Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Patgulipat Tunggakan Pajak

Berpijak pada peraturan daerah, Pemerintah DKI akan menyita Hotel Sahid gara-gara mengemplang pajak. Pihak Sahid berlindung pada undang-undang.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEOLAH tak sedang dirundung masalah, karyawan Hotel Sahid Jaya Internasional tetap tersenyum ceria dan bersemangat melayani tamu yang datang dan pergi. Suasana meriah di Kafe Solo di sisi kiri lobi hotel pun tak surut. Para pelayan sibuk menjamu pengunjung yang mengisi semua bangku restoran di hotel yang berdiri di Jalan Sudirman, Jakarta, itu. "Ah, nggak bakal ada tutup hotel. Kalaupun hotel disita, kami akan tetap bekerja," kata seorang karyawan hotel milik konglomerat Sukamdani S. Gitosardjono ini. Ancaman itu tak main-main. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta berniat menutup dan menyita aset hotel berbintang lima itu bulan ini, jika manajemen hotel tak segera melunasi utangnya. Menurut Kepala Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta, Deden Supriadi, tunggakan pajak hotel ini yang belum disetorkan sejak 1996 berikut dendanya adalah Rp 13,26 miliar. "Rencana kami akan tetap jalan," ujarnya. Direncanakan pada 1 Juli, Den Supriadi akan mengeluarkan surat paksa kepada manajemen hotel. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pihak hotel hanya diberi waktu 24 jam untuk melunasinya. Jika pembayaran tunggakan pajak tak terpenuhi, 14 hari kemudian hotel itu akan dilelang. Hanya, Direktur Utama PT Hotel Sahid Jaya International Tbk., Hariyadi B. Sukamdani, membantah punya tunggakan sebesar itu. Ia mengaku cuma menunggak Rp 928 juta. Itu pun hanya untuk tahun 1999. Menurut dia, masalah ini terjadi karena perbedaan perhitungan besaran denda yang harus dibayar perusahaan atas keterlambatan, bukan pada besaran pokok pajak. "Kalau pokok pajak, sudah lunas," ujarnya. Perbedaan ini terjadi karena Pemerintah Daerah tetap berpegang pada Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1996, meski sudah ada Undang-Undang No. 18/1997 yang menjadi acuan pihak hotel. Inilah yang mengakibatkan perbedaan perhitungan nilai denda antara kedua belah pihak. Menurut undang-undang, denda keterlambatan pembayaran hanya 2 persen per bulan dan maksimum 48 persen jika terlambat 24 bulan. Sedangkan dalam peraturan daerah, denda bisa mencapai 200 persen setahun. Pada 1996 hingga 1999 Hotel Sahid memang sering terlambat membayar pajak. Pada 1996 denda pajak yang harus dibayar Rp 381 juta, dengan pokok pajak Rp 6,8 miliar. Pemerintah DKI kembali mengajukan klaim pada 1997 dengan denda keterlambatan Rp 531 juta, dari pokok pajak Rp 6,3 miliar. Lalu, pada 1998, klaim denda diajukan lagi dan mencapai Rp 7,6 miliar dengan besar pokok pajak Rp 5,8 miliar. Menurut Direktur Keuangan Sahid Hotel, Indro Yuwono, tagihan 1996 dan 1997 itu dicicil karena masih menyamakan perhitungan dengan pemerintah DKI. "Tahun 2001 baru ketemu jumlahnya," katanya. Klaim 1996 dan 1997 ini baru dibayar lunas pada 18 Maret 2002. Sementara itu, dari pokok pajak Rp 5,8 miliar pada 1998, menurut Yuwono, ada sisa yang belum dibayar sebanyak Rp 550 juta. Sejatinya, kata Yuwono, pada 14 Mei 1999 pihaknya telah mengirim pula surat permintaan penghapusan pembayaran sisa utang denda tahun 1998. Sebab, Pemda bersikukuh mengenakan penalti 200 persen plus denda 100 persen. Tapi untuk surat itu tak pernah ada tanggapan. Padahal, menurut Yuwono lagi, sesuai dengan undang-undang, jika dalam waktu 12 bulan belum ada keputusan, keberatan pembayaran dianggap diterima. Tampaknya Pemerintah DKI tetap mempersoalkan tunggakan pajak sejak 1996. Padahal yang menjadi persoalan menurut versi Sahid sebenarnya cuma keterlambatan pada 1999. Angkanya Rp 928 juta dari sisa pajak Rp 1,9 miliar, tapi pemerintah DKI mencatat angka Rp 4,7 miliar dengan pokok pajak Rp 3,5 miliar. Karena adanya perbedaan perhitungan ini, beberapa waktu lalu manajemen hotel telah mengajukan banding. Supriyadi mengakui adanya perbedaan dua aturan itu. Tapi, kata dia, ketentuan lama yang tercantum dalam peraturan daerah tetap berlaku. Dia enggan menanggapi soal penghapusan pembayaran denda secara otomatis karena surat keberatan dari Sahid pada Mei 1999 tak ditanggapi. "Waktu itu saya belum menjabat, tapi kami ada alasan untuk menolak," ujarnya. Namun belakangan niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai goyah. Masalah akan muncul jika hotel itu benar-benar disita. "Kalau saya segel gedungnya, saya sita asetnya, nanti karyawannya keleleran," kata Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso akhir pekan lalu. Jalan kompromi mungkin yang dicari. Hanibal W.Y. Wijayanta, Budi Riza, Sri Wahyuni, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus