Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suap demi mendapatkan predikat WTP dari BPK masih terus terjadi.
Praktik itu dinilai terjadi karena kewenangan besar milik BPK tak diimbangi dengan pengawasan yang ketat.
Masalah kepentingan politik di lingkup internal BPK juga menjadi sorotan.
SIDANG kasus dugaan korupsi eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengungkap fakta adanya praktik jual-beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Hermanto, yang menjadi saksi, menyatakan auditor BPK bernama Victor Daniel Siahaan meminta uang Rp 12 miliar agar Kementerian Pertanian mendapatkan opini WTP dalam Laporan Keuangan Tahun 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam persidangan, Hermanto menyebutkan Laporan Keuangan Kementerian Pertanian Tahun 2022 seharusnya tak memperoleh WTP karena hasil audit menemukan adanya masalah dalam anggaran proyek food estate atau lumbung pangan. Namun, menurut Hermanto, temuan tersebut hilang setelah Kementan menyerahkan sejumlah uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hermanto, Victor meminta kepadanya menyampaikan kepada pimpinan di Kementerian Pertanian agar memberikan uang Rp 12 miliar. Hermanto menyebutkan permintaan itu disampaikan oleh Victor dalam suatu pertemuan. Besaran nilai itu juga didengar sejumlah orang, salah satunya oleh bekas Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian, M. Hatta. Mereka pun terkejut karena bingung uang dari mana untuk membayar.
Hermanto juga mengatakan permintaan itu tidak dipenuhi sepenuhnya dan hanya diberikan Rp 5 miliar. Karena jumlah yang diberikan kurang, dia pun menyatakan Victor sempat meminta sisanya. “Ditagih terus dari Victor, tolong sampaikan ke pimpinan,” kata Hermanto dalam sidang pada Rabu pekan lalu.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun menyatakan akan menindaklanjuti fakta-fakta yang muncul dalam sidang Syahrul Yasin Limpo. Juru bicara KPK, Ali Fikri, menyatakan jaksa yang bertugas telah mencatat fakta apa saja yang harus mereka tindak lanjuti ke depan. "Banyak fakta-fakta menarik saya kira dalam persidangan terdakwa Syahrul Yasin Limpo dan tentu semua faktanya sudah dicatat dengan baik oleh tim jaksa. Kami juga sempat diskusi terkait hal ini dengan tim jaksa," kata Ali Fikri.
BPK sendiri langsung merespons pemberitaan itu melalui situs web resminya. Mereka menyatakan akan memproses semua pelanggaran integritas sesuai dengan kode etik. BPK juga menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Mereka menyatakan mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak menoleransi pelanggaran kode etik, standar dan pedoman pemeriksaan, serta peraturan perundang-undangan. “BPK telah membangun sistem penanganan atas pelaporan pelanggaran dan program pengendalian gratifikasi untuk memitigasi risiko terjadinya pelanggaran kode etik BPK,” demikian pernyataan BPK dalam situs web resminya di Bpk.go.id pada Jumat, 10 Mei lalu.
Tersangka Syahrul Yasin Limpo di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 29 November 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Tak hanya dalam sidang itu, praktik jual-beli opini WTP juga terungkap dalam sidang lainnya. Selasa lalu, anggota BPK III nonaktif, Achsanul Qosasi, mengakui menerima suap senilai Rp 40 miliar dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Achsanul, yang menjadi tersangka, menyatakan suap itu diberikan agar dirinya memoles laporan keuangan Kementerian Kominfo Tahun 2021 yang bermasalah karena korupsi proyek pembangunan base transceiver station (BTS) 4G. “Setelah diterima, saya simpan uangnya di sebuah rumah yang saya sewa di Kemang," ujar Achsanul dalam sidang.
Terungkapnya praktik jual-beli opini WTP dalam dua sidang itu mendapat sorotan dari Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan. Menurut dia, celah jual-beli opini WTP akan selalu ada dan justru saat ini dianggap wajar di lingkungan pemerintah pusat ataupun daerah. “Sudah dianggap biasa dan integritas auditor BPK yang lemah, sehingga klop,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Menurut Misbah, munculnya fakta persidangan soal permintaan Rp 12 miliar oleh auditor BPK memunculkan keraguan publik seiring dengan makin banyaknya opini WTP yang diterima oleh kementerian/lembaga atau pemerintah daerah. Maka dari itu, temuan seperti di kasus Kementerian Pertanian juga harus ditelusuri oleh aparat penegak hukum seperti KPK.
Dia menjelaskan, kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah berlomba-lomba mendapatkan predikat WTP dari BPK karena dianggap merepresentasikan kinerja keuangan yang bagus, bersih, dan tidak menyimpang. Hal itu, menurut dia, bisa menjadi penghargaan bagi pimpinan di kementerian/lembaga atau pemda tersebut. “Makanya, opini WTP dari BPK dikejar betul dengan berbagai cara, termasuk menyuap,” ucap Misbah.
Opini dari BPK diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam aturan itu dijelaskan, opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1), terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK atas pemeriksaan laporan keuangan pemerintah. Keempatnya adalah wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, tidak wajar, dan pernyataan menolak memberikan opini. Penentuan opini itu berdasarkan empat kriteria, yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Terdakwa anggota III Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasi, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 7 Maret 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Misbah menyatakan praktik jual-beli opini WTP itu terjadi karena kewenangan BPK yang sangat besar. Mereka menjadi satu-satunya pemegang stempel untuk menilai pengelolaan keuangan negara. Masalahnya, kewenangan yang besar itu tak disertai dengan pengawasan yang ketat. Selama ini, menurut dia, para auditor BPK hanya diawasi secara internal. Dia menyarankan ada pengawas BPK dari tokoh-tokoh profesional dan independen.
Selain itu, Misbah pun berpendapat praktik jual-beli opini WTP tak lepas dari adanya kepentingan politik di lingkup internal BPK. Hal itu terjadi karena anggota BPK banyak yang berasal dari partai politik. Misbah pun menyarankan agar seleksi pimpinan BPK lepas dari intervensi partai politik.
Ke depan, untuk memvalidasi audit BPK, Misbah berpandangan perlu adanya audit kedua yang dilakukan auditor independen. Hal itu, menurut dia, bisa menjadi salah satu solusi agar para auditor BPK tak lagi memperjualbelikan status opini WTP karena hasil kerjanya akan memiliki pembanding.
Hal yang tak kalah penting, menurut dia, adalah memperkuat aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) atau inspektorat di masing-masing instansi dan pengawasan berlapis oleh KPK.
Ketua Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Orin Gusta Andini menuturkan opini WTP saat ini hanya sebatas angka, tapi gagal mencapai manfaat yang diharapkan. Padahal audit tersebut seharusnya menjadi tolok ukur akuntabilitas instansi dalam pengelolaan anggaran sebagai pertanggungjawaban terhadap publik. “Justru dijadikan alat untuk kepentingan citra dan reputasi semu,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Apalagi, kata Orin, BPK sebagai bagian dari pemerintahan memeriksa sesama instansi pemerintah. Walhasil, dia menilai besar kemungkinan audit yang dilakukan BPK hanya formalitas.
Orin pun sependapat bahwa audit independen bisa menjadi alternatif tandingan untuk menguji kebenaran audit BPK sekaligus mencegah terjadinya jual-beli opini WTP. Dengan adanya audit independen, menurut dia, BPK tidak akan lagi menjadi satu-satunya lembaga yang memegang stempel penilaian terhadap pengelolaan keuangan negara. Syaratnya, audit itu dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab. “Bukan titipan dan harus bekerja sesuai dengan jalur tanpa intervensi,” ucapnya.
Berbeda dengan Misbah, Orin berpendapat posisi pengawas BPK tidak diperlukan. Adanya pengawas, menurut dia, justru hanya menimbulkan pemborosan anggaran negara dan belum tentu efektif. Menurut dia, perilaku menyimpang dalam suatu lembaga seharusnya bisa cepat ditindak tegas secara internal dan memberikan efek jera. “Lain hal kalau dibiarkan atau malah dipelihara sebagai hal lumrah,” ujar Orin.
Namun dia sepakat bahwa pucuk pimpinan BPK sebaiknya diisi oleh orang-orang profesional dan berintegritas, bukan orang-orang yang memiliki kepentingan politik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.