Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membersihkan hakim Kurawa

Empat hakim senior di pn jak-pus diberhentikan sementara. terjaring opstib. mereka: h.m. soemadiono, j.z. loude, heru gunawan, dan hanky izmu azhar. mereka terlibat penyuapan. (hk)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Kehakiman Mudjono mengakhiri pekerjaannya malam itu, 28 Januari, dengan menandatangani sepucuk surat penting. Itulah surat 'pemberhentian sementara' terhadap hakim H.M. Soemadino, J.Z. Loudoe, Heru Gunawan dan Hanky Izmu Azhar. Mereka ini, terakhir masih bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah seorang di antaranya, Soemadiono, awal tahun ini baru memulai karirnya sebagai hakim tinggi DKI Jakarta. Tindakan pembersihan yang mungkin terbesar dalam sejarah pengadilan Indonesia ini dilakukan Moedjono dengan kerjasama Operasi Tertib (Opstib). Pangkopkamtib Sudomo beberapa jam sebelumnya mengungkapkan kepada umum adanya perbuatan tercela di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kepala Opstib Pusat, Mayjen E.Y. Kanter, yang memintanya mengambil tindakan tersebut. Hukuman sementara itu berakibat, bahwa meski para hakim yang ditindak masih akan menerima gaji berikut tunjangan-tunjangannya, mereka tak diizinkan masuk kantor. Sampai kapan? Tak ditentukan. Menurut Mudjono, praktek-praktek mereka "sudah keterlaluan". Kisahnya bermula dari kasus Hakim Heru Gunawan. Hakim ini terjebak Opstib ketika menerima uang dari Nyonya Maria (TEMPO, 4 Januari). Akibatnya ia diberhentikan sementara oleh Menteri Kehakiman. Tapi, atas saran Opstih, Mudjono kemudian mengampuninya. Waktu itu banyak yang bertanya-tanya mengapa Menteri berubah sikap. Namun rupanya Heru dibujuk -- sebagai semacam umpan untuk, dalam kata-kata Sudomo, "membongkar praktek yang lebih besar lagi". Umpan itu berhasil rupanya Heru Gunawan tak ayal lagi menyeret sejumlah hakim lain. Ia juga membeberkan perbuatan bekas ketuanya, Soemadiono, yang oleh Opstib dianggap busuk. Apa yang dituduhkan kepada Soemadiono? Opstib mengungkapkan beberapa contoh. Misalnya Ketua Pengadilan hanya membagi perkara-perkara "basah" kepada hakim-hakim tertentu -- asal mereka berani memberi upeti. Sementara itu, hakim yang ditunjuk akan pula memeras si pencari keadilan -- dengan menunda hari sidang, memperlambat putusan, memerintahkan penahanan atau penglepasan tahanan, misalnya. Cara begitu biasa dilakukan melalui calo-calo perkara. Dengan imbalan tertentu, advokat atau pengacara juga dapat meminta Ketua Pengadilan menunjuk hakim tertentu saja yang menangani perkara mereka. Heru Gunawan, menurut sumber TEMPO di Opstib, juga membeberkan pengalamannya yang unik. Dalam suatu perkara perdata yang menyangkut uang milyaran, ia dan Hakim Hanky ditunjuk menjadi anggota majelis hakim yang diketuai Loudoe. Tapi anehnya ia tak pernah diajak bersidang. Pokoknya tahu bersih: tinggal ikut meneken vonisnya, dan, tentu saja, terima bagian. Sudomo dan para tokoh Opstib lain tak menyebutkan hakim atau siapa pun --selain Heru Gunawan -- yang kini diusut Opstib. "Kita lihat saja nanti --sekarang semuanya masih dalam proses," kata Kanter. Tapi, begitulah, surat pemberhentian sementara dari Menteri Mudjono memang jelas kepada siapa dialamatkan. Bagaimana reaksi yang dapat surat? Baik Loudoe maupun Hanky, sampai pekan lalu menyatakan masih tak mengerti apa dosa mereka. Loudoe, 55 tahun, tamatan Fakultas Hukum Airlangga (Surabaya), menyatakan jiwanya "tenang" ketika menerima tindakan atasan. Apa yang dilakukannya selama menjabat sebagai hakim (di Jakarta sejak 1975), "bisa dipertanggungjawabkan". Loudoe misalnya menjelaskan kenapa ia tak pernah mengajak Heru Gunawan dan Hanky menyidangkan bersama suatu perkara, meski keduanya sama-sama anggota majelis. Itu "tidak melanggar hukum acara". Toh, lanjutnya, yang terjadi dalam sidang-sidang perkara perdata hanyalah bantah-membantah antara penggugat dan tergugat yang disampaikan secara tertulis. "Untuk itu, buat apa anggota majelis harus hadir?" Memang diakuinya, bahwa putusan memang dibuatnya sendiri. Adapun mungkin ada anggota yang tak menyetujui keputusannya, boleh saja dibicarakan. Hakim Hanky juga berpendapat begitu. Ia menandatangani putusan yang disodorkan Loudoe, katanya, setelah terlebih dulu mempelajari berkas perkaranya. Tidak asal teken. "Kalau saya nilai tidak tepat, 'kan tidak ada yang bisa memaksa saya menandatanganinya?" kata sarjana hukum (tamatan Airlangga juga), yang kini berusia 39 tahun itu. Hakim Tinggi Soemadiono belum sempat ditemui. Seperti hakim-hakim lain yang ditindak, apa kesalahan Soemadiono belum diungkapkan. Pokoknya "diduga melakukan tindak pidana," kata Inspektur Jenderal Departemen Kehakiman, Kamil Kamka. Irjen tak menyebut ke arah mana lagi pembersihan hendak dilakukan. Sedang Menteri Mudjono, yang tak keberatan bila semua hakimnya terpaksa diopstib, melihat juga kemungkinan pembersihan di kalangan Pengadilan Tinggi -- bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Tapi ia menjamin: "Tak semua hakim jelek. Kalau ada Kurawanya tentu ada pula Pendawanya," kata Mudjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus