SIAPA yang tak berminat menjadi bupati? Tawaran itulah yang tiba-tiba datang kepada Letkol. Purnawirawan Aryo Poernomo. Si pembawa kabar anak angkat Poernomo sendiri, Subiyanto -- bekas Sersan Satu TNI-AD yang sudah dipecat -- menyebut orang tua itu sebagai calon Bupati Madiun. Untuk lebih meyakinkan ayah angkatnya, Subiyanto memperkenalkan temannya, Dawam Soepardi, yang mengaku sebagai keponakan Presiden Soeharto. "Bapak terpilih karena sebelum kemerdekaan Bapak berjasa membela negara," bujuk Subiyanto. Kendati Poernomo menolak tawaran itu dengan alasan kesehatan, toh Subiyanto, 29 tahun, mendesak juga. Ia menunjukkan sebuah memo dari Presiden untuk Mendari/Dirjen PUOD. Isinya: "Harap segera diproses untuk calon tunggal Bupati Madiun, Sdr. Letkol. Purnawirawan Poernomo segala sesuatunya selaku yang ditunjuk Sdr. D. Soepardi menghubungi dan terlaksana sesuai prosedur. Demikian agar maklum. Dari saya: tertanda Soeharto." Selain mendesak Poernomo, Subiyanto dan kawan-kawannya meminta pula biaya administrasi untuk mengurus segala sesuatunya Rp 300 juta. Karena Poernomo tak punya uang sebanyak itu, permintaan pun diturunkan menjadi Rp 50 juta. Lalu dikorting lagi menjadi Rp 5 juta. Karena tak punya juga, kawawan itu buntutnya hanya meminta uang bensin. "Bapak nggak punya uang. Jadi, kakak saya yang ngasih Rp 20 ribu bukan Rp 200 ribu," kata Nyonya Poernomo. Ternyata, semua cerita dan memo itu palsu adanya. Sebab itu, pekan-pekan ini Subiyanto duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa R.J.S. Siburan, yang membawa perkara itu ke sidang, menuduh Subiyanto dan komplotannya dengan cara-cara yang sama telah menipu pula Kolonel Djamran Hasan. Bersama Dawam -- kali ini mengaku ipar Presiden Soeharto -- Didi dan Edy Samsuri Subiyanto 8 Oktober 1987 mendatangi Djamran di rumahnya di Pondok Gede Bekasi. Berlagak sebagai utusan Mendagri Subiyanto menyebut Diamran sebagai calon gubernur Kalimantan Timur. Sebagai bukti ia menunjukkan surat dukungan Kepala Suku Dayak Pedalaman di Kal-Tim dan sebuah Nota Dinas Rahasia Presiden Soeharto kepada Jenderal L.B. Moerdani. Dalam nota tulisan tangan berbahasa Jawa dan ditandatangani Presiden itu, tertulis: "Aku ngutus Dik Pardi, urusan Kolonel Djamran Hasan supaya direstui .... " Bermodal surat-surat palsu itu, begitu tuduhan jaksa, Subiyanto dan komplotannya meminta uang administrasi Rp 200 juta dari Djamran. Tapi karena perwira menengah itu belum mempunyai uang, komplotan itu hanya mendapat uang bensin Rp 350 ribu. Kepada TEMPO, Djamran Hasan, 50 tahun, yang masih aktif di Direktorat Angkutan dan Perbekalan TNI AD mengaku terpedaya oleh komplotan itu. Sebab, "sejak 1986 saya sudah dengar kalau suku Dayak mencalonkan saya," kata lelaki asal Dayak Bangon, Kal-Tim itu. Djamran juga menganggap wajar bila Presiden Soeharto menulis memo tentang dirinya kepada Jenderal Benny. Sebab, kata Djamran, dirinya telah mengabdi kepada negara dan mendapat penghargaan Bintang Sakti. Apalagi, secara pribadi ia mengaku kenal Pak Harto. Tak pula ia menduga Subiyanto akan menipunya. "Istri Subiyanto itu sersan Kowad, asisten keamanan Kasad," kata Djamran. Sebab itu, ia sempat berpikir hendak menjual rumahnya untuk memberi uang kepada komplotan itu. Ternyata tak gampang. Bersama Subiyanto, Djamran kemudian mencari pinjaman. Tapi gagal. Akhirnya, katanya, ia cuma bisa memberi uang bensin Rp 50 ribu. Di persidangan, Subiyanto, didampingi Pengacara Chudry Sitompul dari LKBHUI, membantah menipu Djamran. Menurut Subiyanto, Djamranlah yang berminat menjadi calon gubernur dan memintanya untuk membantu menguruskan dengan janji kelak akan diangkat menjadi ajudan. Selain itu, Subiyanto merasa selama ini telah ditipu Dawam dan komplotannya. Ia, katanya, tanpa mengecek, percaya saja terhadap memo yang disodorkan komplotan Dawam. "Saya nggak tahu kalau mereka ternyata penipu," kata Subiyanto. Dawam, 58 tahun, kini memang tengah diadili di Pengadilan Negeri Solo. Ayah 10 anak dari empat istri itu, selain terlibat dalam kasus Subiyanto, juga dituduh telah mengelabui empat orang kepala desa di daerah itu -- juga dengan memo Presiden. Keempat kepala desa itu, akibat memo palsunya dirugikan Rp 6,6 juta. (TEMPO, 15 Oktober 1988)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini