Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cerdas tapi tak kreatif, sama...

Anak indonesia ada di peringkat terakhir pada test kreativitas yang diikuti 9 negara, yang hasilnya di bahas pada konperensi anak international di as. tes iq tidak bisa mengukur kreativitas.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA selembar kertas gambar. Sudah terisi dengan garis lengkung, garis lurus, separuh lingkaran, dan titik. Sejumlah anak dari sembilan negara disodori kertas ini, diminta melanjutkan garis dan titik tadi menjadi sebuah gambar menurut kesenangan masing-masing. Anak-anak usia 10-an tahun, murid sekolah dasar yang tergolong baik di ibu kota negara masing-masing, itu segera sibuk. Mencoret ke atas, ke samping, membuat garis-garis lurus, lengkung. Lihat, seorang anak Indonesia menyempurnakan gans lengkung jadi matahari garis lurus menjadi setangkai bunga. Anak Indonesia yang lain, kok juga menggambar matahari dan bunga, dengan sedikit variasi. Sementara itu, seorang anak Jerman Barat mengembangkan garis lengkung dan garis lurus menjadi gambar padang pasir dengan terowongan pipa air yang mengalir. Inilah tes baru untuk .rmengukur daya kreativitas anak, Testscore Creative Thinking-Drawing Production (TCT-DP) namanya. Diperkenalkan oleh Hans Jellen, psikolog dari Southern Illionis University, AS, dan Klaus Urban, psikolog dari Universitas Hanover, Jerman Barat. Adapun hasil tes, penggambar bunga dan matahari mendapat nilai kurang dari 20, sementara anak padang pasir dan pipa mendapat nilai lebih dari 60. "Bayangkan, anak Jerman Barat bisa mengembangkan garis lurus, garis lengkung, dan titik menjadi padang pasir yang hidup," kata Utami Munandar, psikolog dari UI yang membantu kedua psikolog tadi. Mengapa begitu? Mengembangkan garis lengkung menjadi matahari dianggap biasa, konvensional alias kurang kreatif. Memberikan gagasan, gambaran, atau pikiran yang sifatnya terobosan, sesuatu yang mengejutkan, itulah kreatif. Teori Hans Jellen dan Klaus Urban baru diperkenalkan pada 1985 yang lalu. Awal tahun ini tes itu dicobakan di sembilan negara, termasuk Indonesia -- melibat 50 anak usia 10-an tahun di tiap negara. Bulan lalu, hasil tes dibawa ke Konperensi Anak Internasional ke-7 di AS. Kemempuan kreativitas responden Indonesia, berdasarkan tes ini, rata-rata 14,9 -- sialnya, ini peringkat terbutut. Peringkat tertinggi dicapai anak-anak Filipina: 28. Menyusul anak AS, Inggris, Jerman Barat, India, RRC, Kamerun. Zulu (Afrika Selatan). "Saya malu juga. Tapi ini hasil penelitian, kata Utami yang menghadiri konperensi tersebut. Tapi sebenarnya psikolog UI yang mengkhususkan diri di bidang tes kreavitas itu, sudah membuktikan sendiri bahwa kreativitas anak Indonesia rendah. Dua tahun lalu, ia bersama Fakultas Psikologi UI mengadakan tes kreativitas kepada seribu anak Jakarta berusia antara 10 dan 19 tahun. Metodenya Test kreativitas Verbal, merupakan temuan Utami yang dijadikannya disertasi (1977). Yakni metode tes dengan menggunakan kata-kata. Hasilnya menunjukkan betapa rendahnya kreativitas responden. "Mereka masih berpikir konvensional, kurang berani mengambil gagasan, terobosan," kata Utami. Analisa lebih lanjut terhadap hasil tes pada 1985 itu ke mana lagi kalau bukan ke bangku sekolah. Dosen psikologi ini menunjukkan kelemahan proses belajar-mengajar di kelas. Murid-murid hanya diajari berpikir reproduktif, katanya, bukan produktif. Padahal kreativitas sangat mengandalkan produktitas berpikir. Juga kekakuan berpikir antara murid dan guru dianggap menghambat kreativitas. Contohnya, perbedaan pendapat antara guru dan murid tidak dikembangkan ke arah yang sehat. "Guru seharusnya dapat menghargai pendapat yang berbeda dari murid," kata Utami. Selama ini, yang diperhatikan cuma tes IQ atau tes inteligensia. Dianggap bahwa tingginya IQ adalah segalanya. Padahal, tes inteligensia hanya untuk melihat kemampuan berpikir yang konvergen, yakni menemukan suatu jawaban yang paling tepat untuk suatu persoalan. Menurut Utami, anak-anak Indonesia bisa mencapai hasil tinggi untuk tes IQ. "Tapi IQ 'kan belum tentu mendukung kreativitas, sementara kreativitas membutuhkan IQ," katanya. Jika seorang anak punya IQ dan kreativitas tinggi, inilah yang disebut anak berbakat. Adalah psikolog AS, Lewis B. Terman (1877-1956), yang ingin tahu prestasi anak-anak dengan kecerdasan tinggi dalam hidupnya. Ia dan yayasannya mengambil 2.500 responden berusia sekitar 11 tahun, yang nilai IQ-nya di atas 130 (supercerdas) pada 1921. Mereka semua diikuti dan secara berkala kepada mereka dikirimkan daftar pertanyaan. Pada 1980 -- Terman sudah meninggal -- hasil pengamatan diuraikan dan dimuat di majalah Psychology Today. Menarik bahwa para "jenius" itu ternyata tak menghasilkan hal-hal baru. Memang ada yang menduduki jabatan penting, jenderal atau direktur laboratorium nuklir, tapi tak ada penemu macam Einstein atau Newton. Bahkan banyak yang tak mencapai tingkat sosial tinggi: menjadi tukang pos, juru tulis, tukang masak. Memang, mereka semua termasuk pekerja yang baik di bidang masing-masing, meski tak seorang pun mendapatkan hadiah penting, umpamanya Hadiah Nobel. Dalam analisa tersebut diakui bahwa tes IQ ternyata tak bisa dipakai untuk mengetahui cara berpikir yang masak, kuat lemahnya kemauan, dan sikap bandel untuk menggeluti satu masalah atau satu percobaan yang menantang. Tiga hal terakhir ini, menurut Psychology Today, dimiliki oleh para ilmuwan dan praktisi yang jago. Maka, tampaknya beralasan bila beberapa tahun belakangan ini Utami Munandar mencoba memopulerkan tes kreativitas dan pentingnya hal ini diperhatikan oleh guru dan orangtua. Kecerdasan, apalagi nilai rapor sekolah yang tinggi, bisa percuma tanpa memberikan kesempatan anak didik berkembang menurut yang disukainya. Kreativitas menuntut pula suasana belajar atau bekerja yang pas dengan cita-cita si anak. Perbuatan atau pikiran atau gagasan yang terdengar "aneh" bisa jadi menunjukkan potensi kreativitas pada si anak. Tapi sikap orangtua dan guru di Indonesia, menurut hasil penelitian Utami, cenderung menganggap hal yang "menyimpang" sebagai sesuatu yang salah. Guru dan orangtua lebih suka bila anak-anak patuh dan tertib, bisa menceritakan kembali yang diperoleh dari guru secara persis. Pendapat yang berbeda dan pilihan sendiri kurang disukai oleh para guru dan orangtua umumnya. Belum pernah dimintakan komentar, bagaimana tanggapan guru terhadap cara menilai kreativitas. Misalnya, sebuah tes kreativitas di AS memberikan soal sebagai berikut. Sebuah gambar seorang laki-laki duduk di pesawat siap lepas landas melambaikan tangan kepada seorang perempuan yang diapit oleh seorang lelaki tua dan wanita tua. Anak-anak diminta menceritakan yang terjadi dengan orang-orang dalam gambar itu. Yang termasuk dinilai rata-rata antara lain bercerita, bahwa seorang pengusaha sukses tengah pulang dari perjalanan. Ia membayangkan kebahagiaan kembali bertemu anak dan istri. Yang dinilai punya kreativitas tinggi anak yang menulis cerita ini. Lelaki itu bekas suami wanita muda itu. Si suami adalah direktur perusahaan minyak rambut yang sukses. Ia selalu memakai produk pabriknya sendiri, hingga rambutnya sangat licin. Tiap malam, kepalanya selalu terpeleset dari bantal. Dan karena ia tidur seranjang dengan istrinya, kepala itu selalu membentur kepala istrinya. Tentu saja istrinya tiap terbentur marah-marah. Dan lama-kelamaan, istri itu tak tahan lagi, lalu minta cerai. Gambar menunjukkan saat mereka berpisah, si istri diapit oleh kedua orangtuanya. Dan sementara itu si bekas suami di pesawat tengah memikirkan jenis minyak rambut yang tak mengakibatkan perceraian. Jangan-jangan memang daya kreativitas lebih menentukan prestasi di masa depan anak-anak. Arthur Jensen, psikolog kontroversial dari Berkeley, pernah membandingkan hasil tes IQ anak-anak Asia (dilakukan di Hong Kong) dengan anak-anak Barat. Ternyata, anak Asia rata-rata lebih cerdas 10 point dibandingkan teman mereka di Barat. Tapi mengapa penemuan-penemuan ilmiah, karya sastra besar, umpamanya, didominasi Barat? Memang, soal-soal lain -- lingkungan, pendidikan, kesempatan, dan sebagainya -- ikut menentukan. Toh, tak ada ruginya, sekali ini kreativitas diperhitungkan pula. Putu Setia & Muchsin Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus