TEPUK tangan untuk IPB. Senin pekan lalu diumumkan, pemenang I,
II, III, dan harapan I Lomba Karya Inovatif Produktif (LKIP)
1983 diborong institut pertanian tersebut. Bahkan pemenang I,
kelompok mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan,
dengan karyanya Sistem Filter Biomekanis, mendapat pujian
sebagai "karya murah yang manfaatnya besar", (lihat: Ilmu
Teknologi).
Tapi sejak LKIP I, 1980, lomba ini agaknya memang didominasi dua
perguruan tinggi saja: IPB dan UGM. Padahal lomba ini, paling
tidak menurut Dwita Hadi Rahmi dari Fakultas Teknik Arsitektur
UGM. "bisa menjadi tolok ukur kemampuan akademis mahasiswa
tingkat nasional." Dwita beserta kawan-kawannya tahun lalu
meraih juara harapan untuk karya mereka: gerobak khusus buat
pedagang kaki lima.
LKIP, diselenggarakan Departemen P & K, memang untuk memancing
kreativitas mahasiswa. Dan dengan penyediaan subsidi terbatas
(tahun ini sebesar Rp 300 ribu, Rp 50 ribu lebih banyak dari
tahun-tahun sebelumnya) agaknya memang mahasiswa diminta
menciptakan teknologi madya yang bermanfaat bagi pedesaan. Ini
bisa dilihat dari karya-karya finalis dari tahun ke tahun.
Tahun 1980 kelompok mahasiswa Fakultas Pertanian UGM menjuarai
lomba ini dengan karya Pembuatan Tempe dari Koro Benguk. Karya
lain, misalnya, tentang pemanfaatan lahan telantar, tentang
peternakan bekicot. Juga ada karya yang membicarakan pembuatan
kecap dari keong sawah, dan pembuatan biskuit dari limbah tahu.
Tahun ini pun masalah yang digarap masih dalam lingkup teknologi
pedesaan: filter biomekanis untuk menetralisasikan perairan
tercemar, tentang ternak kelinci, tentang lampu penangkap
serangga.
Ada harapan memang, datang dari Sudibyo Setyobroto, ketua
panitia lomba tahun ini dan anggota Dewan Juri. "Karya-karya itu
tidak saja menunjukkan kemampuan akademis peserta, tapi juga
bisa mendatangkan manfaat buat masyarakat luas," katanya. Dari
monitoring Sudibyo, memang karya-karya lomba yang menang,
beberapa kini telah dipraktekkan. Misalnya di Wonogiri, Jawa
Tengah sudah ada kampung yang membuat tempe benguk gaya UGM. IPB
diberitakan kebanjiran surat yang menanyakan bagaimana persisnya
membuat mesin penetas telur yang memenangkan LKIP tahun lalu.
Pun cara memelihara nener bandeng dari mahasiswa Unpad, yang
memenangkan juara harapan tahun lalu -- kini malahan sudah
dipraktekkan salah seorang dosen Unpad.
Jadi apa pasal, meski peserta LKIP meningkat terus, belum semua
perguruan tinggi ambil peranan? "Saya kira publikasi perlombaan
ini kurang," kata Endang Purwantini, 25 tahun, mahasiswa Farmasi
ITB. Endang sebenarnya tahun ini termasuk yang mendapat subsidi
Panitia LKIP untuk membuat karya bidang kimia. Sayang, gagal.
Soalnya, setelah percobaan dilakukan, uang Rp 300 ribu hanya
mampu membiayai percobaan amilum sebagai perekat tablet. Cari
sponsor? "Wo, keburu menyelesaikan tugas akhir, katanya.
Itu dibenarkan Sudibyo. Ia kaget, ketika beberapa mahasiswa
teladan pekan lalu menyatakan kepadanya belum pernah mendengar
adanya LKIP. Padahal, Pembantu Rektor III ITB, Dr. Lumban Toruan
misalnya, merasa telah mengumumkan ikhwal lomba ini ke semua
jurusan di ITB. "Saya kira mahasiswa kurang tanggap," katanya.
Tapi melihat lingkup lomba ini agaknya kesempatan terbesar
memang ada pada takultas yang berkaitan dengan pedesaan:
fakultas-fakultas yang menggarap pertanian, peternakan, dan
sejenisnya. "Tak semua disiplin bidang ilmu bisa menciptakan
karya yang berguna buat masyarakat umum," kata Todung Haulian,
mahasiswa Geologi ITB. Itulah mungkin, alasan utama hingga hanya
IPB dan UGM yang selama ini aktif muncul di LKIP. Harap dicatat
mahasiswa peserta LKIP dari UGM (juga Unpad, Bandung) pun
kebanyakan memang dari fakultas pertanian.
Selain itu, alasan kuno pun terdengar dari kalangan mahasiswa.
Kebanyakan mahasiswa yang diwawancarai TEMPO menjawab, bahwa
bagi mereka konsentrasi pada kuliah agar cepat lulus lebih baik
daripada ikut lomba yang hadiah pertamanya cuma Rp 750 ribu.
Imam Sofyan, mahasiswa Mesin ITS, Surabaya, melihat,
kawan-kawannya yang sempat ikut LKIP pasti dari Fakultas FlPIA,
"yang jam prakteknya lebih sedikit ketimbang fakultas lain, jadi
mereka punya waktu."
Tapi Dwita, mahasiswi Teknik Arsitektur UGM itu, menyebutkan hal
yang penting. "Kalau teman-teman kemudian malas ikut lomba,
mungkin karena kelanjutan lomba itu sendiri tak jelas," kata
mahasiswa anggota Lembaga Bantuan Arsitektur ini. Misalnya saja,
mengapa karya-karya itu tidak disebarluaskan ke masyarakat agar
bisa dimanfaatkan, katanya. Kalaupun ada sejumlah masyarakat
yang memanfaatkan karya pemenang LKIP, biasanya mereka memang
masyarakat yang berada di sekitar perguruan tinggi, yang
mengenal para mahasiswa yang bereksperimen itu.
Bisa dianggap mubazir, bila saja LKIP yang tiga tahun terakhir
ini jumlah peminat sudah lebih dari seribu -- hasilnya tak
bergaung di masyarakat. Apakah filter biomeanis kijing Anodonta
yang begitu murah dan sangat bermanfaat itu, misalnya, hanya
akan menjadi konsep di kertas? Sementara kadar pencemaran
perairan oleh pestisida dari hari ke hari makin tinggi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini