Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARUNG Internet itu kini sunyi senyap. Spanduk bertulisan ”Warnet Dust Net” yang menggantung di depannya sudah tak tampak. Di depan ”warung” itu, sebuah pita polisi berwarna kuning melintang, menandakan tempat tersebut terlarang dimasuki siapa pun. Saat Tempo mendatangi tempat yang terletak di Perumahan Taman Palem Mutiara, Jakarta Barat, itu pekan lalu, pintu rumah toko (ruko) berlantai tiga tersebut dikunci dari luar.
Jumat dua pekan lalu, polisi menggerebek ruko yang disewa per bulan Rp 25 juta itu. Warga perumahan di sana pun gempar. Ruko yang dijadikan tempat bisnis warnet dengan fasilitas sekitar 20 komputer itu ternyata memiliki fungsi ganda, sebagai pabrik pengolahan sabu-sabu. Polisi telah menetapkan tiga tersangka yang diduga sebagai otak bisnis haram ini: Wiryo Sutandar, Jack, dan Edi Handoyo.
Bahan baku sabu yang ditemukan di ruko yang sehari-harinya ramai dikunjungi remaja untuk bermain game Internet itu cukup mencengangkan. Di antaranya 45 kilogram sabu cair, satu jeriken sabu setengah jadi, delapan dus zat epidrin, 70 kilogram fositor, dan 25 kilogram soda api. Di lantai dua ruko itu juga polisi menemukan 12 kilogram sabu yang siap jual.
Menurut polisi, warnet berumur dua bulan itu dibuat jelas untuk kamuflase. Salah seorang karyawan yang berkantor di samping Warnet Dust Net, Yahya, mengakui warnet itu terkesan dibuat asal ”jalan”. ”Kualitas komputernya jelek,” ujarnya. Lantai dua dan tiga ruko itu, kata Yahya, selalu tertutup kertas koran, sehingga kesannya lantai itu sedang direnovasi.
Pabrik sabu itu ternyata tak berdiri sendiri. Sekitar 400 meter dari ”warnet sabu” ini, polisi juga menemukan dua rumah yang dijadikan tempat pengolahan sabu-sabu. Di dua rumah yang terletak di Perumahan Malibu Blok I dan Malibu Blok A tersebut, selain menangkap sejumlah orang, polisi menemukan bahan-bahan pembuat sabu.
Menurut Wardoyo, warga Perumahan Malibu, warga sebenarnya sudah curiga terhadap gerak-gerik penghuni dua rumah tersebut. Penghuninya, kata dia, jarang keluar dan tak bergaul dengan warga. Jendela rumah pun selalu ditutup gorden. ”Mereka juga memasang kamera CCTV yang diarahkan ke jalan,” ujar Wardoyo.
Dua rumah ini memang ada hubungannya dengan pabrik sabu di Warnet Dust Net. Menurut Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Arman Depari, dua rumah itu sempat dijadikan pabrik uji coba pembuatan sabu. ”Setelah berhasil, kegiatan dipindahkan ke ruko Taman Palem itu,” kata Arman. Dua rumah itu—berstatus kontrak—lalu dijadikan pabrik pengolahan bahan pendukung.
Produksi sabu ruko Taman Palem ini lumayan besar, sekitar tujuh kilogram sehari. Dengan asumsi harga per gram sekitar Rp 1,2 juta, omzet sabu dari pabrik berkedok warnet itu sehari sekitar Rp 8,4 miliar.
Temuan pabrik sabu di tengah permukiman warga seperti di Taman Palem dan Perumahan Malibu itu bukanlah yang pertama. Dalam dua bulan terakhir, Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya telah mengungkap beberapa pabrik sabu-sabu yang juga berada di tengah permukiman warga, ruko, atau apartemen. Antara lain di Perumahan Taman Ratu, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan di Jalan Karang Anyar, Jakarta Pusat. Sebelumnya, polisi juga membongkar sindikat pembuat sabu-sabu yang berdiam di Apartemen Mediterania Kelapa Gading, Jakarta Utara. ”Tapi semua itu tidak ada hubungannya dengan yang di Taman Palem,” kata Arman. Hanya, ia memastikan, para pemain lama ikut terlibat dalam bisnis sabu yang digerebek aparat itu.
Yang cukup mengejutkan polisi adalah ”pabrik” yang berada di Perumahan Taman Ratu, Kebon Jeruk. Pabrik ini diduga sehari bisa menghasilkan sabu sebanyak satu kuintal. Polisi menduga pabrik ini mempekerjakan ”koki” asing untuk meracik sabu itu. Adapun di pabrik sabu yang digerebek di Taman Palem dan Apartemen Mediterania tidak ditemukan ada tenaga asing yang berperan sebagai peracik. Menurut seorang penyelidik, salah satu peracik yang ditangkap polisi di Taman Palem adalah sarjana farmasi dari sebuah universitas di Jakarta Selatan. Arman tak menyangkal soal ini. Hanya, ia menolak menyebutkan identitasnya.
Polisi memang menangkap tren baru di kalangan sindikat narkoba dalam menjalankan bisnis mereka. Mereka, misalnya, memanfaatkan teknologi Internet untuk belajar meracik sabu-sabu. ”Meski tidak seluruh proses pembuatannya,” kata Arman. Sejumlah laptop yang disita polisi di lokasi pembuatan sabu yang digerebek, menurut seorang penyidik, penuh dengan berbagai artikel atau tulisan tentang pembuatan sabu yang diperoleh dari Internet.
Soal lokasi pembuatan juga terjadi perubahan besar. Berbeda dengan pabrik sabu yang dulu biasanya dibuat di pinggiran kota, misalnya di Cikande, Tangerang, atau Jasinga, Bogor, kini pabrik didirikan di tengah permukiman. Pabrik ini dilengkapi laboratorium mini. ”Tapi produksinya rutin,” ujar Arman.
Dengan peralatan canggih, pembuatan sabu dengan ”tempat mini tapi hasil maksi” ini bisa lebih sederhana dan cepat. Di antaranya dengan metode bahan mentah (raw method), yakni mencampurkan bahan tertentu dengan zat kimia tertentu, sehingga mereka tak memerlukan proses pabrik yang rumit dan berskala besar. Polisi menyebut pabrik rumahan itu dengan istilah ”laboratorium klandestin”. ”Dengan laboratorium seperti itu, mereka bisa menghasilkan mutu sabu yang sama baiknya dengan buatan pabrik berskala besar,” ujar seorang penyidik.
Perumahan dan apartemen mewah digunakan, menurut Direktorat IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia Brigadir Jenderal Harry Montolalu, karena pelakunya merasa lebih aman melakukan aksinya. Lokasi seperti ini, jika bukan di apartemen, biasanya di perumahan mewah. ”Mereka hanya perlu memperbanyak alat penyedot udara (exhaust) untuk membuang zat asam yang dihasilkan di dalam ruangan laboratorium,” ujar Harry.
Demikian pula dengan tenaga ahli peraciknya. Sebelumnya, pabrik sabu mengandalkan tenaga dari luar, tapi kini tenaga dalam negeri pun sudah andal meracik barang putih haram itu. ”Artinya, memang telah ada transfer teknologi di antara mereka,” ujar Arman.
Ciri lain dari pabrik klandestin seperti ini adalah memisahkan bagian per bagian dari tahap pembuatan sabu. Pemisahan ini dilakukan di lokasi yang berbeda-beda. Mereka baru meramunya menjadi sabu-sabu pada tahap terakhir. Soal ini diakui sumber Tempo yang pernah dipenjarakan karena terlibat sabu-sabu. Menurut dia, cara ini sebenarnya sudah dilakukan sejak setahun silam, setelah polisi menggerebek pabrik sabu di beberapa tempat pinggiran kota. Tujuan utamanya, jika satu tempat digerebek, tempat yang lain memiliki kesempatan untuk tutup dan pelakunya kabur.
Ada tujuan lain dengan sistem terpisah ini. Jika ”pabrik” terbongkar dan tidak ada barang bukti sabu, mereka bisa berkilah tidak membuat sabu tapi sekadar menyimpan prekursor, zat yang bisa dibuat jadi sabu. Di Indonesia sendiri belum ada aturan atau undang-undang yang mengatur soal prekursor ini. Artinya, dengan dalih barang itu tak dilarang, mereka bisa bebas di pengadilan. Arman tak menolak, pemisahan lokasi pembuatan sabu itu untuk menghindari jerat hukum juga. ”Ya, memang itu salah satu tujuannya,” kata Arman.
Pemisahan lokasi ini jugalah yang dilakukan para pemilik pabrik sabu yang digerebek polisi di Taman Ratu, Kebon Jeruk. Dari penggerebekan itu, polisi akhirnya berhasil mengorek informasi, pabrik tersebut memiliki tempat pengolahan lain di kompleks Puri Marina Ancol Blok J-6 dan di ruko Taman Pluit Kencana. Sedangkan pabrik di Apartemen Mediterania Kelapa Gading juga memiliki tempat penampungan di Jalan Pademangan Timur IV, Jakarta Utara.
Tenaga kerja pabrik sabu-sabu ala klandestin ini juga efisien. Rata-rata hanya 10 orang. Hanya, lantaran tempatnya terpisah, mereka biasanya tidak saling mengenal. Seorang penyidik bercerita kepada Tempo, kendati tenaga kerja mereka minim, sistem kerja mereka sangat efektif, sistematis, dan cepat. Meski demikian, sumber itu tak menutup mata, ada pula pekerja yang memiliki tugas rangkap. Tenaga terbanyak biasanya di level distributor atau kurir.
Kenapa pabrik klandestin ini marak? Polisi menunjuk, itu karena meningkatnya konsumen dan keuntungan yang diraih dari bisnis ini. ”Apalagi membuatnya juga gampang,” ujar Harry. Menurut Harry, tahun lalu harga sabu per gram sekitar Rp 1,5 juta, tapi kini sudah naik menjadi Rp 2 juta di sejumlah tempat. ”Peralatan laboratoriumnya juga mudah didapat,” kata Harry. ”Termasuk prekursor yang disalahgunakan itu,” ujarnya. Karena itu, salah satu cara untuk menangkal berkembangnya pabrik sabu yang produksinya kini sudah mengalir ke luar negeri ini, menurut Harry, harus ada aturan tegas soal impor prekursor. Selain itu, masyarakat mesti ikut mengawasi lingkungannya.
Ramidi, Akbar Tri Kurniawan, Mabsuti Ibnu Marhas (Serang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo