SETIAP orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai
kegiatan-kegiatan kagamaan dari agama itu, penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
(Penpres 1/1965, Tentang Pencegahan Penyalahgunaan/atau
Penodaan Agama).
HAK hidup bagi ajaran atau aliran Darul Hadis, Islam Jama'ah
dan bentuk-bentuk organisasinya, sudah dihapus Jaksa Agung sejak
Oktober 1971. Itulah sebabnya, bila kini kegiatan Islam Jama'ah
makin tampak muncul ke permukaan terutama melalui wajah beberapa
orang artis ibukota, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta 10 September
lalu hanya perlu mempertegas Islam Jama'ah atau aliran lain yang
mempunyai ajaran yang sama tetap dilarang!
Perlukah? Ya, "untuk menetralisir masyarakat supaya tidak
terjadi keresahan," ujar Jaksa J. Tjikmanan SH, Humas Protokol
Kejati, setelah mengeluarkan siaran penegasan sikap Kejaksaan.
Pemeriksaan terhadap beberapa orang artis telah dimulai.
Hasilnya belum jelas. Tapi secara umum kejaksaan mengancam akan
"melakukan penuntutan di muka pengadilan bagi mereka yang tidak
bisa disadarkan."
Tjikmanan merasa masih terlalu pagi untuk bicara mengenai pasal
hukum pidana mana yang tepat untuk menuntut penganut Islam
Jama'ah. Namun menurut Dr. Surjono Sukanto MA, ahli sosiologi
hukum dari Fak. Hukum UI, kejaksaan memang punya pasal dari KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang diperkuat dengan Penpres
1/1965 (tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama)
sebagai dasar penuntutan. Perbuatan yang bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama dapat dihukum
selamalamanya lima tahun penjara (KUHP pasal 156a).
Yang repot, sesungguhnya bukanlah mencari pasal tuduhan dan
tuntutan. "Tapi pembuktiannya yang sulit, " seperti kata Surjono
Sukanto.
Untuk membuktikan sesuatu ajaran -- seperti yang dianut Islam
Jama'ah tersebut -- menyimpang atau tidak dari ajaran pokok
agama "harus ada saksi ahli," ujar Surjono. Selanjutnya, harus
dibuktikan pula "fikiran" atau "amalannya".
Bagaimana kalau mungkir atau menyatakan dirinya telah "keluar"
dari Islam Jama'ah? "Tidak bisa begitu saja, nanti banyak yang
konyol," sambut Tjikmanan. "Namum sudah tahu bagaimana
kejaksaan membuktikan kesalahan seseorang di pengadilan," kata
pejabat Kejati DKI ini penuh keyakinan. Begitu juga pendapat
Surjono. "Mungkir bisa saja, tapi kalau ada bukti lain, seperti
keterangan saksi, bukti tertulis dan sebagainya?" katanya.
Tetapi, masih menurut Surjono, "apa penjara dapat merubah
kepercayaan mereka dan kembali keagama Islam yang benar?"
Itulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini