Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bercokol di Banyak Aturan

Mekanisme izin presiden, yang kini sudah dihapus, memang membuka peluang terjadinya penyimpangan. Pasal yang mengistimewakan pejabat yang tersangkut kasus hukum masih tersebar di mana-mana.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Mahfud Md. itu rupanya membuat gerah Istana Negara. Suatu hari pada bulan April, setelah dia pulang dari perjalanan dinas ke luar kota, telepon di ruang kerjanya berdering. Peneleponnya ternyata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung.

Kepada Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut, Presiden menjelaskan perihal suara-suara miring yang seolah-olah menuduh dirinya memperlama izin pemeriksaan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Presiden menjelaskan, di mejanya tak pernah ada tumpukan permohonan izin pemeriksaan kepala daerah itu. Setiap ada surat masuk, dia langsung meneken. ”Meja saya selalu bersih,” kata Mahfud, Rabu pekan lalu, menirukan ucapan Presiden.

Dua hari sebelum Presiden menelepon Mahfud, juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, mengungkapkan ada 61 kasus korupsi kepala daerah terkatung-katung karena terganjal izin presiden. Keterangan Noor inilah yang dikomentari Mahfud. Menurut Mahfud, itu merupakan kemunduran, termasuk jika dibandingkan dengan periode pertama pemerintahan Yudhoyono.

Telepon Presiden hari itu hanya sedikit mengubah keyakinan Mahfud. Di meja Presiden, kata Mahfud, surat permohonan izin pemeriksaan kepala daerah bisa saja segera diproses. Tapi di meja-meja sebelumnya tak ada yang menjamin tak ada hambatan. ”Itu saya sebut hambatan artifisial,” ujar Mahfud.

n n n

Pengistimewaan pejabat negara yang terbelit hukum, jauh sebelumnya, juga tercantum dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kedua konstitusi negara itu mengatur forum privilegiatum alias hak khusus pejabat tinggi untuk diadili pada tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Agung.

Termasuk pejabat yang diistimewakan ialah presiden, wakil presiden, menteri, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim agung, jaksa agung, pimpinan dan anggota Dewan Pengawas Keuangan, serta presiden bank sentral. Kekhususan itu berlaku meskipun mereka berhenti dari jabatan, dengan syarat, kejahatan yang dituduhkan terjadi selama masa tugas mereka.

Sejak Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, forum privilegiatum tak berlaku lagi. Tapi pasal perlakuan khusus bagi pejabat masih bertaburan di banyak undang-undang. Kali ini yang istimewa bukan tempat mereka diadili, melainkan persyaratan izin presiden sebelum mereka diperiksa.

Yang mendapat perlakuan khusus itu, antara lain, pimpinan dan anggota badan legislatif. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat hanya bisa diperiksa penyidik setelah mendapat izin presiden. Pimpinan dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia juga mendapat pengistimewaan serupa.

Perlakuan khusus juga dinikmati hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Penangkapan dan penahanan mereka harus atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat izin tertulis dari presiden.

Bukan hanya pejabat pusat yang diistimewakan. Undang-Undang Pemerintahan Daerah juga mengatur perlakuan khusus untuk pejabat eksekutif dan legislatif daerah. Kepala dan wakil kepala daerah hanya bisa diperiksa penyidik atas izin tertulis presiden. Adapun anggota DPRD provinsi baru bisa diperiksa penyidik setelah mendapat izin Menteri Dalam Negeri atas nama presiden. Sedangkan pemeriksaan anggota DPRD kabupaten atau kota harus mendapat izin gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

Pada 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung membuat kajian khusus mengenai izin pemeriksaan pejabat ini. Kesimpulan mereka: syarat izin presiden bertentangan dengan sejumlah asas peradilan pidana. Misalnya asas persamaan di depan hukum; asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan; serta asas independensi kekuasaan kehakiman.

Menurut jaksa, prosedur izin presiden sering menghambat penyidikan. Selain memakan waktu, permohonan izin kadang tak dijawab apakah disetujui atau ditolak. Padahal, selama izin belum keluar, pejabat bisa melarikan diri; menghilangkan atau merusak barang bukti; atau mempengaruhi saksi agar menguntungkan mereka.

Itu baru masalah di sisi pejabat yang menjadi tersangka. Di sisi aparat penegak hukum, yakni polisi dan jaksa, masalah pun tak kalah ruwetnya. Anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, mengungkapkan aparat bisa saja memainkan berbagai celah dalam proses permintaan izin pemeriksaan itu. Buktinya, menurut Eva, pada 2011 Komisi Hukum menerima pengaduan dari 76 kepala daerah yang mengaku diperas ketika berurusan dengan polisi dan jaksa.

Modusnya, antara lain, berkaitan dengan persoalan izin dari presiden. Di tengah pengusutan, misalnya, ada saja pihak yang menjanjikan bisa menghambat izin itu. Syaratnya, pejabat itu bersedia menyerahkan sejumlah uang. Di luar pelicin, ada juga pejabat daerah yang dibujuk pindah partai demi menghambat izin presiden. ”Jadi, sangat terbuka peluang menyelewengkan dan mempolitisasi izin itu,” kata Eva.

Selama menjadi anggota Komisi Hukum DPR, Mahfud juga mengaku kerap menerima pengaduan serupa. Suatu waktu, ada anggota DPRD dari sebuah kabupaten di Jawa Timur yang mengadu. Kepada Mahfud, si politikus lokal mengaku telah diperlakukan ibarat anjungan tunai mandiri. Setiap kali pergantian pucuk pemimpin polisi dan jaksa di daerah itu, ada saja yang meminta uang kepada si politikus. Lagu mereka selalu sama: ”Kasus Anda mau kami lanjutkan atau tidak?” Ternyata, meski anggota DPRD rajin memberi uang, dia akhirnya tetap masuk penjara.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana tak memungkiri peluang penyimpangan sepanjang pengurusan izin presiden itu. ”Masing-masing simpul penegak hukum yang meminta izin juga rawan penyimpangan,” ujarnya. Tapi Denny memastikan permainan seperti ini tak terjadi di ruang kerja Presiden.

Denny mengungkapkan pengalaman dia berkaitan dengan penonaktifan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin, yang kini mendekam di penjara Cipinang, Jakarta. Sewaktu Agusrin menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, desakan untuk mencopot politikus Partai Demokrat itu menguat, baik di Jakarta maupun di Bengkulu. Tapi Presiden Yudhoyono tak bisa langsung menonaktifkan Agusrin. Presiden menyatakan akan menunggu dulu surat dari pengadilan dan Kementerian Dalam Negeri.

Denny pun berinisiatif melacak perjalanan surat permohonan yang tak kunjung datang ke meja Presiden itu. Ternyata berkas surat itu tertahan di banyak tempat, baik di pengadilan maupun di kementerian. Pencatat risalah rapat, pembuat draf surat, hingga kurir pengirim surat ikut ”menyumbang” keterlambatan itu. ”Saya tak tahu itu ada yang memainkan atau tidak.” Yang jelas, kata Denny, begitu sampai di meja Presiden, surat penonaktifan Agusrin langsung diteken.

Karena prosedur izin presiden rawan dimanipulasi, banyak pihak menyambut positif putusan terakhir Mahkamah Konstitusi. ”Itu kemajuan penting,” kata anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho. Menurut dia, putusan judicial review itu merupakan awal kesuksesan masyarakat sipil dalam menggempur aturan yang membentengi koruptor.

Namun ikhtiar para pegiat antikorupsi belumlah usai. Di luar Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pasal-pasal yang mengistimewakan pejabat korup masih bercokol. Pasal bermasalah itu antara lain ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pasal 49 undang-undang ini menyebutkan, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan terhadap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden. Lalu ada juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 24 undang-undang ini menyatakan, tindakan kepolisian atas anggota BPK dalam pemeriksaan suatu perkara dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis presiden.

Menurut Mahfud, putusan Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan pasal tentang izin presiden pada undang-undang yang diuji. Untuk menghapus pasal serupa di undang-undang lain, masyarakat bisa terus mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tapi Mahfud menyarankan DPR dan pemerintah sebaiknya yang mengoreksi undang-undang bermasalah itu. ”Itu lebih baik, ketimbang kami yang membatalkan semuanya,” ujar Mahfud.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus