KEMERIAHAN 17 Agustus tak sepenuhnya sampai ke Desa Bapuh
Bandung, Kecamatan Glagah, di Jawa Timur. Buktinya, mingu lalu
suasana desa yang terletak 13 km di sebelah timur laut Kabupaten
Lamongan itu, sepi. Bahkan agak terasa mencekam, ketika beberapa
pengemudi ojek yang mangkal di Deket dan Betoyo, daerah
perbatasan yang menjadi pintu masuk ke desa itu, menolak
membawa masuk tamu. "Mereka menolak waktu saya bilang mau ke
kantor Koramil", lapor seseorang yang gagal berkunjung ke desa
itu kepada TEMPO.
Ada sesuatu yang terjadi? Orang itu hanya menggelengkan
kepalanya. Tapi, bisik-bisik yang direkam dari desa yang
berpenduduk sekitar 2.000 jiwa itu menyebutkan, suasana tak enak
menyelimuti Koramil, setelah peristiwa penembakan oleh seorang
oknum di kantor itu atas seorang penduduk, semalam sebelum
dilakukan pemilihan lurah awal bulan ini. Siapa oknum itu, tak
seorang penduduk pun mau bicara. "Tanya saja Halim, korban
penembakan yang sekarang dirawat di rumah sakit di Surabaya,"
kata seorang penduduk sambil bergegas pergi.
Dihubungi TEMPO di kantornya, Komandan Resort Kepolisian
Lamongan, Letnan Kolonel Miadji, pun belum mau bercerita apa
sebenarnya yang terjadi di desa Bapuh Bandung itu. Pejabat itu
hanya membenarkan bahwa memang ada peristiwa penembakan "yang
sekarang masih dalam pengusutan".
Hanya Abdul Halim, 28 tahun, korban penembakan yang kini masih
meringkuk di sebuah kamar di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya,
itu yang nampaknya repot membeberkan peristiwa yang teriadi di
desanya.
Pada 9 Agustus malam, demikian ayah tiga anak itu memulai
ceritanya, dia dipanggil Koptu Ambar, anggota koramil setempat.
Malam itu, adalah malam menjelang pemilihan lurah, setelah lima
tahun Desa Bapuh diperintah oleh "lurah sementara". Ambar
berpakaian preman, datang ke rumah Halim bersama seorang
temannya. Mereka menanyakan adakah Halim sudah mendapatkan
surat tanda bisa mengikuti pemilihan lurah.
Halim, yang di desa itu dikenal berani dan dalam pemilihan itu
menjagoi saudara misannya, M. Fadli -- salah seorang calon yang
entah mengapa dicoret oleh panitia pemilihan -- spontan saja
menjawab, belum. Lalu Ambar, yang dikenal Halim sebagai anak
kiai di desa itu, menawarkan bantuan untuk menguruskan segala
sesuatunya agar Halim bisa ikut pemilihan. Syaratnya: hal itu
dibicarakan di tempat yang tak banyak orang agar bisa lebih
leluasa, begitu ceritanya. Halim setuju. Mereka bertiga kemudian
berangkat dengan sepeda motor milik Ambar.
"Di suatu tempat sunyi, tiba-tiba, Pak Ambar mengeluarkan
pistolnya dan langsung menembak saya beberapa kali," tutur
Halim. Sopir kolt itu, katanya, "kaget setengah mati" dan hanya
bisa menutup kepalanya sambil berusaha lari dengan menceburkan
diri ke kali yang ada di dekat situ. Sekitar 15 menit, tuturnya,
dia terbirit-birit memacu tubuhnya menghindari tembakan itu.
Mujur, dia akhirnya tertolong, setelah beberapa penduduk Dukuh
Tunggal menemukannya dalam keadaan teraniaya: darah mengucur
dari sembilan lubang peluru di tubuhnya. Lelaki muda itu
langsung dilarikan ke Surabaya.
"Saya tak sangka Pak Ambar setea itu," cetus Halim kemudian.
Sekujur tubuhnya penuh perban. Untung dokter tak menemukan
peluru satu pun di daerah rawan tubuhnya. Sampai sekarang Halim
mengaku belum dapat memastikan kenapa Ambar mau membunuhnya.
Jawaban itu pun tetap terang-terang gelap buat warga Bapuh.
Mereka hanya tahu bahwa Halim bukan pendukung Dirham, 40 tahun,
pejabat lurah yang tak disukai Halim. Apakah karena itu pria
muda yang pernah dihukum empat bulan penjara itu ditembak?
Belum ada penjelasan resmi. Dan Ramil Glagah, Rawi Subagio,
tidak ada di tempat ketika wartawan TEMPO datang ke kantornya.
Hanya beberapa penduduk, yang nampak takut-takut, mengatakan
bahwa Halim disebut bromocorah yang bisa menggagalkan pemilihan
Dirham yang bekas anggota koramil itu. Namun, alasan itu jadi
tak cukup kuat, karena ternyata Dirham toh muncuf sebagai calon
tunggal. Sementara penduduk Bapuh setiap hari bisa melihat Koptu
Ambar berjalan-alan di desa yang nampak kering dengan jalan
berlubang-lubang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini