Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Habis Manis Marapu Dibuang

Kebun tebu milik PT Djarum dan Wings Indonesia dituding merusak dan menutup akses ke tempat ritual penghayat Marapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Berkali-kali mendapat peringatan dari berbagai lembaga, pemerintah daerah dan perusahaan bergeming. Penduduk setempat menuding perusahaan memanipulasi uang sirih pinang sebagai duit pengganti lahan. Liputan ini hasil kerja sama Tempo dan Tempo Institute.

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masyarakat adat Marapu mesti membongkar pagar untuk mengakses Katuada Njara Yuara Ahu, Agustus 2020./TEMPO/ Budiarti Utami Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Situs ritual masyarakat adat Marapu diduga rusak akibat pembangunan kebun tebu PT Muria Sumba Manis.

  • Sejumlah lembaga negara turun tangan menangani konflik penghayat Marapu dengan PT Muria Sumba Manis.

  • Kelompok Marapu juga menuding pembangunan embung PT Muria Sumba Manis membuat tanah mereka kering.

GERBANG kayu bercampur bambu sepanjang empat meter memisahkan sebagian wilayah Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Rambu dilarang masuk terpasang di tengah besi yang melintang di tengah. Di kiri dan kanan gerbang itu, membentang patok-patok kayu sepanjang lebih dari dua kilometer di kawasan padang rumput tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama sejumlah kawannya, Hapu Tarambiha II, 57 tahun, memasuki kawasan terlarang itu pada Sabtu siang, 8 Agustus lalu. Sekitar satu kilometer dari gerbang, berdiri empat batang pohon rindang bertinggi belasan meter. Diberi nama Katuada Njara Yuara Ahu, pepohonan itu menjadi tempat hamayang atau sembahyang marga Mbarapapa dan belasan marga lain di Desa Patawang. Mereka, para penghayat kepercayaan Marapu, biasa mendoakan tanaman dan ternaknya di sana menjelang musim hujan. “Tempat ini sudah rusak,” kata Hapu Tarambiha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanah rata di sekitar Katuada Njara Yuara Ahu kini berbentuk kubangan. Batu-batu dan tanah menutupi hampir seluruh akar pohon. Sebelumnya, di bawah pohon itulah sebagian penganut Marapu meletakkan persembahan berupa sirih, pinang, atau hewan korban dalam upacara besar. Bukan hanya tempat sembahyang yang hilang, kanotu atau lesung kecil dari batu berisi emas murni pun lenyap. Alat ritual itu ditanam di dalam tanah di sekitar katuada setelah pemeluk Marapu rampung bersembahyang.

Hapu Tarambiha, juga para penganut Marapu, menuding PT Muria Sumba Manis (MSM) merusak situs tersebut. Batu dan tanah yang menutupi dasar katuada diduga berasal dari galian embung PT Muria yang hanya berjarak lima meter dari situs tersebut. PT MSM menguasai lahan itu sejak 2016 dan mulai membuka perkebunan tebu dua tahun kemudian.

PT Muria Sumba Manis mengantongi izin pemanfaatan ruang seluas 19 ribu hektare di Sumba Timur pada November 2016. Pada April 2019, izin itu berlipat menjadi 41 ribu hektare. Sebanyak 5.428 hektare di antaranya telah berstatus hak guna usaha. Wilayah perusahaan itu meliputi enam kecamatan di Sumba Timur, yakni Kecamatan Umalulu, Rindi, Kahaungu Eti, Pahunga Lodu, Wulla Waijelu, dan Pandawai.

Perusahaan itu merupakan hasil perkawinan dua korporasi raksasa, yaitu PT Djarum dan PT Wings Group. Djarum menguasai saham mayoritas PT Muria lewat PT Hartono Plantation Indonesia sebesar 75 persen. Sisanya dikuasai PT Graha Gemilang Lestari, yang dimiliki Hanny Sutanto dan Finney Henry Katuari. Hanny dan Finney adalah anak pendiri Wings Indonesia, Harjo Sutanto dan Johannes Ferdinand Katuari.

Katuada Njara Yuara Ahu yang sekelilingnya tertimbun bekas galian embung, Agustus 2020./TEMPO/Budiarti Utami Putri

Public Relations Wings Indonesia Christie Rachel membantah keterlibatan Wings di PT Muria. “Menurut BOD (board of director) kami, perusahaan tersebut dimiliki dan dijalankan Grup Djarum,” katanya, Kamis, 24 September lalu. Sedangkan Corporate Communication Manager PT Djarum Budi Darmawan enggan menanggapi keterlibatan perusahaannya di PT Muria. “Biar PT MSM yang menjawab,” ucap Budi.

Corporate Communication PT Muria Sumba Manis, Dumaria Panjaitan, tak menjawab ihwal kepemilikan saham PT Muria Sumba Manis. Dalam keterangan tertulis, Dumaria menjelaskan bahwa perusahaannya bergerak di industri pengolahan dan perkebunan tebu. Menurut dia, pabrik gula yang direncanakan beroperasi tahun depan itu bisa menghasilkan 1.200 ton gula kristal putih dan gula kristal rafinasi setiap hari. “Output ini diharapkan dapat menambah pasokan gula dalam negeri,” tulis Dumaria.

• • •

PT Muria Sumba Manis ikut terlibat dalam program swasembada gula tahun 2024. Ini adalah program yang dirancang pemerintah Presiden Joko Widodo setelah dilantik pada 20 Oktober 2014. Menteri Pertanian kala itu, Andi Amran Sulaiman, pada 2016 membuka investasi ladang tebu dan pabrik gula untuk menutupi kebutuhan 3,9 juta ton gula setahun. Saat itu, defisit kebutuhan gula mencapai 1,1 juta ton setahun.

Pemerintah menggandeng sepuluh perusahaan untuk membuka lahan kebun tebu di berbagai lokasi. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan itu akan menerima kompensasi kuota impor gula. “Impor gula untuk pemenuhan stok nasional dan stabilisasi harga gula di dalam negeri,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi, Jumat, 25 September lalu.

PT Muria Sumba Manis satu dari sepuluh perusahaan yang mendapatkan izin membuka kebun tebu. Berdiri pada 19 November 2014, dua hari kemudian perusahaan itu langsung mengajukan persetujuan prinsip rencana investasi di Kabupaten Sumba Timur. Lima bulan kemudian atau pada April 2015, PT MSM mendapat izin lokasi seluas 52.817,42 hektare. Izin prinsip dikeluarkan pada 20 Juni tahun berikutnya dengan rencana investasi Rp 9,5 triliun.

Awal beroperasi, PT Muria menemui sejumlah kendala. Salah satunya terkait dengan pembangunan embung yang digunakan untuk menyirami kebun tebu. Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora mengatakan embung perusahaan mengambil air dari sumur bor, tadah hujan, dan sungai pada musim hujan.

Masyarakat penghayat Marapu menuding pembangunan embung itu merusak Katuada Njara Yuara Ahu, situs upacara mereka. Perusahaan itu diduga juga meluaskan pembukaan lahan ke dalam kawasan hutan Bulla, yang juga menjadi tempat ibadah penganut Marapu. Pada Maret 2016, Bupati Gidion menegur PT Muria karena menebang di kawasan hutan alam primer. “Hutan alam primer itu jadi sumber air masyarakat,” ujar Gidion.

Pada 2 November 2017, PT MSM mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk membangun embung seluas 0,58 hektare di kawasan hutan Bulla. Pembangunan embung di dekat mata air itu dituding sebagai penyebab kekeringan. Penduduk Desa Wanga dan Patawang di Kecamatan Umalulu mengeluh mengalami kekeringan sejak pembangunan embung itu. Mereka tak lagi bisa menggarap sawah lantaran mata air dan sungai mengering. Irwan Putra Lamuru, warga Desa Wanga, mengatakan lahan sawah pun mengering.

Embung yang terletak berdekatan dengan Katuada Njara Yuara Ahu, Agustus 2020./TIM TEMPO

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 7 Januari 2019 menyurati Bupati Sumba Timur agar menegur PT Muria Sumba Manis karena membangun embung. Dalam surat itu, Kementerian Kehutanan meminta pembangunan embung di hutan Bulla dihentikan. Salah satu alasannya: pembangunan itu tak tercantum dalam dokumen adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PT Muria. Bupati Gidion mengklaim sudah menindaklanjuti rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Gidion justru mengatakan sebagian rekomendasi Kementerian tidak benar. “Ada rekomendasi yang sudah dilaksanakan,” katanya.

Melalui keterangan tertulis, Corporate Communication PT Muria Sumba Manis, Dumaria Panjaitan, menyatakan seluruh kebijakan operasional perusahaan sesuai dengan aturan. Termasuk proses izin, amdal, tata ruang, dan status bebas kawasan hutan. “MSM sangat menjunjung tinggi operasional perkebunan yang menghormati keseimbangan alam, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, serta menghormati nilai-nilai luhur budaya serta hak-hak masyarakat adat Sumba Timur,” tulis Dumaria.

• • •


MASYARAKAT adat Marapu mulai melawan PT Muria Sumba Manis pada 2016. “Operasional PT MSM telah melanggar hak asasi manusia masyarakat adat Marapu,” ujar Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar. Komunitas Marapu menggandeng kantor hukum dan hak asasi manusia itu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Lima perwakilan masyarakat adat Marapu sempat bertemu dengan petinggi PT Djarum dan Wings di Ibu Kota, di sebuah restoran di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, awal September 2019. Anggota staf khusus Presiden Joko Widodo saat itu, Gories Mere, disebut memfasilitasi perjumpaan. “Kami difasilitasi ketemu pihak Djarum dan Wings untuk memberitahukan fakta yang terjadi di lapangan,” kata Umbu Manang, seorang perwakilan Marapu yang menghadiri pertemuan tanpa kesepakatan itu. Adapun Gories tak menjawab pesan dan panggilan telepon Tempo.

Menurut Haris Azhar, pemerintah seharusnya tak mengizinkan PT Muria beroperasi di tanah milik komunitas adat Marapu. Sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Penataan Ruang, mengakui keistimewaan hak ulayat masyarakat adat. “Komunitas Marapu sudah lebih dulu diakui ketimbang MSM,” tutur Haris.

Dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumba Timur sudah mengeluarkan surat rekomendasi pengakuan aliran kepercayaan Marapu pada 15 September 2014. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan hal itu lewat Surat Tanda Inventarisasi Organisasi Penghayat Marapu pada 24 Februari 2015.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melayangkan surat kepada Pemerintah Kabupaten Sumba Timur pada 26 Juli 2019. Surat ini merupakan balasan dari pengaduan perwakilan masyarakat Sumba Timur dan Lokataru perihal dampak operasional PT Muria. Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, mengatakan surat lembaganya tak ditindaklanjuti pemerintah setempat. Menurut dia, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh terhadap obyek-obyek pemajuan kebudayaan di wilayahnya. “Entah ini kok pemdanya diam. Yang punya kekuatan untuk mengendalikan itu seharusnya pemda,” kata Sjamsul, awal Agustus lalu.

Pada Juli 2019, Lokataru melaporkan Bupati Sumba Timur dan sejumlah kepala dinas di Kabupaten Sumba Timur ke Ombudsman Republik Indonesia. Aduan itu kemudian ditangani Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Timur. “Saat ini dalam proses penyusunan laporan akhir hasil pemeriksaan oleh tim pemeriksa,” ujar Ketua Ombudsman NTT Darius Beda Daton pada Jumat, 25 September lalu.

Mereka juga melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada 9 Juni lalu, Komnas menyurati Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat agar menyelesaikan konflik antara PT Muria Sumba Manis dan masyarakat Marapu. “Pengalaman di Indonesia, konflik lahan ini ujungnya kekerasan,” kata Komisioner Amiruddin Al Rahab. Bupati Gidion Mbilijora mengakui menerima surat dari berbagai lembaga negara. Ia mengaku sudah menjelaskan duduk perkara masalah dan membantah ada pelanggaran HAM. “Gesekan bermula dari urusan uang sirih pinang,” ujarnya.

Perkara uang pengganti ini masih mengganjal sejumlah kelompok adat Marapu. Mereka menuduh PT MSM memanipulasi uang sirih pinang sebagai duit pengganti lahan. Padahal sirih pinang dianggap sebagai simbol penghormatan tamu terhadap tuan rumah. Yoseph Ndawalu, warga Desa Pamburu, Kecamatan Pahunga Lodu, mengaku menerima uang sirih pinang sebesar Rp 400 ribu dari Umbu Wanda Angu—ketika itu Kepala Desa Pamburu, Kecamatan Pahunga Lodu.

Namun ia tak menyangka uang itu menjadi tanda penyerahan lahan adat kepada PT Muria Sumba Manis, yang kemudian membuka lahan di hutan alam Pamburu. “Semua hutan di Pamburu itu dibabat. Makanya sempat kami demo,” kata Yoseph ketika ditemui pada 14 Agustus lalu. Umbu Wanda Angu membenarkan jika disebut membagikan uang sirih pinang sekitar Rp 250 juta dari PT Muria pada 2015. Duit itu dibagikan kepada sekitar 200 keluarga, masing-masing Rp 400 ribu. Ada lagi pembagian Rp 1-1,5 juta untuk sekitar 60 tokoh desa.

PT Muria tak menjawab pertanyaan Tempo ihwal uang sirih pinang. Corporate Communication PT MSM Dumaria Panjaitan mengatakan proses perizinan dan operasional perusahaan sudah sesuai dengan prosedur. “Proses dilakukan secara transparan tanpa paksaan, dengan prinsip saling menguntungkan, serta dibuat dalam berita acara yang tertuang di akta notaris,” ujarnya.

BUDIARTI UTAMI PUTRI, MUSTAFA SILALAHI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus