DI halaman dalam istana itu ada sebuah kolam besar yang rusak. Bersama seorang kenalan, saya berjalan menuju ke sebuah bangunan di tengahnya. Air itu sudah penuh lumut. Bangunan itu sudah retak. Di tepinya tumbuh ilalang. "Silakan bersemadi," kata pengantar kami, seorang kerabat keraton yang mengenakan kalung kuning piket di jas tutupnya. Saya memandangi bayang-bayang kusam pada air, dan kemudian melihat, di kejauhan, sebuah dinding. Tanaman yang liar menjalar di sana. Sebuah pohon nangka, dengan daunnya yang hijau gelap berwibawa, merapat -- seakan-akan ingin menjebol. Segalanya tampak tak terawat di sini. Di balik itu, apa? Keraton-keraton tak lagi milik keterang-benderangan zaman ini. Agaknya, tak ada imajinasi apa pun yang bisa menghidupkan kembali benda-benda yang pernah cerah dan cantlk itu, yang sekarang tampak begitu telantar, begitu miskin. Di bawah telapak kaki itu, hanya tanah, debu, bukan batu nila dan pakaja yang berpendar seperti bintang. Itu ternyata hanya disebutkan oleh para pendongeng lama tentang kemegahan rumah raja-raja. Dan apa kemegahan itu kini? Saya tak bersemadi. Saya tak bisa bersemadi. Yang terpikir adalah hal lain: barangkali ihwal yang lebih kasar dari semua aspirasi untuk kehalusan, yang pernah begitu dominan di sini. Kehalusan -- sebuah konsep yang kini toh akhirnya terbentur dengan kekerasan ekonomi dan diguncang-guncang oleh perubahan sosial. Sebuah kerajaan telah merosot, mungkin mengecewakan, dan jadi hanya sebuah hiasan. Bila ada wibawanya ke luar, itu akhirnya hanya terletak pada fungsinya yang sekarang: sebagai ornamen. Ada masanya para dalang berbicara tentang wibawa yang ideal bagi sebuah kerajaan, dalam sepotong kalimat yang elok: Kang cedak manglung, kang tebih tumiyung. Yang dekat merunduk, yang jauh meliuk itulah hegemoni yang dicita-citakan. Tapi hegemoni, keagungan, memerlukan biaya. Keraton dan kekuasaannya akhirnya juga sebuah persoalan ekonomi. Itu dulu yang saya tak tahu. Satu hal yang banyak dilupakan orang, ketika mereka menonton wayang dan membayangkan kehidupan yang elegan dan berbudi dari para aristokrat, ialah bertanya bagaimana mereka mencari nafkah. Almarhum Soemarsaid Moertono menulis sebuah studi yang mungkin akan jadi karya abadi entang Mataram dari masa abad ke-16 sampai abad ke-19. Ia mengutip satu ajaran, suatu piwulang, yang ditulis awal abad ke 20. Ada empat perkara, kata ajaran ini, yang merupakan milik sebuah kerajaan. Yang pertama prajurit, yang kedua pendeta, yang ketiga saudagar, yang keempat petani. Itu barangkali suatu pengakuan akan kenyataan-kenyataan sosial-ekonomi yang makin nyata. Kerajaan di Jawa itu toh harus hidup dari pajak dan beya, dari upeti yang dipersembahkan dalam bentuk pundhuran serta taker turun -- semuanya mengalir dari keringat para pedagang di pasar dan petani di sawah. Yang menarik dari piwulang di atas ialah bahwa di dalamnya tak disebut tanah atau bangunan dan lain-lain barang yang tak bergerak. Yang disebut adalah manusia. Soemarsaid Moertono mengukuhkan apa yang banyak disebut sebagai sumber utama ekonomi aristokrasi Jawa: jumlah orang, kuantitas penduduk, yang berada di bawah kekuasaannya. Pada asasnya, tulis Soemarsaid Moertono, tanah itu milik desa. Dalam sejarah Jawa yang direkamnya, tak ada contoh ketika sang raja mengambil begitu saja tanah pertanian milik dusun, hingga penghuninya kehilangan sama sekali bagian tradisionalnya dalam pembagian hasil bumi. Pajak dan pungutan memang banyak jenisnya, tetapi lebih penting dari semua itu adalah tenaga kerja. Merekalah yang membuat jalan, memeliharanya, membuat saluran dan menjaganya, dan bekerja untuk segala kepentingan Baginda hingga Sang Ratu bisa mendapatkan banyak hal tanpa biaya. Yang kemudian tak diduga-duga, bagi sebuah tradisi lama, ialah bahwa segala itu bisa berubah. Tenaga kerja manusia ternyata tak dapat merupakan sumber akumulasi kapital yang bisa bertahan. Manusia bergerak, juga memerdekakan diri, berubah, an pada saat yang sama mengubah segala sesuatu di sekitarnya. Juga mengubah posisi raja dan keangkeran keraton-keratonnya. Dulu konon 2.000 orang yang siap bersenjata akan segera datang memenuhi panggilan tugas, bila bende ditabuh dan meriam Kiai Guntur Geni ditembakkan. Tapi kini siapa yang mendengar siapa? Kadang-kadang, dari balik tembok yang retak itu, kita seperti mendengar orang tua mengeluh, bahwa uang -- dan bukan kesetiaan lama -- yang kini menguasai dunia. Apa boleh buat, uang juga yang membuat seorang abdi bisa mempunyai pilihan lain selain menghamba. Di luar keraton, jalanan sibuk. Hanya sejumlah kecil orang yang tampak berteduh di bawah beringin di alun-alun kering itu. Mungkin mereka tak berumah, tak bertempat tinggal. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini