SUAMI-istri Bachtiar dan Cut Mariana ternyata tidak melarikan diri setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hukumannya masing-masing 10 tahun dan 15 tahun penjara. Kamis pekan lalu, terhukum perkara ganja itu muncul di Pengadilan Negeri Medan bersama pengacaranya, Syahriar Sahdan, menjemput vonis kasasi. Ketika itu juga mereka sekaligus memohon grasi. Munculnya orang yang pernah dituduh berdagang ganja itu melegakan aparat-aparat kejaksaan dan kepolisian Medan. Sebab, setelah vonis Mahkamah Agung keluar, Juni lalu, kejaksaan kehilangan jejak kedua orang itu untuk mengeksekusi keputusan tersebut. Sejak Agustus lalu, Cut dan Bachtiar memang "ditahan luar" karena wewenang Mahkamah Agung untuk menahannya sudah habis. Karena itu, banyak yang menduga bahwa suami-istri itu melarikan diri sebelum vonis kasasinya turun. Ternyata, semua dugaan itu meleset. Mendengar putusannya sudah keluar, Cut, 40, dan Bachtiar, 34, meninggalkan tempat liburan Lebarannya di Pidie, Aceh, menuju Medan untuk melaporkan diri. "Jadi, tidak benar berita-berita yang mengatakan, kami menghilang atau melarikan diri," ujar Cut Mariana, kalem. Semula, 1983, Cut dan Bachtiar divonis Pengadilan Negeri Medan masing-masing hanya 10 bulan penjara, meski kedua pedagang itu dianggap terbukti memesan ganja dari Aceh sebanyak 161 kg. Vonis itu, belakangan, 1984, "diralat" peradilan banding. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar Siregar, mengatrol hukuman itu menjadi 15 dan 10 tahun penjara. Dan Mahkamah Agung mengukuhkan putusan banding itu. Tapi, toh, Cut dan Bachtiar tidak harus langsung menjalani hukuman itu. Sebab, selain memohon grasi, ia mengajukan penangguhan eksekusi kepada ketua Pengadilan Negeri Medan Hasan G. Shahab. Pengadilan, mau tak mau, mengabulkan. Sebab undang-undang membenarkan penangguhan eksekusi bila terhukum yang berada di luar tahanan meminta grasi. Undang-undang itu tldak pula mensyaratkan sesuatu - misalnya, terhukum wajib lapor atau memberikan jaminan untuk tidak lari. "Pokoknya mereka bebas dan merdeka," ujar panitera Pengadilan Negeri Medan Aminuddin Harahap. Cut dan Bachtiar sendiri mengakui bahwa banyak orang yang mempengaruhinya untuk melarikan diri selama ditahan luar. "Tapi kami tidak mau, karena kami yakin kebenaran akan berdiri - tidak di dunia, ya di akhirat," ujar Cut dan Bachtiar, yang tetap yakin tidak bersalah. Tapi siapa yang menjamin keyakinan itu tidak berubah sampai putusan grasi turun? Tidak pula jelas siapa yang bertanggung jawab bila kekhawatiran seperti itu benar-benar terjadi. Sebab, "Semua persoalan itu belum diatur oleh undang-undang grasi atau KUHAP. Jadi, suatu risiko," ujar Hakim Hasan G. Shahab. Humas Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Soegeng K.S., membantah bahwa pihaknya bertanggung jawab bila Cut dan Bachtiar lari. "Walau jaksa berfungsi sebagai eksekutor, soal pengawasan semacam itu belum diatur undang-undang," kata Soegeng. Sebab itu, Soegeng menunjuk Cut dan Bachtiar sendiri yang bertanggung jawab bila mereka lari. "Jika mereka lari, 'kan risiko mereka sendiri menjadi buron yang diuber-uber polisi," kata Soegeng. Pengacara Cut dan Bachtiar, Syahriar, merasa geli mendengar perdebatan itu. "Lho, siapa yang mengatakan klien saya akan melarikan diri?" katanya membalikkan pertanyaan. Cut dan Bachtiar juga menilai kecemasan para penegak hukum itu aneh. "Kami saja tidak berpikir seburuk itu," kata Cut, yang kini selalu berpakaian sari, seperti wanita India. Seandainya pun grasi itu ditolak Presiden, wanita itu berjanji akan datang sendiri ke kejaksaan untuk dimasukkan penjara. Tapi ia, toh, berharap Presiden mengabulkan permohonannya. "Orang merdeka itu bahagia," ujar Cut, yang berwajah hitam manis sambil mengibaskan selendang putihnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini