MEMPERINGATI Proklamasi, anak-anak muda di kampung saya memasang
gambar besar Pangeran Diponegoro berkuda. Disampingnya kobaran
ledakan mesiu. Dalam silhuet, tampak gerilya berbambu runcing
terpelanting. Di tengah kecamuk itu bendera merah putih
terpancang, setengah berkibar. Gambar besar itu dipasang di
perempatan jalan, disertai pesan: "Lanjutkanlah perjuanganku".
Siapa bilang remaja kita tidak patriotik?
Tentu saja gambar Diponegoro itu sangat kita kenal. Gerilya
dengan bambu runcing juga gambar yang tipikal. Memang
komunikatif. Pesannya segera tertangkap: Proklamasi ialah
perayaan tentang heroisme, patriotisme, dan akhirnya pengorbanan
yang menuntut kelanjutan. Rasanya seperti perpaduan antara
legenda kepahlawanan Diponegoro dan sanjak Krawang-Bekasi.
Seakan-akan Diponegoro, gerilya, bambu runcing, dan teks yang
ditandatangani Soekarno-Hatta, merupakan satu gumpalan. Jarak
waktu tak relevan lagi.
Padahal, betapa jauh jarak antara ketiga peristiwa itu dan para
remaja ini. Antara Diponegoro dan Proklamasi sendiri terbentang
tenggang lebih dari satu abad. Antara Proklamasi dan perang
gerilya, ada selang beberapa bulan, kalau kita mulai dari 10
November di Surabaya. Dengan dua kali serbuan besar Belanda, ada
selang beberapa tahun.
Tetapi peringatan memang bukan terutama pembeberan fakta-fakta,
bukan pengajian kronologi sejarah. Peringatan bermaksud memberi
makna kepada fakta-fakta. Peringatan ialah soal roh. Barangkali
karena itulah kita tak pernah kaget, kalau acara-acara sandiwara
dalam memperingati Proklamasi mementaskan gerilya melawan
Belanda -- bukan Jepang.
Juga sudah kaprah kalau peringatan itu diiringi lagu-lagu Ismail
Marzuki -- yang muncul beberapa waktu sesudah Proklamasi.
Pegangsaan, Surabaya, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api,
Enam Jam di Jogya, lagi-lagi jadi satu gumpalan. Hari
Proklamasi. Hari Angkatan Bersenjata, Hari Pahlawan, hampir tak
ada bedanya.
Padahal ketiganya memiliki ciri sendiri-sendiri. Detik-detik
proklamasi tidak memperagakan mesiu, walau suasananya genting
dan mencekam. Barangkali yang dominan justru suasana hening di
tengah ketegangan, yang terasa kudus dan religius. Bahkan massa
yang membanjiri Lapangan Ikada dalam menyambut proklamasi itu
tak mendengar pidato yang membakar. Kali ini Soekarno menawarkan
ketenangan.
Dan massa pun bubar dengan tenang. Memang ada juga banmbu
runcing, jawara dari Bekasi atau Klender, yang bibirnya merah
karena mengunyah sirih. Ada juga para pemuda dengan semangat
menggelegak. Di sekeliling lapangan masih ada Jepang dengan
bayonet terhunus, yang mereka tatap dengan geram dan tegang.
Tetapi tak ada pertumpahan darah.
Jadi mengapa para pemuda itu tidak melukiskan kaum mereka
sendiri? Para pemudalah yang sungguh-sungguh hadir di sekitar
Proklamasi. Mereka yang mendesakkan proklamasi, bahkan dengan
menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Lambang yang
sebenarnya paling tepat untuk Proklamasi adalah Soekarno-Hatta.
Merah-Putih, corong pengeras suara, para pemuda, massa.
Mungkin saja terasa kurang patriotik. Terutama jika kita
terbiasa memandang bedil, mesiu, bambu runcing, dan persabungan
nyawa sebagai puncak patriotisme. Tetapi barangkali memang
itulah semangat yang hendak kita tanamkan: roh yang selalu kita
minta hadir. Dan beramai-ramailah kita memuja militansi
sebagai nilai tertinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini