KEJUTAN bagai tidak habis-habisnya dientakkan peradilan kita. Perkara in absentia, persidangan tanpa terdakwa karena pelaku buron -- yang merurut undang-undang tidak bisa dibanding dan tidak boleh menggunakan pengacara, ternyata bisa saja terjadi. Bahkan Pengadilan Tinggi Jakarta, baru-baru ini, menerima banding perkara penyelundupan barang-barang elektronik dengan terdakwa Frans Limanax. Dan, yang lebih aneh, peradilan banding itu membatalkan kembali putusan Pengadilan Negeri Ekonomi Jakarta Utara yang sebelumnya memvonis Frans dengan hukuman dua tahun penjara serta denda Rp 5 juta. Keputusan unik itu tentu saja menyentakkan instansi kejaksaan yang membawa perkara itu ke pengadilan. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Santoso- Wiwoho menyatakan akan kasasi atas putusan itu. "Sebab, hakim banding salah menerapkan hukum: 'kan sudah jelas perkara tanpa terdakwa itu tidak bisa dibanding melalui seorang pengacara," kata Santoso Wiwoho. Pasal 16 ayat 5 Undang-Undang Darurat 1955 memang menegaskan bahwa perkara tanpa terdakwa semacam itu tidak dapat dibanding atau kasasi. Sedangkan ayat 9-nya menyebutkan bahwa terdakwa perkara in absentia tidak dapat diwakili siapa pun. Frans Limanax, 36, pengusaha PT Segatrans Persada dinyatakan buron oleh pihak kejaksaan sejak Desember tahun lalu. Waktu itu gara-gara "banjing loncat" menggerayangi dua buah peti kemas yang diangkut truk dari Tanjungpriok ke Muara Karang, pihak Laksusda Jaya dan kejaksaan berhasil membongkar usaha penyelundupan dengan cara mengelabui SGS di Singapura. Pada ke SGS, barang-barang yang dibungkus dalam 2.120 kantung itu disebutkan bahan kimia amonia. Ternyata selain amonia, ada kaset video, karpet, dan berbagai barang mewah lainnya. Pihak pengusut hanya menemukan importir barang itu, Johan Pumput Gunawan dari PT Tisani Karsa Agung. Menurut Gunawan, perusahaannya hanya dipinjam nama oleh Frans Limanax. Dan begitulah Frans, yang dituduh sebagai penyelundup sampai perkara dibawa ke pengadilan tidak kunjung diketahui di mana berada. Awal tahun ini perkara Frans disidangkan secara in absentia di Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara. "Terdakwa sudah dipanggil secara patut dan bahkan telah diperintahkan untuk ditangkap, tapi melarikan diri," ujar Jaksa Penuntut Umum M. Manoi, di sidang. Menurut Manoi, ia sudah memanggil Frans ke alamat kantornya di Jalan Mangga Besar tapi ternyata sudah pindah tanpa diketahui RW setempat. Surat panggilan kemudian ditujukan ke alamat rumahnya di Jalan Rajawali X No. 10. Ternyata, ia juga tidak ditemukan di alamat itu," kata Jaksa M. Manoi. Alasan Manoi itu memang diterima hakim. Sebab itu, Juni lalu, majelis menghukum Frans dalam sidang in absentia. Tapi, belakangan, pengacara Frans, Busono Sumardjo, mengajukan banding atas vonis itu. Menurut Busono, kliennya -- secara formal -- tidak pernah tahu ada sidang in absentia itu. Frans, katanya, ada di Singapura. "Tapi keluarganya yang tinggal di Jalan Rajawali Selatan No. 10 tidak pernah menerima surat panggilan kejaksaan untuk sidang," kata Busono. Kendati alamat itu tidak ditemukan, menurut Busono, pihak kejaksaan seharusnya -- sesuai dengan undang-undang memanggil melalui surat-surat kabar. Majelis Hakim banding yang diketuai Nyonya Mursiah Bustamam memang kemudian membenarkan alasan Busono. Vonis Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara, akhir September lalu, dibatalkan. Majelis juga memutuskan perkara itu harus dikembalikan ke kejaksaan. Nyonya Mursiah menganggap pengadilan bawahannya ceroboh: main sidang tanpa menghadirkan terdakwa. "Dan jaksa tidak teliti dalam melakukan pemanggilan," kata Mursiah. Apalagi, menurut Hakim Anggota Sugondo Kartanegara, kejaksaan sudah tahu alamat Frans di Singapura. "Seharusnya ia diberi tahu melalui KBRI atau surat kabar. Tapi itu semua tidak dilakukan sehingga proses perkara itu menjadi in absentia tidak murni," kata Sugondo. Pihak pengadilan banding juga membantah, dalam perkara semacam itu tidak diperkenankan banding. "Tidak bisa banding itu kalau terdakwa tidak dikenai hukuman badan, dan hanya dilakukan perampasan barang bukti," ujar seorang anggota majelis, sambil menyebutkan yurisprudensi mengenai hal itu. Tapi bagaimana pula dengan ketentuan undang-undang pidana ekonomi yang menyebutkan bahwa dalam perkara in absentia terdakwa tidak boleh memakai kuasa? Nyonya Mursiah menyatakan hanya tahu bahwa terdakwa bisa banding. "Logikanya, harus banding," kata Mursiah. Humas Pengadilan Tinggi, Jakarta, Parman Soeparman, segera menambahkan bahwa terdakwa bisa pula banding melalui kuasanya. Dasarnya ? "Pasal 233 KUHAP 'kan jelas bahwa banding bisa diajukan kuasanya," kata Parman. Baik Parman, Sugondo, maupun Mursiah menyarankan agar kejaksaan mengusut kembali perkara itu tanpa naik kasasi. "Jika terdakwanya bisa ditangkap, 'kan perkaranya bisa dikembangkan," kata Mursiah. Rekannya, Sugondo, menganggap selama ini kejaksaan tidak mengembangkan perkara itu. Sebab, Johan Pumput Gunawan, yang jelas terlibat dalam kasus itu, tidak pula diajukan sebagai terdakwa. Kejaksaan tidak berminat mengikuti saran hakim banding itu. "Sebab, mereka tidak berwenang memeriksa perkara itu di tingkat banding," kata sumber TEMPO di kejaksaan. Menurut sumber itu, di tingkat kasasi pihaknya hanya akan mempersoalkan ketentuan yang menyebutkan bahwa untuk perkara semacam itu tidak bisa memakai pengacara. Tentang yurisprudensi yang membenarkan terdakwa in absentia banding, kata jaksa itu, berbeda dengan kasus Frans. Pada kasus-kasus yang ada yurisprudensinya itu, terdakwanya muncul setelah vonis hakim. "Jadi, tidak melalui pengacara," kata sumber itu. Jaksa M. Manoi, yang dulu menuntut empat tahun penjara, membantah keras Frans tidak tahu bahwa ia disidangkan secara in absentia. "Saya pernah didatangi pengacara Frans yang dahulu, Mulya Lubis, ketika sidang berlangsung," kata Manoi. Karni Ilyas, Laporan Happy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini