SETELAH lama tak terdengar, rekaman pembicaraan telepon antara Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib mendadak bergema kembali di meja hijau. Namun, bukan skandal rekaman telepon itu yang diperkarakan, melainkan isi pembicaraannya yang dicuplik oleh Pengacara Mohamad Assegaf. Hal itu terjadi Selasa pekan lalu, ketika Assegaf menjadi koordinator tim penasihat hukum Arifin Panigoro di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Arifin, 54 tahun, pengusaha minyak yang getol mendukung gerakan mahasiswa pejuang reformasi, diadili dengan tuduhan seram, yakni korupsi Rp 1,8 triliun. Menurut dakwaan Jaksa Harun M. Husein, kerugian negara itu akibat penjualan 26 lembar surat utang atau promissory note (promes) oleh kelompok usaha Meta Epsi Duta Corporation (Medco) milik Arifin ke PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan anak perusahaan Jasindo, PT Rekasaran Utama.
Proses transaksi promes itu, kata jaksa, dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi keuangan Medco, yang sebetulnya sudah tidak mampu. Penjualannya juga secara langsung dari Medco ke Jasindo, tanpa melalui bank umum selaku arranger promes. Dan promes itu pun tak memenuhi syarat karena tak mencantumkan nama yang berhak menerima pembayaran.
Ketika surat utang itu jatuh tempo, Medco tak kunjung membayar kembali kepada Jasindo. Akibatnya, badan usaha milik negara itu menanggung rugi. Dan semua itu, seperti tercantum dalam dakwaan jaksa, berlangsung karena adanya kolusi Arifin sebagai komisaris utama Medco dan direksi Medco, termasuk adik Arifin, Hilmi Panigoro, dengan Direktur Utama Jasindo, Amir Imam Poera.
Di pengadilan, Assegaf langsung menangkis tuduhan jaksa dengan kutipan pembicaraan telepon antara Habibie dan Ghalib, yang kini dinonaktifkan sementara gara-gara dugaan kasus penyuapan. Assegaf mencuplik pertanyaan Habibie kepada Ghalib tentang perkembangan perkara Arifin. Sebab, Arifin dinilai semakin aktif mendanai demo-demo mahasiswa yang menentang Habibie.
Itulah yang membuat Assegaf merasa yakin bahwa perkara Arifin direkayasa Habibie, sesuai dengan cara-cara Orde Baru dalam menyingkirkan "musuh politik"-nya. Bisa disebutkan juga bahwa perkara Arifin ada muatan politiknya. "Ini konspirasi politik tingkat tinggi agar saya menjadi terdakwa," ujar Arifin, yang belakangan masuk PDI Perjuangan dan menjadi calon legislatif dari partai yang kini unggul dalam pemilu itu.
Persekongkolan itu diduga berlangsung dari Habibie ke Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara, Tanri Abeng, yang bertindak sebagai atasan langsung direksi Jasindo. "Berkali-kali Medco berusaha melunasi sisa utang yang tinggal setengah, yakni US$ 10 juta, tapi direksi Jasindo yang baru selalu menghambat, dengan alasan ada instruksi dari atasan," tutur Arifin. Direktur Utama Jasindo yang dimaksud adalah Bahder Munir Sjamsuddin, yang menggantikan Amir Imam Poera.
Walhasil, perkara Arifin, yang sebenarnya terhitung perdata, karena menyangkut wanprestasi utang-piutang, dikriminalisasi menjadi korupsi. Selain itu, "Arifin berstatus sebagai komisaris. Seharusnya direksi Medco atau direksi Jasindo dulu yang dimintai pertanggungjawaban hukum," ujar Assegaf.
Namun Jaksa Harun menganggap tuduhan korupsi itu sudah tepat. "Inisiatif penerbitan promes itu datang dari terdakwa Arifin," ujarnya. Adapun tentang Arifin diadili lebih dulu ketimbang terdakwa lain pada kasus tersebut, hal itu tak lain karena penyidikan perkaranya telah lebih dulu selesai. "Ada-tidaknya unsur politik pada perkaranya, itu bukan urusan jaksa," tambah Harun.
Sementara itu, juru bicara Tanri Abeng, Syofan Djalil, menepis pernyataan Arifin. "Tanri Abeng tak pernah memberikan instruksi, apalagi intervensi, dalam perkara Arifin dengan Jasindo. Itu urusan internal manajemen Jasindo," kata Syofan.
Bantahan senada juga diutarakan Bahder Munir. Menurut dia, tak benar utang Medco ke Jasindo hanya US$ 10 juta. Sejak promes Medco jatuh tempo pada pertengahan 1998, kelompok bisnis bidang perminyakan itu ngemplang utang US$ 207 juta ke Jasindo. Bahder menambahkan, justru pihaknya yang berkali-kali menagih, tapi Medco tak kunjung melunasi utang karena tak punya uang.
Bila persoalannya menyangkut utang, mestinya masih ada upaya gugatan perdata atau tuntutan pailit terhadap Medco. Arifin memang terhitung kelabu, terlebih bila menilik proses peradilannya yang cepat. Padahal, kasus korupsi mantan presiden Soeharto dan para konglomerat kroninya tak maju-maju. Begitu pula perkara bankir yang membobol kredit likuiditas Bank Indonesia, kasus Freeport, dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja, proyek Pertamina di Balongan, ataupun surat utang Bank Pacific. Jadi, isu muatan politik itu mungkin ada juga benarnya.
Happy S. dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini