PINDAH ke Bekasi (Jawa Barat), dengan resepsi perpisahan
disertai tangis, E.L. Silaban ternyata meninggalkan bom waktu di
kota Sidikalang -- lk. 160 km dari Medan. Seminggu setelah
keberangkatan hakim yang hampir pensiun tersebut, 16 Janari
lalu pecah berita tentang Pengadilan Negeri Sidikalang Silaban,
57 tahun seperti disiarkan Harian Sinar Indonesia Baru
(Medan), menerima suap dari kedua pihak yang sedang berperkara.
"Betul-betul merupakan kejutan besar," kata Ketua pengadilan
Tinggi Medan, Djariaman Damanik. Sebab, begitu SIB menulis,
Silaban telah menerima suap Rp 250 ribu dari seorang penggugat.
Tapi ia ternyata memenangkan si tergugat -- yang berani
membayarnya Rp 1 juta. Dikabarkan, semuanya itu diakui yang
bersangkutan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri Sidikalang,
Andar Purba -- sambil menangis pula.
Perkaranya sebenarnya hanya menyangkut uang sekitar Rp 50 ribu.
Yaitu seharga tanah di Desa Parbuluan di kecamatan itu, yang
dipersengketakan antara Aron dan Paulus Sinaga. "Tapi," kata
Aron, "hal itu penting karen menyangkut harga diri nenek-nenek
kami."
Tanah itu bagian dari perkampungan Parbuluan, yang konon dibuka
Djongga Sinaga, pendatang dari Pulau Samosir (1909). Menurut
adat, Djongga berhak memakai gelar Raja Ni Huta, dan secara adat
pula menguasai kampung marga Sinaga yang disebut Huta Sinaga.
Tapi belakangan muncul raja lain: Dogang Sinaga, yang masih
terhitung saudara sepupu Djongga. Dan tentu saja kedudukannya
juga diwariskan kepada anak-cucunya.
Cucu kedua raja itulah yang kini bersengketa. Aron, 40 tahun,
guru SD, bertindak sebagai penggugat mewakili Djongga Sinaga. Ia
menuntut hak tanah yang kini dikuasai lawannya. Alasannya, tanah
yang diduduki Dogang Sinaga secara turun-temurun pinjaman belaka
-- berdasar belas kasih Djongga Sinaga.
Paulus Sinaga. 40 tahun, mewakili keturunan Dogang Sinaga
sebagai si tergugat berpendapat keturunan Dogang berhak menjadi
raja di kampungnya -- yang terpisah dari kampung yang dikuasai
keturunan Djongga Sinaga.
Perselisihan tak bisa diselesaikan dengan pesta adat saja. Dan
setiap hari sidang, kedua pihak mengerahkan orang kampung
masing-masing sebagai suporter.
Menurut Aron Sinaga, untuk perkara itu pengadilan juga meminta
biaya khusus. Hakim Silaban, katanya, punya pikiran begini kalau
mau menang bayar saja Rp 250 ribu. Penggugat menyanggupi tarif
tersebut, asal boleh ditunaikan setelah panen.
Panen telah lalu. Hasilnya pun telah diserahkan. Aron telah pula
mengerahkan orang sekampung untuk menyaksikan ketukan palu yang
melegakan itu. Tapi, ternyata, putusan ditunda. Yang muncul
pegawai pengadilan, Payan Bako, yang menyampaikan pesan Silaban
minta tambahan Rp 100 ribu. Terpaksa dipenuhi.
Toh hari sidang yang baru, ditentukan setelah Aron Sinaga
membayar Rp 30 ribu. Itu pun masih mundur lagi. Baru setelah
minta tambahan Rp 50 ribu, Oktober lalu Hakim Silaban membuka
kerapatan itu. Putusannya? Aron Sinaga kalah !
Orang-orang yang berada di pihaknya tentu saja kalap. Payan Bako
dan pegawai pengadilan lainnya, Gujuk Sinaga, mereka amuk
habis-habisan: "Uang kami sudah habis . . . mengapa kalah juga? !"
Besoknya, menurut Payan Bako kepada TEMPO, Ketua Pengadilan
memarahi Silaban. "Begitu permainan kamu di sini -- makan dari
sini-sana!" kata sang ketua, Andar Purba, seperti dikutipkan
Payan Bako untuk TEMPO. Andar Purba, katanya lagi, juga
menyuruh Silaban mengembalikan uang yang pernah diterimanya.
"Setahu saya," kata Payan Bako, "semuanya telah dikembalikan."
Melalui dia sendiri Silaban ada mengembalikan Rp 180 ribu.
Sedang yang Rp 250 ribu dikembalikan melalui Gujuk Sinaga.
Tapi Silaban membantah. Ia sudah melapor ke PN Bekasi -- tempat
tugasnya yang baru, meski belum mulai aktif. "Saya heran,
mengapa berita itu baru muncul setelah saya di Jakarta," kata
Silaban. "Semuanya itu fitnah -- jelas, bah, nama saya
tercemar."
Di Jakarta ia tinggal menumpagg di rumah bambu milik anaknya. Ia
pun mengaku "hidup saya sederhana, tak punya mobil, juga tak
punya Honda," lanjutnya. "Bahkan saya sering makan cuma pakai
ikan asin." Ia hanya minta agar Ketua PN Sidikalang menjernihkan
namanya. Untuk menjernihkan nama baik pengadilan pula, katanya,
ia menyarankan agar ketua juga melakukan penuntutan -- kepada
siapa saja yang menuduhnya memeras kanan-kiri.
Ketua PN Sidikalang masih mencoba mencari keterangan -- baik
dari pegawainya maupun dari Aron dan Paulus Sinaga. Hasilnya
belum diumumkan. Aron bisa jadi tetap pada keterangan seperti
yang dikisahkan kepada TEMPO. Tapi, Paulus Sinaga jelas pernah
membuat pernyataan tertulis kepada Ketua PN, yang menyatakan tak
pernah memberi uang Rp 1 juta kepada Silaban.
Pendek atau panjang cerita ini nanti, belum bisa diduga. Apalagi
sampai minggu lalu Menteri Kehakiman Mudjono ternyata belum
tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini