Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Eksekusi pecandu porkas

Kamhar sarumpaet, 27, membunuh ayahnya, karidin sarumpaet, di desa padang sigala-gala, asahan, sum-ut. kamhar tak menyesal karena karidin telah menghancurkan masa depan ibu dan adik-adiknya.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMAKIN banyak anak yang nekat membunuh orangtuanya. Tapi jarangjarang yang "sedingin" Kamhar Sarumpaet, 27 tahun, yang menghabisi ayahnya, Karidin Sarumpaet, 60 tahun, di Desa Padang Sigala-gala, Asahan, Sumatera Utara. Dengan sebuah kapak ia menebas leher ayah kandungnya hingga nyaris putus. Begitu ayahnya tewas, dengan tenang Kamhar memanggil ibunya, T. Boru Pandjaitan. "Lihat Mak, Ayah sudah saya bunuh," katanya. Si ibu, yang sejak beberapa waktu lalu mengalami kebutaan, dituntunnya untuk meraba jasad suaminya. Tapi Boru Panjaitan langsung pingsan begitu tangannya meraba darah hangat suaminya. Kamhar, ayah tiga anak itu, kemudian menghilang. Sabtu dua pekan lalu, ia tertangkap ketika memburuh di sebuah kebun sawit di Labuhanbatu, Sumatera Uara, setelah tujuh belas bulan menjadi buron polisi. Namun, Kamhar tak hendak menyesali perbuatannya. Baginya, Almarhum memang harus dilenyapkan. Sebab, sang ayah yang gemar berjudi itu -- sejak zaman Toti Kono sampai ke Porkas (KSOB) --telah menghancurkan masa depan ibu dan adik-adiknya. "Rumah kami sempat tergadai di meja judi. Kemudian, enam hektar kebun karet kami ludes," kata Kamhar kesal. Selain itu, cerita Kamhar, ayahnya juga suka melakukan kekerasan kepada ibunya dan lima orang anaknya. Kamhar sendiri ketika kecil sering dihajar ayahnya dengan rotan. Ibunya, katanya, sering ditampar ayahnya yang cemburuan itu. Bahkan Karidin, konon, tega memukul istrinya ketika sedang hamil. Dosa sang ayah yang terberat bagi Kamhar adalah berjudi. Selain sawah dan rumah, tuturnya, semua perhiasan ibunya berupa giwang dan liontin dihabiskan ayahnya untuk berjudi. Ketika tak ada lagi barang yang bisa dijual, Karidin menyuruh istrinya "meminta-minta" kepada sanak familinya. Puncaknya terjadi ketika harta terakhir Boru Panjaitan, berupa kalung emas 9,9 gram, dijual Karidin. Sejak itulah, kata Kamhar, ibunya sakit-sakitan sampai menjadi buta. Gara-gara ayahnya gila judi itu pula, ujar Kamhar, ia terpaksa membiayai dua orang adiknya, Yahya dan Senen, di tempat tinggalnya, Desa Sukaramai -- sekitar 15 kilometer dari desa asalnya. Ia tak ingin adik-adiknya buta huruf seperti dirinya. Namun, ketika seorang adiknya minta uang untuk biaya ujian SMP Rp 7.500, Kamhar angkat tangan. Ia benar-benar tak punya uang menjelang Lebaran dua tahun lalu. "Jangankan untuk itu, untuk beli pakaian anak-anak dan menyediakan kue Lebaran saja saya tak sanggup," cerita Kamhar, yang mengaku hanya berpenghasilan pas-pasan. Sebab itu, kedua adiknya, Yahya dan Senen, disuruhnya ke rumah ayahnya meminta uang ujian. Ternyata, permintaan itu tak digubris ayahnya. Bahkan sepeda kecil milik Senen ditahan Karidin tanpa alasan jelas. Senen lalu disuruhnya pulang, berboncengan dengan Yahya. Begitu mereka tiba di rumah kakaknya, kedua adiknya mengadukan ulah ayahnya tersebut. Mendengar kabar itu, Kamhar naik darah. Ia mengayuh sepedanya ke rumah ayahnya. Semula, maksudnya hanya hendak mengambil sepeda. Suasana di rumah itu, ketika itu lagi sepi. Kakak Kamhar, Kartini, dan adiknya, Kamaruddin, lagi asyik di belakang rumah mengaduk penganan untuk hari raya Idulfitri. Diam-diam sepeda kecil yang "disandera" ayahnya diambilnya. Ketika ia membawa sepeda itu, cerita Kamhar, tiba-tiba ia teringat semua "dosa" ayahnya. Tanpa sadar ia mengambil kapak cap mata yang terselip di sepedanya. Dengan kapak tersebut, di siang itu juga, ia mengeksekusi ayah kandungnya yang lagi tidur nyenyak. Sang ayah tewas seketika. Semua cerita Kamhar di atas tentu saja belum tentu benar. Yang pasti, kini ia ditahan sebagai terdakwa pembunuh. Hanya saja, dalam KUHP, tak beda ancaman antara membunuh ayah dan membunuh orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus