Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bukan Kesopanan Harvey Moeis, Reza Indragiri Sodorkan 6 Fakta yang Seharusnya Diperhatikan Hakim

Hakim yang menyidangkan kasus korupsi seperti sidang Harvey Moeis seharusnya tidak gampang terkelabui gestur, persona dan keluarga terdakwa.

30 Desember 2024 | 15.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hakim Ketua Eko Aryanto (tengah), Sandra Dewi, dan Harvey Moeis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 21 Oktober 2024. Harvey Moeis diketahui divonis 6,5 tahun penjara beserta denda Rp1 miliar dan diwajibkan uang pengganti sebesar Rp210 miliar. Putusan ini ternyata lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 12 tahun penjara. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel ikut angkat bicara soal vonis Harvey Moeis yang dinilai terlalu rendah. Vonis 6,5 tahun penjara dinilai banyak pihak tindak menjerakan koruptor yang sudah merugikan negara hingga Rp 300 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mahkamah Agung memang seharusnya punya panduan dalam menjatuhkan hukuman atas diri terdakwa (sentencing guideline)," kata Reza melalui keterangan resminya, Senin, 30 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reza mengatakan, hakim-hakim utamanya yang fokus pada tindak pidana korupsi harus punya panduan agar tidak gampang terkelabui oleh gestur, status rumah tangga, dan hal-hal personal non substantif lainnya. 

"Usulan saya, seorang terdakwa yang diketahui telah jamak melakukan kejahatan, kendati belum pernah dimintai pertanggungjawabannya secara pidana, seharusnya disikapi sebagai penjahat kambuhan," kata Reza. 

Dalam sidang korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis, Reza Indragir menyodorkan 6 fakta yang seharusnya diperhatikan hakim: 

1. Modus culas berulang

Dalam kasus Harvey Moeis, Reza mengatakan, suami Sandra Dewi itu bersama dengan pelaku korupsi lainnya berhasil membuat dua belas perusahaan cangkang atau perusahaan boneka untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi. 

"Angka dua belas menjadi bukti bahwa modus culas telah terdakwa terapkan berulang. Harvey bisa disebut residivis berdasarkan reoffend (pengulangan pidana), bukan berdasarkan reentry (bolak-balik dipenjara)," kata Reza. 

2. Dampak kerugian bagi banyak orang

Usulan kedua, kata Reza, hakim tindak pidana korupsi penting untuk mempertimbangkan efek kerugian bagi orang banyak dan keuntungan bagi diri sendiri. Dalam kasus ini Harvey mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 300 triliun. 

3. Eksploitasi jahat terhadap sumber daya tambang

"Ketiga, kejahatan dilakukan terhadap target--baik orang maupun objek--yang bernilai tinggi sekaligus rentan untuk diviktimisasi," kata Reza. 

Perbuatan Harvey dapat dimaknai sebagai bentuk eksploitasi jahat terhadap sumber daya tambang. Sumber daya ini tergolong memiliki nilai tinggi dan rentan dieksploitasi secara ilegal.

4. Apakah pelaku dalam kondisi penyalahgunaan Napza 

Keempat, hakim perlu punya panduan apakah dalam melakukan kejahatan pelaku berada dalam kondisi menyalahgunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA). 

5. Peran sentral pelaku dalam korupsi berjamaah

Selanjutnya, peran sentral pelaku dalam aksi korupsi berjamaah. "Jaksa mendeskripsikan Harvey menginisiasi kerjasama sewa alat processing untuk pelogaman Timah dengan smelter swasta yang tidak memiliki competent person. Kata menginisiasi yang digunakan Jaksa menunjukkan Harvey tidak berada pada posisi ikut-ikutan," kata Reza. 

6. Apakah ada rasa penyesalan atau bersalah

Usulan terakhir, hakim perlu melihat dari sisi pengakuan bersalah dan penyesalan diri si pelaku. Sementara dalam kasus korupsi timah, Harvey Moeis malah mempertanyakan kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun. 

"Kentara, tidak ada pengakuan apalagi penyesalan di dalam kalimat sedemikian rupa," kata Reza. 

Reza mengatakan, jika keenam hal di atas tercantum dalam sentencing guideline, maka dapat dinalar, tersedia lima hal yang sepatutnya dijadikan sebagai hal yang memberatkan hukuman terhadap Harvey. 

Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto menyatakan Harvey terbukti bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang secara bersama-sama dalam tata niaga timah di izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015-2022. 

Dalam kasus ini, Harvey diduga menerima Rp420 miliar bersama Helena Lim, Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Suparta, terdakwa lain, disebut menerima Rp4,57 triliun dari kasus yang menyebabkan kerugian negara Rp300 triliun. Keduanya juga didakwa mencuci uang dari dana tersebut. 

Namun begitu, Eko Aryanto hanya menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis, disertai denda Rp 1 miliar dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar. Lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 12 tahun penjara. 

Dalam putusannya, majelis hakim mempertimbangkan faktor peringan hukumannya karena Harvey bersikap sopan di persidangan, tanggungan keluarga, dan statusnya yang belum pernah dihukum.

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus