Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berebut Tanah Sriwedari

Lewat putusan PTUN, tanah Taman Sriwedari dimiliki pribadi-pribadi. Pemerintah Kota Solo tenang saja.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERAH nian wajah Y.B. Irphan, pengacara keluarga ahli waris Raden Mas Tumenggung (RMT) Wirdjodiningrat. Selasa dua pekan lalu itu, gugatan kliennya atas Pemerintah Kota Solo dalam kasus kepemilikan tanah Taman Sriwedari dimenangkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah. Dalam putusannya, PTUN menyatakan mencabut sertifikat Hak Pakai No. 11 dan 15 atas nama Pemerintah Kota Solo, dan mengembalikan hak kepemilikannya kepada para ahli waris Wirdjodiningrat. Berdasarkan bukti-bukti hukum, menurut Ketua Majelis Hakim PTUN, Iskandar, penggugat memang pemilik sah tanah Taman Sriwedari. Tanah 99.889 meter persegi itu diketahui sebagai tanah persil recht van eigendom (RVE) verponding No. 295 milik R.M.T. Wirdjodiningrat. Kepemilikannya diperkuat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 22, yang dikeluarkan lembaga pertanahan Surakarta pada 1965. Masa berlaku HGB itu hingga 23 September 1980. Nah, sebelum HGB berakhir, pada 5 September 1980 para ahli waris penggugat mengajukan permohonan perpanjangan. Meski ditolak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Solo, di tingkat kasasi permohonan mereka dikabulkan. Mahkamah Agung (MA) menetapkan status tanah itu milik para ahli waris Wirdjodiningrat. Jadi, di mata Iskandar, penerbitan sertifikat Hak Pakai No. 11 dan 15 oleh BPN Solo merupakan perbuatan melawan hukum. Upaya para cucu Wirdjodiningrat merebut kembali tanah itu dilakukan sejak 1936. Melalui advokat Mr. R. Suyudi, para ahli waris pernah melayangkan surat ke Pepatih Sinuwun Paku Buwono X agar tanah RVE verponding No. 295 itu dikembalikan ke kliennya. Namun, hingga pemerintahan RI berdiri pada 1945 dan sistem hukum kolonial diganti hukum nasional, surat itu tak berbalas. Pada 1948, mereka kembali meminta tanah itu—kali ini ke Pemda Solo. Tetap tak ada jawaban. Dua windu kemudian mereka kembali melayangkan surat bernada sama. Hasilnya? Nihil! Begitu pula ketika tiga tahun kemudian mereka mengulangi upaya itu. Mereka lantas menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Solo pada 1975. Pengadilan menolak gugatan tersebut. Mereka pun naik banding, tapi putusan tak berubah. Barulah di tingkat kasasi para ahli waris, yang saat itu diwakili Mardanus, dimenangkan. MA lalu menghukum Pemda Solo membayar ganti rugi kepada para ahli waris sebesar Rp 29 juta. Akhir tahun lalu, lewat pengacara Y.B. Irphan, sepuluh ahli waris mengalihkan sasaran tembak. Bukan lagi ke Pemda Solo, melainkan ke kantor BPN. Mereka menuntut pembatalan sertifikat Hak Pakai No. 11 dan 15 yang dikeluarkan BPN. Setelah sekitar enam bulan bersidang, upaya hukum para ahli waris pun berbuah. PTUN Semarang memerintahkan BPN mencabut kedua sertifikat itu. BPN langsung naik banding. Kepala BPN Surakarta, Sunardi, yakin penerbitan sertifikat Hak Pakai No. 11 dan 15 sesuai dengan prosedur. Memang, Sunardi mengakui, dalam warkat tanah tercatat nama R.M.T. Wirdjodiningrat sebagai pemilik. Tapi, perubahan dari hukum kolonial ke hukum nasional mengubah hak penguasaan dan kepemilikan tanah tersebut. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 5/1960 tentang Agraria, Sunardi menambahkan bahwa pemilik hak eigendom wajib mendaftarkan tanahnya, untuk mempertegas status kepemilikan. Tanah RVE verponding No. 295 itu, sesuai dengan ketentuan, dikonversikan menjadi HGB No. 22 atas nama R.M.T. Wirdjodiningrat. Tanah itu lalu diwarisi R.M.L. Soemartono cs. Nah, HGB No. 22 itu kemudian dibatalkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3/1979. "Statusnya kembali sebagai tanah yang langsung dikuasai negara," Sunardi menegaskan. Tapi, Pemerintah Kota Solo sebagai pemegang hak pakai masih tenang-tenang saja menanggapi putusan PTUN itu. Menurut Kepala Bagian Hukum, Dwi Mulyadi, kalaupun hak pakai itu dicabut, kepemilikannya akan kembali ke negara, tidak ke penggugat. PTUN tak bisa memerintahkan obyek sengketa diberikan kepada penggugat. "Itu bukan wilayah gugatan perdata," kata Dwi Mulyadi. Artinya, gugat-menggugat ini masih akan berbuntut panjang. Nurdin Kalim, Imron Rosyid (Solo), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus