Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bengawan Solo, Royaltimu Kini

Pihak Jepang tidak bisa memberikan royalti lagu Bengawan Solo karena Indonesia tidak menjadi anggota konvensi Bern dan tidak punya perjanjian bilateral meski demikian, Gesang menerima hadiah yang lumayan.

30 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIWAYAT lagu Bengawan Solo ternyata masih "mengalir". Harapan komponis gaek asal Solo, Gesang, 73 tahun, untuk mendapatkan royalti ciptaannya itu dari Jepang, yang tahun lalu santer digembar-gemborkan akan diperjuangkan pencipta lagu dan bos PT Lolypop Records, Rinto Harahap, kini "surut" kembali. Rinto baru-baru ini telah memastikan pihak Jepang tak akan membayar lagu itu, karena kita tidak terikat konperensi internasional hak cipta (Konvensi Bern) dan tak punya perjanjian bilateral dengan Negara Matahari Terbit itu. Artinya, pihak Jepang tak punya kewajiban membayar royalti kepada Gesang, kendati lagu itu banyak diperjualbelikan di sana. Sekadar "pengobat" kecewa, Ahad pekan lalu Rinto mengantarkan sekadar "hadiah" tahun baru ke rumah Gesang di Perumnas Palur, sekitar 7 km sebelah timur Solo. Disaksikan keponakannya yang juga penyanyi, Nuning dan suaminya, plus beberapa wartawan, Gesang menerima uang Rp 450 ribu dari Rinto Harahap. Itulah persekot tanda "jadi" berlakunya kuasa dari Gesang kepada Rinto, selama tiga tahun, untuk mengurus royalti atas penayangan dan penggubahan lirik Bengawan Solo, di seantero dunia. "Saya memang cocok dan mempercayai Mas Rinto," ujar Gesang, seusai menandatangani surat kuasa itu, sambil menepuk pundak Rinto. Yang ditepuk, Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), menanggapi, "Saya akan mengupayakan perolehan hak-hak ekonomi atas lagu Bengawan Solo yang kesohor itu." Rinto juga menyatakan akan mendaftarkan Gesang menjadi anggota badan administrasi kolektif yang mengelola royalti internasional -- di Jepang, misalnya, ada Royalty Collective Society. Nah, kelak jika Bengawan Solo diperbanyak pihak ketiga di dalam negeri, melalui Rinto, Gesang akan memperoleh 2/3 dari royaltinya. Sisanya, kata Rinto, untuk mengganti biaya administrasi pihaknya. Untuk perekaman dan peredaran di luar negeri, pembagiannya: 50% badan royalti internasional, 2/3 dari sisanya untuk Gesang, selebihnya bagian Rinto. Royalti yang bakal menjadi hak Gesang, masih kata Rinto, nantinya juga termasuk dari penayangan jenis baru, yakni performing right, baik dari live show maupun pemutaran lagu di radio, TV, restoran, hotel, dan night club plus pub-pub. Jenis royalti itu memang terhitung lahan bisnis hak cipta yang baru. Alasannya sederhana saja. Sebagaimana dikatakan Bambang Kesowo, Sekretaris Tim Keppres No. 14, yang membenahi berbagai masalah hak-hak milik intelektual (intellectual property right), termasuk hak cipta. "Bagaimanapun, karya cipta di bidang musik bukanlah karya universal, yang dianggap bisa dinikmati siapa pun dengan cuma-cuma," kata Bambang, yang mengambil peran penting ketika penggodokan RUU Hak Cipta 1987. Hanya saja, ketentuan royalti untuk performing right itu masih akan disusun bersama lagu-lagu Indonesia lainnya oleh badan royalti di sini, Yayasan Karya Cipta Indonesia -- pembentukannya baru beberapa bulan lalu, dengan ketua Rinto juga, disetujui Mensesneg Moerdiono. Dengan begitu, juga menurut Rinto, cerita royalti US$ 500 ribu atau sekitar Rp 850 juta, yang dikabarkan sejak September 1988 akan diterima Gesang dari Jepang, lupakan saja. Pihak Jepang, katanya, ternyata menghibahkan royalti itu ke lembaga sosial di sana. Itu lantaran Indonesia tak menjadi anggota Konvensi Bern dan tak pula punya perjanjian bilateral dengan Jepang. Selain itu, katanya, Gesang belum menjadi anggota badan royalti internasional di Negara Sakura itu. Ketua Kan I Ren (badan penghubung persahabatan Jepang-Indonesia) Takahashi, yang juga sobat Gesang di Jepang, membenarkan gagalnya royalti Gesang itu akibat Indonesia tak ikut Konvensi Bern. Tapi, "Kalau Indonesia ikut konvensi itu, bisa jadi Indonesia malah yang bayar lebih banyak ke Jepang," kata Takahashi. Sebab, tambahnya, lebih banyak lagu Jepang yang dibajak di sini. Hanya saja, khusus untuk Gesang, pada September 1988, sebetulnya Kan I Ren sudah memberikan semacam hadiah 658 ribu yen. Sebesar US$ 400 dari jumlah itu langsung diberikan kepada Gesang, US$ 400.000 ditransfer ke rekening Gesang di suatu bank di Solo, sisanya dibelikan alat-alat lukisan minyak buat Gesang. "Katanya, Gesang mau menjalani sisa hidupnya dengan melukis," kata sumber di Kan I Ren. Pupus-tidaknya royalti untuk Gesang mungkin kini tak lagi menjadi persoalan. Apalagi Gesang sudah dapat "kado" akhir tahun dari Rinto. Hanya saja, dari kasus lagu Bengawan Solo, tampaknya masih panjang jalan yang mesti ditempuh para pencipta lagu di sini untuk mendapatkan royalti internasional. Dengan Jepang saja, contohnya, kita belum memiliki perjanjian bilateral di bidang hak cipta. Sampai kini Indonesia baru terikat perjanjian bilateral dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Mei 1988, dan Amerika Serikat, Agustus lalu. Selain itu, masih ada kendala tidak ikutnya Indonesia dalam keanggotaan Konvensi Bern. Padahal, "Hak Cipta dalam bidang musik memiliki potensi bisnis yang besar," ujar Kepala Biro Hukum Menteri Sekretaris Negara, Bambang Kesowo, dalam Seminar Nasional Hak Cipta di FH Universitas Sebelas Maret, Solo, Sabtu dua pekan lalu. Persoalannya memang sejauh mana keuntungan yang bisa diperoleh oleh pencipta-pencipta Indonesia, jika kita ikut Konvensi Bern dan terikat dengan perjanjian-perjanjian bilateral lainnya. Jangan-jangan, seperti kata Takahashi tadi, pihak kita akan membayar lebih banyak kepada pihak asing, jika saja kita ikut berbagai perjanjian tersebut. Sebab, berapa banyak, sih, lagu Indonesia yang setenar Bengawan Solo di negara-negara lain? Happy S., Muchlis H.J. (Jakarta), Katoyo Ramelan (Solo), dan Seiichi Okawa (Jepang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus