Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Proklamasi dan soal makna

Peringatan proklamasi memang bukan pembeberan fakta-fakta, bukan pengkajian kronologi sejarah. ia memberi makna kepada fakta-fakta. peringatan ialah soal roh. roh yang selalu kita minta hadir.

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMPERINGATI Proklamasi, anak-anak muda di kampung saya memasang gambar besar Pangeran Diponegoro berkuda. Disampingnya kobaran ledakan mesiu. Dalam silhuet, tampak gerilya berbambu runcing terpelanting. Di tengah kecamuk itu bendera merah putih terpancang, setengah berkibar. Gambar besar itu dipasang di perempatan jalan, disertai pesan: "Lanjutkanlah perjuanganku". Siapa bilang remaja kita tidak patriotik? Tentu saja gambar Diponegoro itu sangat kita kenal. Gerilya dengan bambu runcing juga gambar yang tipikal. Memang komunikatif. Pesannya segera tertangkap: Proklamasi ialah perayaan tentang heroisme, patriotisme, dan akhirnya pengorbanan yang menuntut kelanjutan. Rasanya seperti perpaduan antara legenda kepahlawanan Diponegoro dan sanjak Krawang-Bekasi. Seakan-akan Diponegoro, gerilya, bambu runcing, dan teks yang ditandatangani Soekarno-Hatta, merupakan satu gumpalan. Jarak waktu tak relevan lagi. Padahal, betapa jauh jarak antara ketiga peristiwa itu dan para remaja ini. Antara Diponegoro dan Proklamasi sendiri terbentang tenggang lebih dari satu abad. Antara Proklamasi dan perang gerilya, ada selang beberapa bulan, kalau kita mulai dari 10 November di Surabaya. Dengan dua kali serbuan besar Belanda, ada selang beberapa tahun. Tetapi peringatan memang bukan terutama pembeberan fakta-fakta, bukan pengajian kronologi sejarah. Peringatan bermaksud memberi makna kepada fakta-fakta. Peringatan ialah soal roh. Barangkali karena itulah kita tak pernah kaget, kalau acara-acara sandiwara dalam memperingati Proklamasi mementaskan gerilya melawan Belanda -- bukan Jepang. Juga sudah kaprah kalau peringatan itu diiringi lagu-lagu Ismail Marzuki -- yang muncul beberapa waktu sesudah Proklamasi. Pegangsaan, Surabaya, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, Enam Jam di Jogya, lagi-lagi jadi satu gumpalan. Hari Proklamasi. Hari Angkatan Bersenjata, Hari Pahlawan, hampir tak ada bedanya. Padahal ketiganya memiliki ciri sendiri-sendiri. Detik-detik proklamasi tidak memperagakan mesiu, walau suasananya genting dan mencekam. Barangkali yang dominan justru suasana hening di tengah ketegangan, yang terasa kudus dan religius. Bahkan massa yang membanjiri Lapangan Ikada dalam menyambut proklamasi itu tak mendengar pidato yang membakar. Kali ini Soekarno menawarkan ketenangan. Dan massa pun bubar dengan tenang. Memang ada juga banmbu runcing, jawara dari Bekasi atau Klender, yang bibirnya merah karena mengunyah sirih. Ada juga para pemuda dengan semangat menggelegak. Di sekeliling lapangan masih ada Jepang dengan bayonet terhunus, yang mereka tatap dengan geram dan tegang. Tetapi tak ada pertumpahan darah. Jadi mengapa para pemuda itu tidak melukiskan kaum mereka sendiri? Para pemudalah yang sungguh-sungguh hadir di sekitar Proklamasi. Mereka yang mendesakkan proklamasi, bahkan dengan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Lambang yang sebenarnya paling tepat untuk Proklamasi adalah Soekarno-Hatta. Merah-Putih, corong pengeras suara, para pemuda, massa. Mungkin saja terasa kurang patriotik. Terutama jika kita terbiasa memandang bedil, mesiu, bambu runcing, dan persabungan nyawa sebagai puncak patriotisme. Tetapi barangkali memang itulah semangat yang hendak kita tanamkan: roh yang selalu kita minta hadir. Dan beramai-ramailah kita memuja militansi sebagai nilai tertinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus