Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Rekening Calo

Mahkamah Agung membuat dua putusan yang bertentangan. Belum jelas siapa pemilik dana Rp 546 miliar.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENCAIRAN piutang Bank Bali, atau yang dikenal sebagai cessie, mulai memasuki babak kedua. Bank Bali, yang kini melebur ke Bank Permata, kukuh menguasai rekening sebesar Rp 546 miliar. Dana itu berasal dari komisi yang diperoleh Joko Sugiarto Tjandra, komisaris PT Era Giat Prima (EGP), setelah berhasil mencairkan piutang Bank Bali. Inilah yang akan direbut PT EGP melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Rebutan rekening itu berawal dari perjanjian yang dilakukan Bank Bali dengan PT EGP. Isinya, PT EGP bersedia mencairkan piutang Bank Bali senilai Rp 904 miliar di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang berada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Utang ini terjadi sebelum BDNI ambruk dan seluruh asetnya diserahkan ke BPPN. Nah, sebagai upah pencairan itu, PT EGP akan mendapat Rp 546 miliar. Begitu piutang cair, kasusnya mencuat ke permukaan. BPPN lantas membatalkan perjanjian tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, yang memberikan kekuasaan kepada BPPN untuk membatalkan kontrak antara bank dalam penyehatan dan pihak ketiga yang dianggap merugikan. PT EGP pasti ogah terima. Lewat pengajuan Setya Novanto, Direktur Utama PT EGP, BPPN dihadapkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hasilnya, pada 2 Maret 2000, PTUN memutuskan bahwa perjanjian itu absah. Namun kasasi di Mahkamah Agung memutuskan sebaliknya: batal. Bahkan MA juga menetapkan PP No. 17/1999 tersebut oke. Artinya, duit Rp 546 miliar tersimpan aman di rekening Bank Bali. Selanjutnya, sang komisaris, Joko S. Tjandra, digiring ke pengadilan dengan dakwaan korupsi. Begitu pula pejabat Bank Indonesia (Syahril Sabirin) dan pejabat BPPN (Pande Lubis) yang diduga ikut memuluskan pencairan piutang itu. Dan uang Rp 546 miliar tadi lantas dimasukkan ke rekening bersama PT EGP dan Bank Bali sebagai barang bukti. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 28 Agustus 2000, Joko divonis bebas berikut embel-embel: rekening dikembalikan ke PT EGP. Tak terima, jaksa penuntut umum Antasari Azhar mengajukan kasasi ke MA. Tapi, pada 28 Juni 2001, MA tak hanya membebaskan Joko. Rekening itu bisa ia nikmati. Cuma, si rekening belum bisa dicairkan karena kejaksaan waktu itu masih menunggu putusan kasus Syahril dan Pande. Begitu hakim yang mengadili Syahril dan Pande tak lagi mempersoalkan barang bukti, pada 15 Agustus 2002, Joko dan Setya langsung menyurati MA. Isinya meminta fatwa agar Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan rekening yang diperebutkan ke PT EGP. Baru 4 Juni lalu, MA memerintahkan agar jaksa segera mengambil dana itu. Apa komentar Direktur Pidana MA Moegihardjo? Ia berkata, pemberian fatwa tersebut hanya untuk menyatakan bahwa kewenangan mengeksekusi ada di tangan kejaksaan. "MA tak bermaksud membuat bingung. MA hanya menyatakan kewenangan itu dalam fatwanya," kata Moegihardjo, yang tampak enggan berkomentar panjang. Fatwa pun ditindaklanjuti. Untuk itu, jaksa meminta Bank Permata memindahkan "isi" rekening rebutan ke rekening Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Antasari, ia hanya melaksanakan pemindahan sesuai dengan aturan yang ada. "Kalau tak menyerahkan rekening itu, mereka bisa dikategorikan menggelapkan barang bukti. Apalagi sudah dipakai untuk memodali Bank Permata. Itu bisa dikategorikan korupsi," katanya. Duit Rp 546 miliar itu memang masih dipakai sebagai barang bukti karena belum semua terdakwa kasus Bank Bali sudah mendapat vonis di tingkat kasasi. Tentu saja Bank Permata dan BPPN tak mau menyerahkan dana setengah triliun lebih itu begitu saja. Sebab, dana itu sudah dipakai sebagai tambahan modal ketika Bank Bali digabung dengan empat bank (Universal, Arthamedia, Prima Express, dan Patriot) menjadi Bank Permata. Bila dana itu digeser ke luar, ada kemungkinan bank bermodal Rp 28 triliun tersebut akan segera masuk pengawasan khusus BI. Rumit, kan? Akhirnya, BPPN dan Bank Permata meminta fatwa kepada MA. Lalu siapa yang berhak? Sambil menunggu fatwa MA, dengar dulu tanggapan pengamat hukum ekonomi Sutan Remy Sjahdeini: "Kasus ini menemui jalan buntu." Seharusnya MA teliti sebelum memutuskan, agar tak membuat dua putusan yang bertentangan. Apalagi, ujarnya, "Tak ada lembaga yang bisa mengoreksi keputusan MA." Agus S. Riyanto, Endri Kurniawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus