SEMULA tak ada tanda-tanda perkara kecil itu akan melahirkan kasus penghinaan peradilan (contempt of court). Dua pesakitan Jalidin, 19 tahun, dan Alidin, 18 tahun, yang dituduh mencuri lima ekor kambing tetangganya, tampak sopan di kursi terdakwa. Mereka juga tenang saja ketika Hakim Muhammad Nasution, Rabu dua pekan lalu, mengetuk palu 7 bulan untuk Jalidin dan 4 bulan bagi Alidin. Atas pertanyaan hakim, keduanya malah tak banding seperti halnya Jaksa Alwi Oidik yang semula menuntut masing-masing 10 bulan dan 6 bulan penjara. Tapi, begitu hakim meminta mereka meneken tanda terima vonis itu, mendadak sontak Jalidin bangkit. Ia mengangkat kursi terdakwa yang berkaki besi, dan melemparkannya ke arah hakim. Untung, Nasution mengelak. Tapi meja hakim tunggal itu bolong-bolong bak kena mitraliur. Toh Jalidin belum puas. Ia mencomot tape recorder dari meja pengacaranya dan hendak melemparkannya ke hakim. Tapi lagi-lagi niatnya gagal. Petugas polisi yang hadir di situ turun tangan dan segera memboyong kedua terhukum dengan mobil tahanan ke LP Lhokseumawe. Tapi, sebelum meninggalkan Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh Utara, yang gaduh itu, Jalidin masih sempat merepetrepet kepada TEMPO. Ia mempersoalkan hukuman temannya yang lebih ringan. "Itu tak adil," kata pria bertubuh hitam itu. Hukumannya lebih berat, katanya, semata karena ia sudah pernah dihukum. Akhir 1988, ia memang baru saja bebas setelah menjalani hukuman 2 tahun karena kasus penganiayaan. Tapi tak hanya itu pertimbangan hakim. Alidin mau mencuri kambing ternyata karena dipengaruhi Jalidin. Kendati'begitu, hakim mengorting tuntutan jaksa, karena kambing curian itu tak sempat mereka nikmati. Pada September lalu, mereka tertangkap basah oleh massa ketika enak-enak menggiring kambing curian di Batupaht dekat Lhokseumawe. Penduduk menyerahkan kedua pencuri itu, berikut kambing-kambingnya, ke polisi. Karena itulah mereka diadili. Ternyata, walau jelas-jelas bersalah, Jalidin masih sampai hati bertindak keras terhadap hakim. Bagaimanapun juga, Jalidin telah menambah statistik kasus penyerangan hakim di negeri ini. Pada 1980, di PN Jakarta Barat, Kolonel Purnawirawan M. Djamil, yang kalah berperkara, menembak pengacara lawannya, Soeripto, hingga jatuh terkapar. Kemudian Djamil mengalihkan bidikannya ke Hakim Soetrisno. Untunglah, pistol macet. Tapi Soeripto terpaksa dirawat di rumah sakit. Penghinaan lebih kasar terjadi di PN Lahat, Sum-Sel. Majelis Hakim yang diketuai Abdulhak Ali tiba-tiba diserbu massa, begitu ia membebaskan seorang terdakwa pemalsu surat tanah. Ketiga anggota mejelis dipukuli massa, dan gedung pengadilan hancur berantakan. Penghinaan kecil berakibat besar dilakukan advokat beken Buyung Nasution, ketika membela kasus subversi H.R. Dharsono pada Januari 1986 lalu. Waktu itu, ia menyambar pengeras suara dan berseru, "Saya protes kata-kata Majelis itu, siapa yang tidak etis?" Sebelumnya, dalam uraiannya, vonis hakim memang menyebutkan Buyung tidak etis dalam teks pleidoinya. Akibatnya, Buyung dituduh melakukan contempt of court dan diskors selaku advokat oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Penghinaan terbesar sampai kini memang dilakukan oleh Mimi Lidyawati, 37 tahun. Wanita itu nekat melemparkan sepatunya kepada hakim hanya karena ia tak puas dengan vonis hakim. Sebab, hakim itu, katanya, telah disuapnya untuk menghukum berat lawannya. Akibat penghinaan itu, pada Mei 1989 lalu, ia dihukum 5 bulan. Tapi nasib Jalidin masih lebih baik daripada Mimi. Ia tampaknya tak bakal dijerat dengan pasal penghinaan itu seperti diatur pasal 207 KUHP. Konon, menurut sebuah sumber, Hakim Nasution 39 tahun, bisa memaafkan Jalidin. "Sudahlah, ia toh sudah dihukum." kata sumber itu, mengutip Nasution. BL, Makmun Al Mujahid (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini