PERSAMAAN di depan hukum, sesuai dengan yang digariskan UUD 45, dalam prakteknya ternyata tidak mudah. Seorang petani ganja, Gundur Hasibuan, yang baru saja divonis hakim Pengadilan Negeri Padangsidempuan 3 tahun penjara, pekan lalu, memaki-maki ketidakadilan yang menimpa dirinya. "Kenapa si miskin saja yang dihukum, sementara Haji Abbas yang kaya itu diadili saja tidak? Padahal, dia yang memodali saya berladang ganja," celoteh Gundur sambil memukul-mukulkan tangannya ke tembok penjara. Gundur tidak hanya sekadar mengomel di balik tembok penjara. Ketika majelis hakim yang diketuai Imran Lubis bersidang mcng adilinya, bulan-bulan lalu, ia sempat melakukan aksi mogok sidang. Sebab, Haji Abbas Rangkuti, yang dalam berkas berperan sebagai saksi utama, tidak kunjung dihadapkan sebagai saksi. "Saya baru mau bersidang bila Haji Abbas dihadapkan menjadi saksi, sebab dia yang menyuruh saya menanam ganja, menyediakan bibitnya, dan memodali Rp 50 ribu," kata Gundur di persidangan. Haji Abbas yang dituding Gundur itu memang orang terkaya di kampungnya, di Desa Malintang, 65 km dari Padangsidempuan. Haji yang dikenal sebagai pedagang cengkih, kulit manis, dan getah itu, sebelumnya bersama Gundur sempat ditahan polisi 90 hari. Tapi Pak Haji itu kemudian entah mengapa, dilepaskan dan tidak diadili. Di persidangan Gundur, majelis hakim empat kali meminta jaksa menghadapkan saksi penting itu ke sidang. Tapi Haji Abbas tidak kunjung muncul dengan alasan sakit. Hanya saja karena mengejar jangka waktu masa tahanan Gundur, majelis terpaksa meminta jaksa membacakan keterangan Haji Abbas di pemeriksaan polisi. Di berita acara itu Haji Abbas mengaku terus terang pernah membeli ganja seberat 14 kg dari Gundur, Abdul Pulungan, dan Kahlan Caniago, dua nama terakhir sesama petani ganja dengan terdakwa sampai kini masih buron. Tapi keterangan itu dibantah Gundur. "Saya belum pernah panen bagaimana saya bisa menjual ganja kepadanya," jawab Gundur. Gundur, 46 tahun, yang buta huruf semula mengaku bersama Abdul dan Kahlan hanya bertani nilam di desanya itu. Tapi karena harga nilam lagi jatuh, mereka bertiga tertarik kepada tawaran Haji Abbas untuk menanam ganja. Sebab itu, mereka bertiga berani mempertaruhkan 1 hektar tanah untuk kebun tanaman mahal itu. Ladang haram itu sebenarnya belum akan tercium yang berwajib, kalau Gundur tidak tertangkap basah Oktober tahun lalu. Sambil menunggu panen ganjanya, rupanya Gundur dan Abdul mencoba-coba menjadi pedagang perantara dalam bisnis ganja itu. Celaka bagi mereka, ternyata calon pembeli yang menawar dagangan mereka adalah polisi yang lagi menyamar. Sebab itu, ketika Gundur dan Abdul membawakan pesanan pak polisi itu sebanyak 10 kg, kedua orang itu langsung disergap. Abdul, ketika itu, sempat lari walau mendapat peringatan dari polisi. Sementara itu, Kahlan, yang belum sempat digerebek, sudah lebih dulu buron. Di pemeriksaan polisi, Gundur mengaku pula mempunyai ladang barang terlarang itu sebanyak satu hektar dengan 4.000 batang ganja di sebuah bukit di dekat Desa Malintang. Ladang itu, belakangan, dimusnahkan polisi dengan cara membakarnya. Tapi akibatnya, selain Gundur, istrinya Asnani ikut pula diadili karena membantu suaminya merawat ladang tersebut. Untungnya, majelis hakim hanya menghukum Asnani satu setengah tahun dalam masa percobaan dua tahun. Sebaliknya, Gundur di sidang dituntut hukuman berat oleh Jaksa P. Tampubolon yaitu 20 tahun penjara. Tapi majelis hakim rupanya masih berbelas kasihan dan karenanya hanya memvonis 3 tahun. Hanya saja nasib Gundur, ayah beranak tiga itu, masih akan ditentukan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Sebab, akhir Agustus lalu, Jaksa Tampubolon menyatakan banding atas vonis ringan itu. Bagaimana dengan Haji Abbas ? Baik Hakim Imran maupun Jaksa Tampubolon menyatakan keyakinannya bahwa pedagang itu terlibat, bahkan yang memodali usaha terlarang itu. "Keterangan Gundur yang lugu itu membuat kayakinan saya bahwa Abbas ikut berperan," kata Imran. Toh Abbas tidak duduk di kursi pesakitan bahkan di kursi saksi pun tidak. "Yang berwenang membawa saksi ke sidang 'kan jaksa, saya sudah memanggil saksi itu berulang kali tapi tidak datang," kata Imran. Kendati panggilannya tidak dindahkan, Imran toh tidak merasa perlu menggunakan wewenangnya sesuai dengan KUHAP, memerintahkan saksi ditangkap. Menurut Imran, seharusnyalah, dalam kasus pidana seperti itu, yang disorot bukan hilirnya tapi hulunya, yaitu penyidik. "Untuk apa saya memerintahkan ia ditangkap kalau penyidik tidak sejalan dengan kami?" katanya. Penyidik yang disindir Imran, Kepala Polres Tapanuli Selatan, Letkol Pol. Drs. Rivai Siregar, berkelit. "Kasus itu sudah divonis hakim, tanyalah ke pengadilan sana," katanya. Ia, katanya, sudah mengirimkan semua berkas Haji Abbas ke kejaksaan, baik selaku saksi, bahkan selaku tersangka. Anehnya, Jaksa Tampubolon hanya tertawa mendengar keterangan Rivai. "Belum. Kami belum pernah menerima kasus Haji Abbas selaku terdakwa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini