JABATAN baru berarti kesibukan baru bagi Bob R.E. Nasution. Bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, yang kini memimpin Kejaksaan Tinggi Bengkulu, ini tengah memimpin proyek baru: mengusut keabsahan sertifikat tanah, se-Kodya Bengkulu. "Tak akan rugikan masyarakat. Justru kami akan 'berikan kepastian hukum," ujarnya. Sampai pertengahan bulan ini Tim Penertiban Sertifikat yang diketuai Bob telah menemukan 710 buah sertifikat "aspal". "Jumlah ini masih bisa bertambah," tutur Bob. Kesalahan dalam prosedur dan kelengkapan selama pemrosesan adalah penyebab terbitnya sertifikat tak beres itu. Bisa dimaklumi kalau soal tanah ini menjadi problem pelik bagi Pemda Bengkulu. Dari 14,5 km2 lahan Kodya Bengkulu, 80% merupakan tanah bekas "hak Barat" sisanya adalah tanah adat. Sebagian dari tanah eks hak Barat itu, di awal tahun 60-an, ditetapkan sebagai obyek landreform. Penyertifikatan -- baik tanah bekas hak Barat, hak adat, atau redistribusi -- itu ternyata berlangsung acak-acakan. Menurut catatan Kepala Direktorat Agraria Provinsi Bengkulu, Bagindo Syarifuddin, terdapat sekitar 650 kasus sertifikat yang berasal dari kesalahan pengkonversian hak Barat yang menyangkut tanah seluas 100 ha. Lalu, ketidakberesan dalam pengalihan tanah adat dan tanah obyek landreform, meliputi areal seluas 400 ha-lokasinya terpencar-pencar. Mestinya tanah-tanah eks hak Barat tak lagi bisa dimiliki dengan status hak milik jika tidak didaftarkan sampai 24 September 1960. Keterlambatan akan menjadikan status tanah otomatis bergeser ke hak guna bangunan (HGB) atau hakguna usaha (HGU). Bahkan, jika kelambatan ini melampaui 24 September 1971, tanah-tanah itu akan kembali menjadi tanah negara. Anehnya, di Bengkulu, "Tanpa mendaftarkan ke Kantor Pengawas dan Pendaftaran Tanah pun orang-orang bisa mendapatkan sertifikat hak milik," tutur Bagindo. Banyak tanah bersertifikat hak milik di atas tanah hak Barat, tapi pengkonversiannya berdasarkan hak adat. "Ini tentu ada pemalsuan keterangan dari kepala desa, camat, atau notaris," ujar Bagindo, yang menjabat sebagai sekretaris tim penertiban. Lalu, ada juga tanah obyek landrefon yang salah alamat: jatuh ke tangan pegawai negeri atau ABRI. Siapa yang salah? "Yang salah, ya, sebetulnya aparat pemerintah juga," ujar Gubernur Bengkulu Soeprapto, terus terang. Atas 710 sertifikat cacat hukum ini, menurut Gubernur, penyelesaian akan dilakukan secara kasus per kasus. Sebagian besar dari sertifikat cacat itu diterbitkan, antara 1971 dan 1975, di saat tanah di daerah itu belum mahal. "Mungkin, waktu itu, orang begitu mudah memperoleh sertifikat," ujar Gubernur Soeprapto. Ia bertekad menyelesaikan perkara itu secara hukum. "Kami telah meminta Dirjen Agraria agar orang yang bertanggung jawab dibawa kemari untuk diperiksa," ujar Bob Nasution. Adalah Zanuar Zahari, bekas Kepala Kantor Agraria Bengkulu, yang dituduh bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat-sertifikat cacat itu. "Kalau mau batalkan, ya batalkan saja, jangan saya dihukum," ujar Zanuar, 52, yang kini menjabat Kepala Kantor Agraria Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan kepada Syahrir M. dari TEMPO. Menurutnya, kesalahan itu terjadi karena data dari desa dan kecamatan di luar kontrol aparat agraria. Terhadap 710 sertifikat cacat itu, tentu, akan diadakan koreksi. "Yang kecil-kecil bisa diputihkan," kata Gubernur. Maksudnya, pemegang sertifikat cacat itu bisa memperoleh sertifikat "baru", "Hanya akan dikenai biaya administrasi, ya, paling beberapa puluh ribu rupiah," kata Bagindo. Tapi, bagi pemegang sertifikat cacat atas tanah lebih dari 2.000 m, akan diperlakukan lain: sebagian kelebihan tanahnya diambil alih pemerintah daerah. Kelebihan tanah itu harus dibagi dengan pemerintah: 60:40 -- bagian terbesar untuk pemda. Tanah yang "hilang" itu, menurut Bagindo, bisa diambil kembali jika tak dipakai proyek pemda. "Prosedurnya seperti permohonan atas tanah negara biasa," tutur Bagindo. Tapi, pemda menetapkan tarif Rp 40 ribu per m untuk tanah di tepi jalan protokol. Tarif itu tiap tahun diperbarui. Bagi yang keberatan atas kebijaksanaan itu, awas, sertifikatnya yang cacat itu bakal dibatalkan. Membatalkan sertifikat, betapapun cacat, tidak selalu mudah. "Pembatalan harus melalui proses peradilan," ujar Soenjoto, bekas Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu, kepada Surjadi dari TEMPO. Ketika menangani perkara gugatan enam pemilik tanah di Kampung Cina, yang sertifikatnya dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 1984, Soenjoto memenangkan penggugat. Dalam putusan yang sudah setahun lalu itu Soenjoto menghukum Wali Kota Madya Bengkulu dan Ditjen Agraria membayar ganti rugi tanah antara Rp 50 ribu dan Rp 75 ribu per m2. Pembatalan sertifikat secara sepihak itu juga dianggap tidak sah. Tapi putusan Soenjoto dianulir pengadilan tinggi. Dalam putusannya, bulan lalu, pengadilan tinggi menyatakan bahwa pembatalan sertlfikat oleh menten sah. "Tapi pembatalan itu tak relevan untuk dipertimbangkan dalam perkara ini," ujar Machjoedin Jacoeb, ketua Majelis Hakim. Tapi majelis banding ini merasa perlu melindungi para pemegang sertifikat. Pemda diminta memberi ganti rugi Rp 50 ribu per m2 kepada pemilik tanah Kampung Cina, yang, setelah terbakar pada Maret 1981, tanahnya dijadikan Pusat Pertokoan Barukoto dengan biaya Rp 3,5 milyar. Wali Kota Madya Bengkulu Sulaiman Effendi naik kasasi. "Dalam melaksanakan pembangunan, kita tak boleh gentar menghadapi ekses-ekses negatif," ujarnya. Gayung pun bersambut. "Kami siap berpartisipasi dalam pembangunan. Tapi, tolong, letakkan keadilan sebagaimana mestinya," ujar Upik, 31, yang Toko Ratu Intannya di Kampung Cina ikut terbakar. Usaha Almarhum Silih Bagindo Sutan, ayah angkat Upik, hancur. "Ganti rugi dari Pemda tidak akan cukup untuk modal dagang," keluhnya. Maka, bersama lima tetangganya, Upik pun menggugat. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini