Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPAN berisi lembaran kertas buram itu bergambar jalur-jalur jaringan transaksi narkotik dan obat-obatan berbahaya. Terletak di salah satu ruang gedung Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya, di situlah Direktur Narkotik dan Obat-obatan Berbahaya Komisaris Besar Arman Depari kerap membahas rencana penggerebekan narkoba bersama anak buahnya. ”Kalau kami briefing, ya, seperti ini,” kata Arman menunjuk papan itu serta sejumlah kursi yang berserakan di ruangan tersebut.
Tak gampang memang membongkar mata rantai jaringan narkoba yang makin lama makin canggih ini. Setidaknya aparat butuh waktu dua sampai enam bulan untuk membongkarnya. ”Anggota di lapangan bisa tidak pulang satu sampai dua bulan,” kata Arman.
Cara paling efektif yang dipakai polisi untuk melakukan kontak dengan anggota jaringan tetap adalah teknik penyamaran. Biasanya mereka yang ”diturunkan” digondrongkan dulu rambutnya. Pakaian dikamuflasekan. Menurut sumber Tempo, biasanya mereka yang diterjunkan itu memakai kaus oblong. Untuk celana, umumnya jins. Para anggota berpenyamaran seperti inilah yang terlihat di seputar kompleks Taman Mutiara Palem saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke ruko yang baru digerebek polisi tersebut. Sejumlah orang di sekitar ruko itu baru ”ngeh” bahwa para pemuda gondrong yang kerap ada di sekitar tempat itu aparat keamanan setelah ruko tersebut diserbu polisi.
Lantaran tugas membongkar jaringan narkoba itu berbahaya, polisi yang diterjunkan itu dibekali sejumlah peralatan untuk berjaga-jaga. Mereka yang diterjunkan ini pun sebenarnya bukan sembarang polisi. Sebagian besar dari mereka sudah mendapat pelatihan khusus narkoba di Thailand dan Amerika Serikat. Di sana, selain mendapat pengetahuan tentang aneka rupa narkoba—dari yang paling murah hingga yang paling mahal—mereka mendapat ilmu teknik melacak dan membongkar sel-sel jaringan narkoba.
Kini, kemampuan peralatan canggih yang dimiliki polisi bisa dibilang berkejaran dengan peralatan canggih yang juga dimiliki para pengedar barang haram itu. Semua anggota jaringan narkoba biasanya selalu menggunakan alat komunikasi, seperti telepon seluler, misalnya, dengan nomor private. Untuk transaksi, mereka juga memakai sistem Internet banking. Untuk jumlah berapa pun, para bandar narkoba emoh menerima duit cash. Bahkan pembelian sabu sebanyak setengah ons pun (nilainya sekitar Rp 50 juta), misalnya, dilakukan lewat rekening. Uang yang masuk ke bank langsung dipecah dan dikirim ke beberapa rekening. Menurut sumber Tempo, rekening itu biasanya ”melompat” hingga ke luar negeri, hingga mustahil jaringan ini bisa dibongkar tanpa kerja sama dengan aparat negara lain.
Nah, untuk melawan kecanggihan teknologi semacam itu, polisi harus memiliki alat penangkap sinyal telepon yang bisa mengendus keberadaan para penjual narkoba ini. Di Indonesia, alat canggih ini dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Alat ini ada dua jenis. Ada yang permanen, diletakkan di dalam ruang, ada pula yang bisa dibawa-bawa, bahkan di atas sepeda motor. Apakah peralatan milik Direktorat Narkoba seperti itu? Untuk soal ini, Arman tak mau menjawab. ”Soal peralatan yang kami miliki, itu rahasia kami,” katanya.
Untuk penggerebekan di dalam rumah atau apartemen, polisi tetap mengandalkan keterampilan mereka menelisik tempat-tempat yang biasa dijadikan ”ruangan” untuk menyembunyikan narkoba yang sudah dikemas. Bisa di bawah kursi, di dalam paralon kamar mandi, bisa juga di dalam tembok yang sudah disusun sedemikian rupa. Untuk hal seperti ini, para anggota pasukan khusus pelacak narkoba nyaris tak pernah memakai anjing pelacak atau detektor logam, peralatan yang harganya sekitar Rp 1 miliar dan bisa ”mengendus” narkoba hingga di balik tembok.
Dua pelacak narkoba ini biasanya, ujar Arman, digunakan untuk mengendus narkoba di bandara udara, pelabuhan laut, atau di wilayah perbatasan yang dijadikan pintu gerbang keluar-masuk warga negara asing ke Indonesia atau sebaliknya.
Martha Warta Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo