SUASANA lalu lintas di kota-kota besar Indonesia menjadi tertib. Lebih terasa lagi di Jakarta. Bis-bis kota, yang biasanya merajai jalanan, kini - selain lebih sopan - malah sebagian hilang dari peredaran. Rupanya, operasi penertiban lalu lintas yang lebih dikenal dengan "Operasi Zebra", di seluruh Indonesia benar-benar menunjukkan keampuhannya. Apalagi Polri, selain menahan kendaraan-kendaraan yang terjaring dalam operasi, Juga mengancam membatalkan SIM (Surat Izin Mengemudi) pelanggar. Kepala Polda Metro Jaya Mayjen Soedarmadji, yang terkenal karena sukses menertibkan lalu lintas semasa menjadi kadapol Jawa Timur, mendapat kehormatan melaksanakan operasi di Jakarta, mendahului daerah lain. Sejak Maret lalu sampai operasi serentak dilakukan di seluruh Indonesia, katanya, sudah 18 SIM pengemudi yang dibatalkan. Jumlah itu meningkat setelah operasi serentak dilancarkan sejak pekan lalu. Kecuali pembatalan SIM, kepala Polda Metro Jaya juga mengancam "mencakungkan", atau menyimpan kendaraan-kendaraan pelanggar di bekas pergudangan Cakung, Jakarta. Kapolda juga mengancam petugas yang mencoba "main-main" dalam operasi ini. "Siapa saja yang mencoba melakukan pungli akan ditindak. Kalau perlu, pangkatnya diturunkan," ujar Soedarmadji, yang mengaku terpaksa mengorbankan beberapa oknum petugas yang menyeleweng dalam operasi itu. Tindakan tegas semacam itu, menurut kepala Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Letkol Sonny Harsono, hanya akan dikenakan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Misalnya pengendara yang, karena kesalahannya, menyebabkan orang lain meninggal atau luka berat. Juga pengendara yang melanggar peraturan dalam keadaan mabuk. "Termasuk mereka yang melakukan pelanggaran berulang kali," tambah Wadit Lantas Letkol A. Himawan. Maksudnya, pengendara yang ketika tertangkap hanya bisa menunjukkan surat tilang (bukti pelanggaran) dari pelanggaran sebelumnya. Berhakkah polisi mencabut atau membatalkan SIM pengemudi yang melakukan pelanggaran seperti itu? Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soedijono, mengatakan berhak. "Polisi bisa saja mencabut apa yang pernah diberikannya kepada orang lain. SIM itu diberikan polisi. Jadi, kalau dia mau mencabutnya, bisa saja," kata Soedijono. Namun, kata Soedijono, tindakan semacam itu hendaknya dilakukan kepada yang benar-benar melakukan pelanggaran berat, seperti yang menyebabkan orang lain mati. Tapi sebuah sumber di pengadilan yang sama tidak sependapat. "Polisi tidak bisa begitu saja mencabut SIM seseorang. Sebab, menurut ketentuan undang-undang, hak seseorang hanya bisa dicabut melalui putusan pengadilan," katanya. Bahkan, kata sumber tadi, polisi tidak berwenang menyita SIM seseorang tanpa izin pengadilan atau kejaksaan. "Penahanan SIM yang dilakukan selama ini bukan penyitaan, tapi hanya sekadar jaminan bahwa si pelanggar akan hadir di persidangan," tutur sumber yang tidak mau disebut namanya itu. Seorang ketua pengadilan di Jakarta juga membenarkan bahwa pencabutan SIM hanya bisa dilakukan pengadilan. "Sebab, di pengadilanlah bisa dipastikan kesalahan seseorang dengan berbagai pertimbangan," ujar sang ketua. Tapi, baik ia maupun Soedijono sependapat, polisi tidak berhak "mencakungkan" kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas. "Sanksi-sanksi untuk pelanggar lalu lintas itu sudah diatur undang-undang lalu lintas tahun 1965. Kalau masih dirasa tidak cukup, undang-undang itu harus diubah lebih dulu," tambah ketua pengadilan itu. Rekannya, Soedijono, walau setuju polisi bisa mencabut SIM, juga tidak sependapat bila polisi menahan kendaraan yang terjaring suatu operasi. "Sebenarnya, polisi menahan STNK saja tidak berhak. Yang salah 'kan bukan kendaraannya, tapi pengemudinya," ujar Soedijono. Wewenang yang terbatas itu bukan tidak disadari pihak Polri. Sebab itu, pagi-pagi kepala Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Letkol Sonny Harsono, mengatakan bahwa pihaknya tidak akan mencabut SIM pelanggar, "Tapi hanya membatalkan." Pembatalan semacam itu, kata Sonny, akan dilakukan bila pengemudi yang melanggar tidak lulus ketika diuji ulang. "SIM mereka akan dibatalkan selama enam bulan setelah itu mereka akan diuji lagi untuk mendapatkan SIM baru," ujar Sonny. Uji ulang seperti itu ternyata ada dasar hukumnya. Peraturan pemerintah tentang lalu lintas jalan, 1934, memang memberi wewenang kepada polisi untuk menguji kembali pengemudi-pengemudi ber-SIM yang diragukan kemampuannya. "Jadi, pertama-tama polisi akan mengusulkan kepada hakim agar SIM pengemudi itu dicabut. Bila tidak dikabulkan, baru dilakukan uji ulang," ujar Letkol A. Himawan. Sekjen Peradin (organisasi advokat) Maruli Simorangkir juga membenarkan bahwa polisi mempunyal wewenang membekukan SIM. "Sebab, instansi itulah yang mengeluarkan - sama seperti Departemen Perdagangan membekukan izin perusahaan untuk ekspor-impor," ujar Maruli. Pencabutan, pembatalan, pembekuan, atau apa pun namanya, yang ketar-ketir tentu pengemudi juga. "Kalau harus dicabut SIM, kok, rasanya kelewatan. Tolong lihat-lihat dululah kesalahannya. Kalau hanya kurang perlengkapan, mbok jangan dicabut, kecuali kalau sudah menabrak orang sampai mati," ujar Bunardi, pengemudi bis Patas Mayasari Bakti. Alasannya, kalau SlM-nya dicabut, "Saya mau kerja apa lagi?" Senada dengan itu sopir truk dari Wonosari, Yogyakarta, Sudarmadi. Ia terkena operasi di Bekasi hanya karena salah satu lampunya mati. "Kalau SIM saya sampai dicabut, apa yang harus saya perbuat lagi? Kerja berat sudah tidak mungkin lagi bagi sopir-sopir seperti saya," katanya. Karni Ilyas Laporan Bunga Surawijaya & Didi S. Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini