OMSET perampokan yang dilakukan belasan bandit di halaman Kantor
P&K Kabupaten Badung memang terbesar sepanjang sejarah kejahatan
di Bali. Uang Rp 12 juta uang gaji 120 pegawai P&K disikat.
Itulah sebabnya polisi, yang mengawal 16 terdakwa masuk ruang
pengadilan sejak 5 September lalu, berlaku sangat hati-hati:
mereka menggiring pesakitan ke muka hakim dengan tangan masih
terborgol.
Tidak ada protes.Sebab para terdakwa, yang berdiri tanpa
pembela, tentu saja tak tahu hak untuk "tidal terbelenggu"
meskipun tetap "dengan penjagaan baik" ketika menghadap hakim
(pasal 253 Hukum Acara Pidana). Hakim Sof Larosa SH, Ketua
Pengadilan Negeri Denpasar yang memimpin majelis bersidang,
memang ada memperingatkan polisi agar mencopot borgol yang
membelenggu terdakwa. Tapi polisi menolak. Alasannya, polisi
yang cuma empat orang itu takut kalau ada di antara ke 16
terdakwa berniat macam-macam--kabur, misalnya.
"Memang bisa difahami," kata Hakim Larosa kepada TEMPO kemudian.
"Bayangkan kalau misalnya salah seorang yang lari -- siapa yang
bertanggungjawab?" Jadi, aturan dan hak terdakwa terpaksa
dilanggar, "demi pertimbangan keamanan" ujar Larosa.
Di samping terpaksa membiarkan terdakwa tetap terbelenggu
memasuki ruang sidang, dalam pemeriksaannya pun hakim Larosa
"melanggar" kebiasaan: memeriksa saksi-saksi sebelum mulai
dengan para terdakwa. "Cuma pertimbangan praktis saja," ujar
Larosa. Apalagi' sesungguhnya Hukum Acara Pidana memang mengatur
demikian (Pasal 297). Sesuatu yang dapat dikatakan baru di Bali.
Sebab dengan alasan demi mudahnya dan karena kebiasaan--seperti
kata Mr. Yap Thiam Hien ketika membela Sawito tempo hari--hakim
biasa "melanggar hukum", mengenyampingkan hukum acara, dengan
mulai memerika terdakwa baru kemudian para saksi.
Peristiwa perampokan itu sendiri memang menarik. Pagi itu, 1
Juni lalu, Ketut Suarta bertugas! mengambil gaji bulanan dan
gaji ekstra ke 13 pegawai P&K Kabupaten Badung dari KBN. Tak
disangka, ketika turun dari mobil di halaman kantornya sendiri,
tas yang disandang di lengannya ada yang menarik. Bersamaan
dengan itu sebuah bentakan memukau Suarta "Awas, jangan
berteriak, lepaskan . . . "
Mulanya Suarta hendak bertahan. Terjadi tarik-menarik sehingga
sejumlah uang berceceran. Tapi Suarta menyerah juga ketika
pemuda bertopi yang menggertaknya menyodorkan sebuah pistol ke
dadanya. Maka terbanglah Rp 12 juta uang gaji pegawai P&K
tersebut. Suarta mencoba berteriak minta tolong. Tapi meskipun
di halaman kantor ada pegawai lain, tak seorangpun yang
mendengar. Ini berkat akal cerdik sang bandit mereka
menenggelamkan suara Suarta, yang rupanya sudah diperhitungkan,
dengan menderu-derukan suara sepeda motor sebelum kabur.
Polisi bekerja cepat. Hanya dua jam setelah peristiwa dua orang
tersangka, Mastur dan Budiman, tertangkap. Mereka, Mastur
misalnya, memang sudah masuk daftar hitam polisi Bali. Dari
mereka itulah polisi mendapatkan nama-nama lain. Semuanya cocok
dengan informasi yang masuk sebelumnya: sekomplotan penjahat
dari luar daerah, yaitu dari Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Palembang memang sudah diduga akan beroperasi di Bali.
Setelah Mastur dan Budiman, dalm waktu singkat polisi berhasil
membekuk 14 tersangka lainnya. Sebagian besar ditangkap di luar
Pulau Bali--di rumah pelacuran dan tempat perjudian. Namun itu
belum cukup. Sebab yang diduga sebagai gembong perampok, yaitu
Yudi Harsono, Kifai, Ong-ong, Dedi dan Irwan, hingga kini belum
tercium jejaknya. Kepada mereka inilah ke 16 terdakwa yang
sekarang diadili melempar kesalahan.
Menurut rencana, seperti diungkapkan para tersangka kepada
polisi, sasaran perampokan mereka sebenarnya gaji pegawai
instansi lain yang jumlahnya Rp 114 juta. Meleset dari rencana,
sebab petugas pengambil gaji lebih cepat meninggalkan KBN dari
yang diperhitungkan. Sehingga gaji pegawai P&K yang Rp 12 juta
itulah sebagai penggantinya.
Minggu depan jaksa akan mengajukan tuntutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini