tahanan Polisi Plairan Tanjungbalai, tempat perampokan terjadi. Tapi mengapa Harun, yang bukan awak perahu Irian Barat, juga ditangkap? "Karena kami dipaksa melibat dia," kata Senggono dan Ismail di persidangan. Bukan hanya itu mereka juga disiksa, untuk mengakui sebagai pelaku perampokan itu. Akibatnya, ya, itu tadi, Ismail lumpuh lahir dan batin. Di Pengadilan Negeri Tanjungbalai dua tahun lalu mereka tetap menyangkal sebagai bajak laut. "Pengakuan di pemeriksaan itu kami berikan karena tidak tahan disiksa, kata ketiga nelayan itu. Saksi penyidik, Letda Pol R.B. Simanjuntak, yang dihadapkan ke sidang, membantah cerita ketiga nelayan itu. "Saya tidak pernah memukul mereka," ujar Simanjuntak. Tapi majelis hakim yang diketuai Salimah Siregar, yang mengadili perkara itu, ternyata lebih pcrcaya kepada para terdakwa ketimbang polisi. Apalagi dari 22 saksi yang dihadapkan jaksa, tidak seorang pun yang bisa memastikan bahwa mereka bertigalah pembajak yang malang melintang di perairan Asahan itu. Sebab itu, mereka dibebas murnikan hakim. Upaya jaksa untuk banding dan kasasi, ternyata, juga ditolak Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung Namun, berhasil tidaknya gugatan tiga nelayan itu masih harus menunggu sidang-sidangnya yang belum selesai ini. K.I., Laporan Bersihar Lubis (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus