Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bom di Sidikalang

Hakim pn sidikalang, silaban dipindah ke bekasi (ja-bar). diberitakan telah menerima suap dari kedua pihak yang sedang berperkara (antara aron & paulus sinaga yang memperebutkan tanah). (hk)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINDAH ke Bekasi (Jawa Barat), dengan resepsi perpisahan disertai tangis, E.L. Silaban ternyata meninggalkan bom waktu di kota Sidikalang -- lk. 160 km dari Medan. Seminggu setelah keberangkatan hakim yang hampir pensiun tersebut, 16 Janari lalu pecah berita tentang Pengadilan Negeri Sidikalang Silaban, 57 tahun seperti disiarkan Harian Sinar Indonesia Baru (Medan), menerima suap dari kedua pihak yang sedang berperkara. "Betul-betul merupakan kejutan besar," kata Ketua pengadilan Tinggi Medan, Djariaman Damanik. Sebab, begitu SIB menulis, Silaban telah menerima suap Rp 250 ribu dari seorang penggugat. Tapi ia ternyata memenangkan si tergugat -- yang berani membayarnya Rp 1 juta. Dikabarkan, semuanya itu diakui yang bersangkutan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri Sidikalang, Andar Purba -- sambil menangis pula. Perkaranya sebenarnya hanya menyangkut uang sekitar Rp 50 ribu. Yaitu seharga tanah di Desa Parbuluan di kecamatan itu, yang dipersengketakan antara Aron dan Paulus Sinaga. "Tapi," kata Aron, "hal itu penting karen menyangkut harga diri nenek-nenek kami." Tanah itu bagian dari perkampungan Parbuluan, yang konon dibuka Djongga Sinaga, pendatang dari Pulau Samosir (1909). Menurut adat, Djongga berhak memakai gelar Raja Ni Huta, dan secara adat pula menguasai kampung marga Sinaga yang disebut Huta Sinaga. Tapi belakangan muncul raja lain: Dogang Sinaga, yang masih terhitung saudara sepupu Djongga. Dan tentu saja kedudukannya juga diwariskan kepada anak-cucunya. Cucu kedua raja itulah yang kini bersengketa. Aron, 40 tahun, guru SD, bertindak sebagai penggugat mewakili Djongga Sinaga. Ia menuntut hak tanah yang kini dikuasai lawannya. Alasannya, tanah yang diduduki Dogang Sinaga secara turun-temurun pinjaman belaka -- berdasar belas kasih Djongga Sinaga. Paulus Sinaga. 40 tahun, mewakili keturunan Dogang Sinaga sebagai si tergugat berpendapat keturunan Dogang berhak menjadi raja di kampungnya -- yang terpisah dari kampung yang dikuasai keturunan Djongga Sinaga. Perselisihan tak bisa diselesaikan dengan pesta adat saja. Dan setiap hari sidang, kedua pihak mengerahkan orang kampung masing-masing sebagai suporter. Menurut Aron Sinaga, untuk perkara itu pengadilan juga meminta biaya khusus. Hakim Silaban, katanya, punya pikiran begini kalau mau menang bayar saja Rp 250 ribu. Penggugat menyanggupi tarif tersebut, asal boleh ditunaikan setelah panen. Panen telah lalu. Hasilnya pun telah diserahkan. Aron telah pula mengerahkan orang sekampung untuk menyaksikan ketukan palu yang melegakan itu. Tapi, ternyata, putusan ditunda. Yang muncul pegawai pengadilan, Payan Bako, yang menyampaikan pesan Silaban minta tambahan Rp 100 ribu. Terpaksa dipenuhi. Toh hari sidang yang baru, ditentukan setelah Aron Sinaga membayar Rp 30 ribu. Itu pun masih mundur lagi. Baru setelah minta tambahan Rp 50 ribu, Oktober lalu Hakim Silaban membuka kerapatan itu. Putusannya? Aron Sinaga kalah ! Orang-orang yang berada di pihaknya tentu saja kalap. Payan Bako dan pegawai pengadilan lainnya, Gujuk Sinaga, mereka amuk habis-habisan: "Uang kami sudah habis . . . mengapa kalah juga? !" Besoknya, menurut Payan Bako kepada TEMPO, Ketua Pengadilan memarahi Silaban. "Begitu permainan kamu di sini -- makan dari sini-sana!" kata sang ketua, Andar Purba, seperti dikutipkan Payan Bako untuk TEMPO. Andar Purba, katanya lagi, juga menyuruh Silaban mengembalikan uang yang pernah diterimanya. "Setahu saya," kata Payan Bako, "semuanya telah dikembalikan." Melalui dia sendiri Silaban ada mengembalikan Rp 180 ribu. Sedang yang Rp 250 ribu dikembalikan melalui Gujuk Sinaga. Tapi Silaban membantah. Ia sudah melapor ke PN Bekasi -- tempat tugasnya yang baru, meski belum mulai aktif. "Saya heran, mengapa berita itu baru muncul setelah saya di Jakarta," kata Silaban. "Semuanya itu fitnah -- jelas, bah, nama saya tercemar." Di Jakarta ia tinggal menumpagg di rumah bambu milik anaknya. Ia pun mengaku "hidup saya sederhana, tak punya mobil, juga tak punya Honda," lanjutnya. "Bahkan saya sering makan cuma pakai ikan asin." Ia hanya minta agar Ketua PN Sidikalang menjernihkan namanya. Untuk menjernihkan nama baik pengadilan pula, katanya, ia menyarankan agar ketua juga melakukan penuntutan -- kepada siapa saja yang menuduhnya memeras kanan-kiri. Ketua PN Sidikalang masih mencoba mencari keterangan -- baik dari pegawainya maupun dari Aron dan Paulus Sinaga. Hasilnya belum diumumkan. Aron bisa jadi tetap pada keterangan seperti yang dikisahkan kepada TEMPO. Tapi, Paulus Sinaga jelas pernah membuat pernyataan tertulis kepada Ketua PN, yang menyatakan tak pernah memberi uang Rp 1 juta kepada Silaban. Pendek atau panjang cerita ini nanti, belum bisa diduga. Apalagi sampai minggu lalu Menteri Kehakiman Mudjono ternyata belum tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus