SERAUT wajah Kolonel Sri Roso Soedarmo, 53 tahun, tampak tegang. Sesekali tangan mantan bupati Bantul, Yogyakarta, itu gemetar tatkala memberi hormat kepada majelis hakim militer yang diketuai Kolonel Yamini. Sampai-sampai, pengacaranya, Letkol Zulkifli Djamalis, memohon agar majelis hakim memperkenankan terdakwa mengubah posisi dengan sikap istirahat.
Selasa pekan lalu, Sri Roso, yang masih perwira militer aktif, diadili di Mahkamah Militer Tinggi di Semarang. Oditur militer Kolonel Samuel Pangruruk mendakwanya dengan tuduhan menyuap Yayasan Dharmais, yang diketuai mantan presiden Soeharto, sebesar Rp 1 miliar. Dengan uang itu, menurut oditur, terdakwa berharap bisa tetap menjadi bupati Bantul untuk kedua kalinya.
Persidangan perkara yang dijaga ketat itu sangat menarik perhatian masyarakat. Itu bukan hanya lantaran Sri Roso memecahkan rekor sebagai perwira Tentara Nasional Indonesia pengemban jabatan sipil yang pertama diadili dalam kasus korupsi, tapi lebih karena perkara penguasa tertinggi di Kabupaten Bantul itu disebut-sebut berkaitan dengan kasus pembunuhan wartawan harian Bernas Yogyakarta, Fuad Mohammad Syafruddin alias Udin.
Sebagaimana diberitakan pada menjelang akhir 1996, Udin, yang dianiaya di rumahnya sendiri di Bantul, akhirnya tewas mengenaskan di rumah sakit, pada 13 Agustus 1996. Pembunuhan itu lantas menjadi kasus nasional yang serius. Namun, hingga kini, baik pelaku pembunuhan maupun motifnya masih misterius. Seorang pekerja biro iklan, Dwi Sumaji alias Iwik, sempat diadili dengan tuduhan sebagai pelakunya. Tapi pengadilan membebaskan Iwik karena ia dianggap tak berhubungan dengan kasus tersebut.
Belakangan, kematian Udin diduga berhubungan dengan pemberitaannya yang kritis tentang sepak terjang Bupati Sri Roso. Udin, misalnya, menulis soal dana instruksi presiden untuk desa tertinggal. Melalui berita Bernas edisi 29 Mei 1996, ia juga menulis dugaan adanya suap Rp 1 miliar dari Sri Roso untuk Yayasan Dharmais. Kesanggupan Sri Roso membayar dana sejumlah itu tertuang dalam surat bersegel tanggal 2 April 1996, yang ditandatangani Sri Roso.
Syahdan, untuk bisa menjadi bupati periode kedua dari 1996 sampai 2001, Sri Roso mengutus dua bawahannya ke paranormal Juwadi di Sleman. Juwadi kemudian bertapa di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Hasilnya, Jumadi mengaku memperoleh wangsit yang menyatakan bahwa Sri Roso bisa meraih jabatan itu lewat bantuan paranormal Eyang Kusuma Wijaya di Cirebon.
Untuk itu, dalam proses di Cirebon, Sri Roso diharuskan memberi sumbangan sebesar Rp 250 juta guna keperluan kebatinan. Selain itu, ia mesti memberi sumbangan sebesar Rp 1 miliar untuk Yayasan Dharmais. Untuk sumbangan pertama, lewat seorang utusan, Sri Roso baru memberikan Rp 5 juta. Sedangkan sumbangan kedua akan diurus oleh Atik Hadiningrat, yang mengaku kerabat dekat almarhumah Nyonya Tien Soeharto, dan Noto Soewito, Kepala Desa Argomulyo, Bantul, yang adik tiri Presiden Soeharto.
Rentetan modus itulah yang dinilai oditur bisa membuat Sri Roso terkena delik korupsi. Persoalannya, ternyata kisah yang disitir pada pemberitaan Udin sama sekali tak dikaitkan dengan peran Sri Roso pada kasus pembunuhan Udin. ''Soal kasus pembunuhan Udin itu urusan penyidik polisi militer. Saya hanya menerima perkara korupsi, suap, dan pelanggaran sumpah jabatan ini saja," kata oditur Kolonel Samuel Pangruruk.
Untuk perkara yang satu itu pun, Sri Roso mengaku tidak bersalah. ''Tuduhan oditur tidak benar," ujar lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1968 yang tak ditahan pada perkara tersebut. Pengacaranya, Letkol Zulkifli, menandaskan bahwa sumbangan Rp 1 miliar itu tak pernah terlaksana. ''Surat pernyataan sanggup memberi sumbangan yang diteken terdakwa dimaksudkan untuk membongkar akal busuk sindikat yang mencari keuntungan pribadi, dengan dalih bisa mengurus jabatan terdakwa," tutur Zulkifli.
Sindikat yang dimaksud, kata Zulkifli, adalah para saksi, termasuk tiga anak buah Sri Roso dan Atik serta Noto Soewito. Benar-tidaknya argumentasi itu tentu harus dibuktikan di pengadilan. Yang pasti, penggiringan perkara itu hanya pada masalah korupsi membuat kasus pembunuhan Udin semakin gelap.
Hp. S., Bandelan Amarudin, dan Koresponden Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini