JAKSA memang harus hati-hati. Setiap kesalahan kata atau pasal dalam surat dakwaan atau tuntutan bisa menjadi bulan-bulanan pengacara. Jaksa T. Simanjuntak dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, pekan lalu dipersoalkan Pengacara Otto Hasibuan dan Wahyu Afandi karena menambahkan pasal pemberatan - pasal 65 KUHP - dalam tuntutannya pada suatu perkara penipuan. Padahal, pasal itu tidak tercantum di surat tuduhan. Jaksa T. Simanjuntak semula menuduh pedagang kacang kedelai di Jakarta, Ng Pay Yin alias A Pay, melakukan serangkaian penipuan terhadap rekan-rekannya sesama pedagang. Selama 1984, kata Jaksa, A Pay melakukan tidak kurang dari tujuh kali tindakan penipuan dengan korban yang berbeda-beda. Akibat kejahatannya itu, para korban dirugikan sekitar Rp 1,5 milyar. Untuk kejahatan itu, Simanjuntak tidak kurang dari tujuh kali memakai pasal 378 KUHP dalam surat dakwaannya. Ia juga menggunakan pasal 379 a (utang sebagai mata pencaharian) dan pasal 372 (penggelapan) sebagai tuduhan alternatif - untuk sebagian perbuatan A Pay. Berdasarkan ketiga pasal itu, A Pay diancam dengan hukuman 4 tahun penjara. Tapi, entah kenapa, untuk ketujuh pasal penipuan itu - yang dituduhkan secara gabungan - Simanjuntak tidak mencantumkan pula pasal 65 KUHP. Pasal itu memungkinkan ancaman hukuman ditingkatkan 1/3 dari tuduhan pokok untuk kejahatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Barulah, ketika tuntutan dibacakan, Simanjuntak mencantumkan pasal pemberatan itu. Dalam tuntutannya, Rabu dua pekan lalu, Simanjuntak memang menuntut A Pay melebihi ancaman pasal 378, 5 tahun penjara. Jaksa Simanjuntak yakin, A Pay menipu. Sebab, dalam berutang terdakwa memakai jaminan palsu dan giro bilyet kosong. Penambahan pasal 65 itulah yang kemudian "ditembak" Wahyu Afandi dan Otto Hasibuan: "Jaksa mencoba menyelundupkan satu pasal dalam tuntutannya." Dalam pledoinya sebanyak 30 halaman, tim pembela menganggap tindakan jaksa itu merugikan kepentingan terdakwa, bertentangan dengan hukum acara, dan melampaui batas wewenang. Sebab, kata tim pembela, dengan penambahan pasal 65 itu berarti Jaksa sudah mengubah surat dakwaan. Padahal, perubahan surat dakwaan hanya mungkin dilakukan jaksa, menurut hukum acara, sebelum persidangan. Jaksa Simanjuntak tidak menangkis serangan tim pembela itu. Kepada TEMPO pun ia tidak berkomentar. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, membantah bahwa anak buahnya mengubah dakwaan pada saat tuntutan. Menurut Bob, dakwaan jaksa itu sudah jelas merupakan dakwaan gabungan. Sebab, setiap perbuatan yang dilakukan A Pay diuraikan satu per satu. "Tuduhan terbukti. Karena itu, terdakwa dituntut berdasarkan tuduhan gabungan," tutur Bob. Malah, menurut Bob, A Pay seharusnya merasa beruntung karena didakwa secara gabungan. Sebab, kalau perkaranya dipisah-pisah, ia bisa tujuh kali dihadapkan di pengadilan dengan tuduhan yang sama dengan fakta berbeda: penipuan. "Kalau dihukum tujuh kali empat tahun 'kan menjadi 28 tahun. Tetapi karena undang-undang mensyaratkan perbuatan yang diulang-ulang seperti itu dituntut secara gabungan, ia hanya terkena pemberatan berdasarkan pasal 65 itu," tambah Bob. Hakim M. Hatta sependapat dengan Bob. "Kalau perkara itu tidak dibungkam, berarti ancaman hukuman untuk A Pay menjadi 28 tahun," kata Hatta. Hakim Hatta tidak pula mencela Jaksa mencantumkan pasal 65 pada saat tuntutan. "Tanpa dicantumkan pun, di persidangan sudah jelas bahwa kejahatan itu dilakukan berulang kali. Jadi, hukuman pemberatan itu bisa saja di jatuhkan tanpa jaksa mencantumkan pasal 65 itu," tutur Hatta. Ia juga tidak sependapat bila Jaksa dituduh mengubah surat dakwaan. Hanya, di persidangan, Rabu pekan lalu, Hatta tidak sependapat bahwa A Pay melakukan penipuan. Ia lebih yakin, A Pay melakukan "utang sebagai mata pencaharian". Berdasarkan itu, Hatta menvonis A Pay dengan hukuman 3 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini