Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Habis diece, heni terbunuh

Ny. sumarheni, 38, ditemukan mati terbunuh di dalam mobilnya, di pinggir jalan purikembangan, jakarta barat. konon ia mempunyai pacar gelap. polisi sibuk melacak teka-teki pembunuhan heni ini.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG wanita cantik mati di mobil. Mayatnya tertelungkup di jok depan minibusnya yang terparkir di pinggir jalan Purikembangan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ada luka bacokan di wajah dan perutnya. Rok birunya robek dan bajunya yang bermotif kembang dengan dasar putih hanya terkena bercak darah. Tas tangan, cincin kawin, serta arloji korban masih utuh. Kunci kontak mobil juga ditemukan di dekat tubuh korban. Dari SIM, STNK, dan KTP yang ditemukan di mobil itu, diketahui korban yang ditemukan Rabu siang pekan silam itu bernama Nyonya Sumarheni, 38 tahun. Alamatnya, kompleks Hankam, Palmerah, Jakarta Barat. Suami korban, Mayor AL Hadi Sutaryo, ketika melihat mayat istrinya kontan lemas. "Oalaah, kamu kok bisa jadi begini," begitu ratapan Hadi Sutaryo, 50 tahun. Menurut Hadi, istrinya belakangan memang tampak pemurung. Tapi Heni tak mengungkapkan penyebabnya. Hanya, pada dinihari itu, ia memasuki kamar Hadi -- kebetulan, suami-istri itu tidak tidur sekamar. Biasanya, ia mengambil sajadah untuk sembahyang tahajud. Tapi pagi itu, ia cuma mengatakan, "Oky minta dibeliin jam." Oky adalah anak laki-laki nomor dua -- dari tiga anaknya. Dalam keadaan setengah sadar menjelang tidur, Hadi yang punya penyakit susah tidur, menjawab sekenanya "Jual cincinmu, dan belikan jam." Heni diam sebentar dan kemudian menjawab, "Mas, kamu itu kepala keluarga, lho." Itulah kata-kata terakhir yang didengar suaminya. Setelah itu, Hadi masih mendengar suara mesin cuci. Heni, memang biasa mencucikan baju suami dan anak-anaknya. Sebelum berangkat ke kantor pukul 07.45, Heni berpesan kepada pembantunya, Narti, agar hari itu tak usah masak. Cukup bikin nasi goreng dan telur dadar untuk anak-anak. Seperti biasa, Heni mengendarai Suzuki Carry-nya ke kantor, di kawasan Slipi, sekitar 15 menit dari rumahnnya. Konon, pada hari kejadian, ada tetangganya, Ibu Tien -- guru TK di Kebon Jeruk -- yang menumpang mobilnya, menuju ke toko di depan. Setelah Ibu Tien turun, cerita tetangganya, ia melihat seorang laki-laki berkumis yang menyetop mobil Heni di dekat pertigaan Jalan Anggrek Garuda. Orang itu tampaknya dikenal Heni. Si lelaki langsung naik mobil. Tapi siapa dia? "Orang di sini mana sempat ngurusi orang lain," kata tetangga itu. Heni adalah bekas pramugari Garuda jalur luar negeri 1971-1973. Dari perkawinannya dengan Hadi, Heni punya tiga anak: Wida (15 tahun), Oky (12 tahun), dan Bimo (8 tahun). Semula keluarga ini menetap di Surabaya, lalu pindah ke Jakarta. Hadi ditempatkan di Mabes ALRI, sedang Heni cukup menjadi ibu rumah tangga. Sekitar tahun 1983, Hadi, yang pernah menjadi ajudan Soedomo --semasa KSAL -- dan konon frustrasi dan mulai jarang ngantor. Tahun 1985 ia membuka perusahaan pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi. Kemudian perusahaannya bubar. Ekonomi keluarga itu jadi morat-marit. Gaji Hadi tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Hubungan suami-istri tak lagi harmonis. Mereka, konon, sempat pisah ranjang. Bahkan, kata sumber TEMPO, Heni pernah berpikir minta cerai. Di rumah Hadi hanya mengutak-atik barang elektroniknya dan membaca buku. Hal ini sering membuat Heni jengkel. Pertengahan 1986 ia minta izin suaminya untuk bekerja. Semula Hadi tak setuju. "Seorang ibu sebaiknya berada di rumah, mendidik anak," katanya. Tapi karena terdesak kebutuhan keluarga, Hadi akhirnya meluluskan. Maka, lewat bantuan kakak iparnya, Nyonya Sri yang bekerja di Panin Bank, Heni dimasukkan ke perusahaan kontraktor dan pemasok alat-alat kantor di Jalan Bangka. Di situ, ia bekerja hanya beberapa bulan. Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Wanita cantik, supel, ramah, dan pintar ini kemudian disalurkan ke PT Servita Dinamika -- konsultan kontraktor minyak dan gas -- sebagai sekretaris merangkap kasir. Kantornya, PT Servita di Slipi, cuma berjarak 2 kilo dari rumahnya. Kesibukannya sehari-hari: berangkat sebelum pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Setelah itu, ia mengurus anak-anaknya. "Hubungan ibu dengan anak sangat harmonis," kata sumber TEMPO yang mengenal dekat keluarga ini. Sebab itu, ketiga anaknya terguncang hebat ketika tahu ibunya tiada. Wida, misalnya, anak pertamanya, tiba-tiba jadi pemarah. Ia tak mau berbicara dengan siapa pun. Kedua adiknya jadi pemurung. "Sungguh sulit rasanya mengurusi anak-anak. Kalau boleh meminta, saya ingin, saya saja yang mati," kata Hadi. Rekan-rekan Almarhumah di kantornya tak menyangka Heni akan "pergi" dengan tanda tanya. Heni -- satu di antara 15 staf karyawan di situ -- beberapa hari sebelum ulang tahunnya, pernah menawarkan acara di hari ulang tahunnya nanti. "Pokoknya, makan-makan, dah," celetuk Puji Suyono Direktur Marketing yang dapat tawaran itu. "Ia primadona di kantor kami," kata rekan lainnya. Pujian itu memang beralasan. Ia cantik, ramah, pandai, dan simpatik. Heni termasuk ringan tangan, suka membantu teman-temannya. Tapi ia tidak pernah membicarakan urusan keluarganya. "Heni orangnya memang tertutup, baik masalah pribadi atau keluarganya," tutur Nyonya Abidin, ibu Ketua RT. Sebelum bekerja di PT Servita, Heni aktif di perkumpulan ibu-ibu, baik di IKKA (kumpulan keluarga Angkatan Laut) maupun di PKK. Tapi setelah kerja, ia mengurangi kegiatan ibu-ibu tersebut. Di balik kematian Heni memang ada selentingan bahwa Almarhumah mempunyai pacar gelap. Menurut Hadi sendiri, beberapa bulan lalu ia pernah menerima telepon dari seseorang yang mengabarkan istrinya berbuat serong. Tapi ia tak percaya cerita itu. "Istri saya bukan tipe begituan. Yang saya inginkan sekarang hanya terungkapnya kasus itu secepatnya," ujar Hadi. Sebuah sumber juga meragukan kabar angin tentang love affair itu. "Sulit mempercayainya. Waktunya habis untuk kesibukan bekerja dan anak-anaknya. Mana mungkin," kata sumber TEMPO. Polisi hingga Senin pekan ini masih sibuk melacak teka-teki pembunuhan Heni itu. Jadi, "Untuk sementara tutup mulut dulu, karena kejadian ini mirip peristiwa Diece," kata Kepala Penerangan Polda Metro Jaya, Letkol. Latief Rabar. Maksudnya, mungkin, Heni -- sama seperti Diece -- dibunuh dan mayatnya ditaruh di mobilnya sendiri di pinggir jalan. Widi Yarmantodan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus