Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Lomba kijang tanpa gaung

Diselenggarakan oleh Departemen P dan K, untuk memancing kreativitas mahasiswa. pemenang I, II, III dan harapan I diborong oleh IPB. (pdk)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK tangan untuk IPB. Senin pekan lalu diumumkan, pemenang I, II, III, dan harapan I Lomba Karya Inovatif Produktif (LKIP) 1983 diborong institut pertanian tersebut. Bahkan pemenang I, kelompok mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan, dengan karyanya Sistem Filter Biomekanis, mendapat pujian sebagai "karya murah yang manfaatnya besar", (lihat: Ilmu Teknologi). Tapi sejak LKIP I, 1980, lomba ini agaknya memang didominasi dua perguruan tinggi saja: IPB dan UGM. Padahal lomba ini, paling tidak menurut Dwita Hadi Rahmi dari Fakultas Teknik Arsitektur UGM. "bisa menjadi tolok ukur kemampuan akademis mahasiswa tingkat nasional." Dwita beserta kawan-kawannya tahun lalu meraih juara harapan untuk karya mereka: gerobak khusus buat pedagang kaki lima. LKIP, diselenggarakan Departemen P & K, memang untuk memancing kreativitas mahasiswa. Dan dengan penyediaan subsidi terbatas (tahun ini sebesar Rp 300 ribu, Rp 50 ribu lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya) agaknya memang mahasiswa diminta menciptakan teknologi madya yang bermanfaat bagi pedesaan. Ini bisa dilihat dari karya-karya finalis dari tahun ke tahun. Tahun 1980 kelompok mahasiswa Fakultas Pertanian UGM menjuarai lomba ini dengan karya Pembuatan Tempe dari Koro Benguk. Karya lain, misalnya, tentang pemanfaatan lahan telantar, tentang peternakan bekicot. Juga ada karya yang membicarakan pembuatan kecap dari keong sawah, dan pembuatan biskuit dari limbah tahu. Tahun ini pun masalah yang digarap masih dalam lingkup teknologi pedesaan: filter biomekanis untuk menetralisasikan perairan tercemar, tentang ternak kelinci, tentang lampu penangkap serangga. Ada harapan memang, datang dari Sudibyo Setyobroto, ketua panitia lomba tahun ini dan anggota Dewan Juri. "Karya-karya itu tidak saja menunjukkan kemampuan akademis peserta, tapi juga bisa mendatangkan manfaat buat masyarakat luas," katanya. Dari monitoring Sudibyo, memang karya-karya lomba yang menang, beberapa kini telah dipraktekkan. Misalnya di Wonogiri, Jawa Tengah sudah ada kampung yang membuat tempe benguk gaya UGM. IPB diberitakan kebanjiran surat yang menanyakan bagaimana persisnya membuat mesin penetas telur yang memenangkan LKIP tahun lalu. Pun cara memelihara nener bandeng dari mahasiswa Unpad, yang memenangkan juara harapan tahun lalu -- kini malahan sudah dipraktekkan salah seorang dosen Unpad. Jadi apa pasal, meski peserta LKIP meningkat terus, belum semua perguruan tinggi ambil peranan? "Saya kira publikasi perlombaan ini kurang," kata Endang Purwantini, 25 tahun, mahasiswa Farmasi ITB. Endang sebenarnya tahun ini termasuk yang mendapat subsidi Panitia LKIP untuk membuat karya bidang kimia. Sayang, gagal. Soalnya, setelah percobaan dilakukan, uang Rp 300 ribu hanya mampu membiayai percobaan amilum sebagai perekat tablet. Cari sponsor? "Wo, keburu menyelesaikan tugas akhir, katanya. Itu dibenarkan Sudibyo. Ia kaget, ketika beberapa mahasiswa teladan pekan lalu menyatakan kepadanya belum pernah mendengar adanya LKIP. Padahal, Pembantu Rektor III ITB, Dr. Lumban Toruan misalnya, merasa telah mengumumkan ikhwal lomba ini ke semua jurusan di ITB. "Saya kira mahasiswa kurang tanggap," katanya. Tapi melihat lingkup lomba ini agaknya kesempatan terbesar memang ada pada takultas yang berkaitan dengan pedesaan: fakultas-fakultas yang menggarap pertanian, peternakan, dan sejenisnya. "Tak semua disiplin bidang ilmu bisa menciptakan karya yang berguna buat masyarakat umum," kata Todung Haulian, mahasiswa Geologi ITB. Itulah mungkin, alasan utama hingga hanya IPB dan UGM yang selama ini aktif muncul di LKIP. Harap dicatat mahasiswa peserta LKIP dari UGM (juga Unpad, Bandung) pun kebanyakan memang dari fakultas pertanian. Selain itu, alasan kuno pun terdengar dari kalangan mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa yang diwawancarai TEMPO menjawab, bahwa bagi mereka konsentrasi pada kuliah agar cepat lulus lebih baik daripada ikut lomba yang hadiah pertamanya cuma Rp 750 ribu. Imam Sofyan, mahasiswa Mesin ITS, Surabaya, melihat, kawan-kawannya yang sempat ikut LKIP pasti dari Fakultas FlPIA, "yang jam prakteknya lebih sedikit ketimbang fakultas lain, jadi mereka punya waktu." Tapi Dwita, mahasiswi Teknik Arsitektur UGM itu, menyebutkan hal yang penting. "Kalau teman-teman kemudian malas ikut lomba, mungkin karena kelanjutan lomba itu sendiri tak jelas," kata mahasiswa anggota Lembaga Bantuan Arsitektur ini. Misalnya saja, mengapa karya-karya itu tidak disebarluaskan ke masyarakat agar bisa dimanfaatkan, katanya. Kalaupun ada sejumlah masyarakat yang memanfaatkan karya pemenang LKIP, biasanya mereka memang masyarakat yang berada di sekitar perguruan tinggi, yang mengenal para mahasiswa yang bereksperimen itu. Bisa dianggap mubazir, bila saja LKIP yang tiga tahun terakhir ini jumlah peminat sudah lebih dari seribu -- hasilnya tak bergaung di masyarakat. Apakah filter biomeanis kijing Anodonta yang begitu murah dan sangat bermanfaat itu, misalnya, hanya akan menjadi konsep di kertas? Sementara kadar pencemaran perairan oleh pestisida dari hari ke hari makin tinggi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus