BAGI Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, ujian promosi doktor agaknya lebih "ringan" dibanding dengan yang dialami pekan lalu di Pengadilan Tinggi Singapura. Selama tiga hari, total 17 jam, ia -- sambil terus berdiri -- harus berdebat soal hukum Indonesia dengan pengacara Kartika, Bernard Eder. "Kalau bukan untuk membela Republik, dibayar berapa pun saya tidak mau berdiri selama itu. Tulang kaki rasanya mau copot," ujar ahli hukum internasional berusia 54 tahun itu, seusai sidang. Persidangan memperebutkan harta peninggalan Haji Achmad Thahir sebesar US$ 78 juta di Bank Sumitomo, pekan lalu, memang memasuki babak penentuan. Setelah Pertamina menghadapkan saksi-saksi mengenai fakta, termasuk Jenderal Benny Moerdani, kedua kubu, Pertamina dan Kartika, beradu argumentasi hukum tentang siapa sebenarnya yang berhak atas uang komisi dari perusahaan Jerman, Klockner dan Siemens. Maka, kubu Pertamina menampilkan saksi ahli (hukum) Prof. Komar Kantaatmadja (dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran), yang sudah dipersiapkan bersama Prof. Soedargo Gautama (FH UI dan ahli perdata internasional), serta seorang ahli hukum asal Belanda, Victor de Seriere. Eder, tanpa sungkan, segera menyerang saksi Komar Kantaatmadja. "Profesor Komar, atas dasar apa Pertamina menuntut komisi yang diterima Thahir, apakah ada peraturan yang menyebutkan bahwa komisi harus diserahkan ke pemberi kuasa?" tanya Eder keras, sambil berkacak pinggang. Komar dengan kalem menjawab, dasarnya pasal 1802 KUH Perdata (Penerima kuasa wajib memberikan pertanggungjawaban tentang apa yang diperbuatnya dan memberikan perhitungan apa yang diterima). Seolah menjawab pertanyaan sendiri, Eder mengemukakan, alasan bahwa komisi tidak diserahkan kepada Pertamina itu karena hubungan antara Thahir dan Pertamina atas dasar hukum kontrak, bukan sebagai atasan-bawahan. Ia ingin meletakkan para pihak yang bersengketa dalam posisi yang sama dan sejajar (coordinated). Pasal 1802 KUHP, menurut Eder, tidak mengandung hukum kepemilikan, melainkan berkaitan dengan hukum kontrak belaka. Artinya, Thahir tidak wajib mengembalikan seluruh komisi yang ia peroleh. Kalaupun yang terlibat kontrak ingkar janji, ia hanya diwajibkan membayar ganti rugi berupa biaya yang terpakai selama kontrak berlangsung ditambah bunga (Pasal 1243 KUHP). Eder mengaskan bahwa Pertamina sama sekali tidak berhak atas uang komisi yang diperoleh Thahir, karena komisi itu sifatnya secret payment (pembayaran rahasia). Jadi, yang wajib dilaporkan Thahir hanya yang menjadi milik Pertamina dan itu sudah dilakukan. "Milik Pertamina hanyalah pembayaran yang tidak rahasia karena yang rahasia itu tidak pernah dikuasakan. Jadi, komisi itu mutlak milik Thahir," ujar Eder, dengan nada tinggi. Sambil senyum-senyum, Eder meminta kepada Komar memberikan contoh, kasus mana yang pernah terjadi di Indonesia, sebagai bukti komisi itu milik si pemberi kuasa. Persoalan inilah yang membuat sidang berlarut-larut. Komar tampak tertegun, diam. Ruang pengadilan hening. Berkali-kali Komar melirik pengacara Pertamina, David Hunt. Akhirnya, Hakim Lai menyuruh Komar beristirahat. "Anda tampak lelah, sebaiknya istirahat dahulu," ujar Lai, arif. Kesaksian Komar pun tertunda. Melihat Komar keteter, seusai sidang, ketua tim Pengacara Pertamina Albert Hasibuan, dan tim ahli Pertamina Prof. Soedargo Gautama, Prof. Soedikno Mertokusumo, Prof. Mariam Darus, dan Dr. Maria Suwardjono, terlibat pembicaraan serius. Mereka merembukkan strategi menjinakkan si "singa" keturunan Yahudi, Eder. Pada sidang hari berikutnya, Komar tampak lebih tenang menghadapi serangan Eder. Ia tetap bersikukuh bahwa berdasar Pasal 1802 dan 1805 KUHP, Pertamina berhak atas uang komisi itu. Menurut Komar, dua pasal itu mengandung aspek hukum kontrak dan aspek hukum kepemilikan. Berdasar asas droit de suite, demikian Komar, hak kepemilikan itu mengikuti bendanya di mana pun benda itu berada. Selain itu, kata Komar, secara hukum Thahir tidak mempunyai "alas hak" untuk mendapatkan komisi itu. Alas hak adalah suatu ketentuan hukum yang membuat seseorang dinyatakan berhak atas suatu benda. Alas hak itu hanya didapat dengan dua cara, yaitu berdasarkan kewarisan (termasuk utang), dan berdasarkan hak khusus, misalnya jual beli dan kontrak. "Berdasarkan hukum perdata Indonesia (Pasal 584 KUH Perdata), Thahir tidak mempunyai titel (alas hak) pada komisi itu," tutur Komar tegas. Mendapat jawaban itu, Eder belum juga kehabisan peluru. Ia meloncat pada persoalan lama, tentang siapa yang berhak menuntut uang itu. Menurut Eder, Pertamina tetap tidak berhak karena ia bukan negara. "Profesor ..., kekayaan Pertamina bukan milik Pertamina, tapi milik negara," kata Eder, sambil menunjuk-nunjukkan dasinya ke arah Komar. Komar menjawab bahwa pernyataan Eder mengadaada. Karena, Pertamina sudah mendapat delegasi dari Pemerintah untuk mengelola kekayaan yang diperolehnya. Itu diatur dalam Undang-Undang Pertamina No. 8 Tahun 1971. Saat Eder akan bicara, Komar pamit pada hakim karena hari itu juga ia akan pergi ke Kuala Lumpur untuk mengikuti konperensi ahli hukum seAsia. Ujian "doktor" di pengadilan Singapura itu pun selesai. Persidangan tampak masih akan panjang. Soal affidavit Dicky Turner, yang menyebutkan Ibnu tidak bisa datang, belum diputus hakim, apakah diterima atau ditolak. Sementara itu, kubu Kartika, akan menghadirkan saksi kunci, Kartika Ratna sendiri. Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini