Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menghadang Mega, Menyiasati UUD

DPR hendak mengegolkan Rancangan Undang-Undang Kepresidenan, kendati waktunya mepet. Perangkat hukum itu bisa mengganjal Megawati atau Amien Rais.

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA menjegal Megawati rupanya semakin gencar. Sejak beberapa waktu lalu, Ketua PDI Perjuangan itu memang bertubi-tubi diterpa isu, baik isu agama, gender, maupun kemungkinan lemahnya dukungan suara di MPR. Tapi kali ini putri almarhum Bung Karno itu bisa terpukul telak akibat adanya syarat pendidikan minimal sarjana bagi calon presiden. Syarat yang cocok untuk rekrutmen karyawan perusahaan swasta ini tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Kepresidenan yang disusun pemerintahan B.J. Habibie. Syarat lainnya pada rancangan yang disodorkan Departemen Dalam Negeri itu adalah calon presiden harus berusia 35 tahun. Rancangan Undang-Undang Kepresidenan ternyata juga disiapkan oleh DPR, yang masa kerjanya tinggal sekitar dua bulan lagi. Pada rancangan yang terus dikampanyekan DPR itu, calon presiden mesti orang Indonesia asli dan berumur 40 tahun. Adapun syarat pendidikan lebih lunak: sang calon cukup sekolah menengah umum. Namun, di situ disebutkan juga bahwa orang yang hendak dipilih MPR sebagai presiden harus menyandang pengalaman di bidang kenegaraan. Pengalaman itu bisa berupa pengalaman sebagai presiden, sebagai anggota kabinet, atau anggota DPR. Syarat begitu tentu bisa menonjok Amien Rais, Ketua Partai Amanat Nasional, yang belum pernah menjadi anggota DPR ataupun duduk di kabinet. Baik Wakil Ketua DPR Hari Sabarno maupun Lukman Hakiem, anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, menyatakan bahwa rencana aturan tentang presiden itu tak diniatkan untuk menjegal calon presiden tertentu—maksudnya Megawati. "Ketentuan itu dimaksudkan untuk membuka wacana publik tentang sistem dan lembaga kepresidenan yang amat strategis dan besar wewenangnya. Bukan untuk mempersoalkan siapa presidennya," kata Hari Sabarno. Lagi pula, tambah Lukman Hakiem, naskah akademis aturan itu sudah digodok DPR sejak 1997. Apa pun dalihnya, diskursus calon undang-undang itu kini menjadi bahan gunjingan politik. Orang lantas menghubungkan rancangan undang-undang itu dengan manuver politik jangka pendek yang menguntungkan Golkar. Soalnya, Golkar menjagokan Presiden B.J. Habibie, yang dianggap bisa memenuhi segala persyaratan calon presiden mendatang. Namun, yang lebih penting, persyaratan untuk menjadi presiden merupakan hal yang bersifat fundamental dan terhitung sebagai materi muatan konstitusi (UUD). Itu berarti soal tersebut tidak tepat bila dirumuskan pada undang-undang produk DPR. "Lembaga kepresidenan hanya bisa diatur dengan UUD, yang dibuat MPR," ujar ahli hukum tata negara di Bandung, Sri Soemantri. Prinsip konstitusionalisme itu juga dipraktekkan di banyak negara, umpamanya di India atau di Amerika Serikat. Di Indonesia, sayangnya, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 hanya memuat syarat calon presiden secara singkat, yakni orang Indonesia asli. Adapun pada UUD Republik Indonesia Serikat tahun 1949, ketentuan itu lebih lengkap, yakni orang Indonesia, berusia 30 tahun, dan berhak memilih ataupun dipilih. Lantas pada UUD Sementara tahun 1950, syarat orang Indonesia diubah menjadi warga negara Indonesia. Mestinya, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 itu yang diganti atau diubah (amandemen), bukannya diterpedo dengan undang-undang yang kedudukannya lebih rendah dari ketetapan MPR, apalagi dibandingkan dengan UUD. Memang, upaya memperbaiki Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) tentang pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR pernah dilakukan semasa Orde Baru, melalui Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1973. Namun, upaya amandemen UUD 1945 dengan ketetapan MPR juga tidak tepat. "Pengaturan dengan ketetapan MPR itu cacat hukum. Sebab, ketetapan MPR lebih rendah daripada UUD 1945," tutur pakar hukum tata negara di Jakarta, Harun Alrasyid. Ironisnya, berbagai masalah yang "bolong" pada UUD 1945, entah masa jabatan presiden, pemilihan umum, ataupun hak asasi manusia, tetap diatur dengan ketetapan MPR. Haruskah kekisruhan hukum tata negara ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Kepresidenan? Banyak pihak, termasuk Menteri Kehakiman Muladi, juga menolak secara halus kehadiran undang-undang itu. Menurut mereka, sebaiknya DPR sekarang, yang legitimasinya dipertanyakan, tak memaksakan diri untuk membahasnya. Apalagi DPR yang masa tugasnya selesai pada akhir Agustus nanti masih sibuk menggarap 12 rancangan undang-undang yang lain. Happy Sulistyadi, Arif A. Kuswardono, Hendriko L. Wiremmer, dan Rinny Srihartini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus