Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Buntut undian harapan

Edina, 22, pelayan toko di Jatinegara, Jak-Tim, memenangkan undian harapan 120 juta Rp, tapi uangnya ditipu dan dikuasai Hendri Sihombing mertuanya sendiri. Hendri dijatuhi hukuman oleh PN. Jakpus.(krim)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN uang hadiah pertama undian harapan sebesar Rp 120 juta, kehidupan Hendri Sihombing mendadak berubah. Ia membeli tanah, kendaraan, dan bahkan mendirikan perusahaan. Tapi semua kekayaan itu ternyata tidak halal. Pekan lalu, ia dijatuhi hukuman 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti melakukan penggelapan. Menurut Hakim Srijati Santoso, hadiah undian harapan itu (diterima bersih Rp 96 juta) sebenarnya bukan hak Hendri, melainkan hak Edina, 22, menantunya sendiri. Edinalah, kata Hakim, yang sebenarnya memenangkan hadiah pertama. "Hukuman itu terlalu ringan. Apalagi dia pernah menculik saya," kata Edina, yang kini bekerja sebagai pelayan sebuah toko besar di Jatinegara, Jakarta Timur. Sakit hati wanita itu belum hilang terhadap perbuatan Hendri. Katanya, ia tak mengira bahwa Hendri mampu berbuat demikian karena, waktu itu, dirinya adalah calon menantu laki-laki tersebut. Pada Agustus 1982, tutur Edina, ia menghubungi pacarnya, Anton, yang tak lain anak Hendri, menyampaikan kabar gembira: kupon undian harapan yang dipegangnya memenangkan hadiah uang Rp 120 juta. Mereka bersama-sama menuju kantor Yayasan Bantuan Sosial untuk mengambil hadiah. Tapi kantor yayasan itu sudah tutup. Maka, keesokan harinya, Edina meminta jasa baik Hendri untuk mengambilkan hadiah. Ketika itu, Hendri mengaku sedang mengalami kesulitan uang. Karena itu, la menyampaikan niatnya hendak meminjam uang hadiah itu sekitar Rp 10 juta. Dan Edina setuju. Tapi, uang itu pula kemudian yang membuat hati Hendri bergoyang. Begitu hadiah dikantungi, Hendri tidak hanya mengambil Rp 10 juta sebagai pinjaman, tapi semuanya. Anton tidak setuju atas tindakan ayahnya itu. Lalu kedua sejoli tersebut mengadu ke LBH. Hendri tak kalah gesit. Suatu hari, hanya dengan pakaian daster dan sandal jepit, Edina, yang sedang hamil, "diculik" dan dibawa ke Medan. Di sana, ia disuruh menandatangani sepucuk surat, yang isinya mencabut pengaduan lewat LBH itu. Karena terpaksa, Edina menurut. Tapi sekembali dl Jakarta, dengan sokongan penuh dari Anton yang sudah resmi jadi suaminya, ia kembali menuntut haknya. Persoalan akhirnya sampai ke pengadilan, dan Hendri dihukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus