Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampangnya khas Aceh pesisir.Berkulit cokelat tua. Hidung mancung. Rambut ikal. Saiful Syamsudin namanya. Dia mengaku berasal dari negeri Serambi Mekah,tapi nuansa Padang dalam logatnya membuat orang setempat bisa menebak dia adalah Aneuk Jamee, kaum pendatang yang hidup di pantai selatan provinsi itu.
Saiful, 42 tahun, lahir di Desa Air Berudang, Tapak Tuan, Aceh Selatan. Kawasan itu dikenal sebagai daerah Aneuk Jamee. Buyut mereka datang dari Padang. Anak sulung dari delapanbersaudara ini lahir dari pasanganSyamsuddin Balu dan Syamsiar Ali. Ayahnya pedagang pala yang berada. Saiful memperistri Cut Rosana Ariani, putri bangsawan dari Buloh Blang Ara, Makmur, Aceh Utara.
Teuku Hamzah Risjad, mertua Saiful, seorang ulee balang sekaligus hartawan lama. Hamzah mewarisi tanah yang luas, kini tersisa 200 hektare. Kepada Saiful, Hamzah menyerahkan pengelolaan PT Banda Kersa, perusahaan keluarga yang bergerak di bidang kontraktor, peternakan, dan agroindustri. Alhasil, Saiful yang cuma polisi berpangkat brigadir kepala itu berkantong pengusaha.
Tapi kekayaan itu kini tak berjejaklagi pada diri Saiful. Dia tinggal di rumah kos gratis di kawasan Jakarta Pusat, dan tidur di kasur beralas tikar tanpa dipan. Di pintu masuk kamarnya berjejer tujuh pasang sepatu yang solnya sudah aus dan miring. Setiap hari dia berupaya mencari uang Rp 12 ribu untuk keperluan makan. Entah kiriman dari kampung atau belas kasihan teman-temannya.
Kisah keterpurukan Saiful benihnya11 tahun lalu. Kala itu, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh membutuhkan lahanuntuk membangun markas Brigadir Mobil di Aceh Utara pada 1995. Kolonel Suwahyu yang memimpin Polda Aceh ketika itu.
Saat mencari lahan untuk markas,Kepala Direktorat Logistik Polda Acehmasa itu dijabat oleh Letnan Kolonel Ramli Arsyadmemanggil Saiful. Dia menyampaikan kebutuhan mereka.Seorang pejabat di lingkungan Polda kemudian berkata kepadanya: ”Mertuamu kan banyak tanah, Ful. Tolong berikan 10 hektare untuk polisi,” kata Saiful, menirukan ucapan si pejabat, kepada Tempo.
Tapi Saiful tak mau penyerahan tanahitu gratis. Dia bertanya kepada si pejabat.”Saya bertanya apa ketentuannya. Dijawab, proyek pembangunan itu akan diserahkan kepada saya,” Saiful melanjutkan. Kata sepakat dicapai. Terbitlah perjanjian yang diteken oleh Kepala PoldaAceh, Kolonel Suwahyu dan Teuku Hamzah Risjad, mertua Saiful. Kerja sama tersebut dibuhul pada 11 Desember 1996seperti tercantum dalam sejumlah dokumen yang kini ada di tangan Tempo.
Kenyataannya? Proyek tak jatuh ke tangan Hamzah. Belakangan keluarga Saiful diberi kompensasi proyek lain, yaitu pembangunan asrama Polri di Lancang Garam, Lhokseumawe, Aceh Utara dan Blang Keujren, Aceh Tenggara, pada 1999.
Setelah proyek selesai, Saiful menerima surat pemecatan. Dalam dokumenyang diperoleh Tempo, surat pemecatanitu diteken Kepala Polri Jenderal Bimantoro pada Maret 2000. ”Saya tak tahu apa kesalahan saya,” katanya. Empatbulan kemudian, surat pemecatan ditarik. Saiful dimutasi ke Polres Aceh Besar, tapi tanpa tugas yang jelas. ”Bahkan saya tak menerima gaji,” katanya.
Sejak itulah, Saiful memperjuangkan nasibnya yang terkatung-katung di kepolisian. Dia juga menuntut ganti rugi atas tanah milik keluarganya. Lima tahun upaya dia menempuh penyelesaian kasusnya di Aceh tak membuahkan hasil. Di penghujung 2005, dia terbang ke Jakarta dengan harapan kasusnya beres di Mabes Polri.
Setiba di Jakarta, mula-mula dia menginap di Hotel Sari Pan Pacific di kawasan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Biaya hidupnya Rp 2 juta per hari. Itu tidak jadi soal karena, katanya, ”Keluarga membekali saya dengan banyak uang.” Dia lupa jumlahnya. ”Termasukbiaya melobi sejumlah pejabat yang dapat membantu saya.”
Dua bulan di hotel bintang lima, Saiful pindah kelas ke Hotel Grand Melia, Kuningan. Dari situ dia turun ke Hotel Citra di Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, lalu melorot ke Wisma Haji di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Belakangan ada temannya yang membantunya menginap gratis.
Kantong Saiful kini cekak benar. Untuk biaya makan Rp 12 ribu per hari saja dia harus bersandar pada bantuan teman-temannya. Hampir setiap hari dia berjalan kaki dari kamarnya di Jakarta Pusat ke Mabes Polri di Jakarta Selatan untuk mengurus perkaranya.
Dari tujuh pasang sepatunya yang telah miring solnya itu, hanya dua yang bisa dipakai. Toh, dia belum berniatpulang kampung. ”Sampai Kapolri (Jenderal Sutanto) mengganti rugi tanah saya atau menangkap orang yang merugikan saya,” dia menegaskan.
Di balik bilik yang ditempatinya kini, Saiful terkenang-kenang akan masa kecilnya yang indah. Dia teringat kala berlari-lari di pasir putih di tepi pantai kota tempat dia dilahirkan. Ayahnya, Syamsuddin, sebenarnya lebih suka Saiful meneruskan bisnisnya berdagang pala. Itulah sebabnya dia disekolahkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) di Tapak Tuan. ”Agar pintar dagang,” katanya.
Sebagai orang berpunya, Syamsuddin mampu mengirim anaknya ke perguruan tinggi. Saiful diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada 1984.
Namun, Saiful lebih suka jadi polisi. Dia terpengaruh oleh dua sosok dalam film seri yang kerap ditontonnya di TVRI, Hunter dan Chips. Saiful terpikat pada sosok detektif Rick Hunter (diperankan oleh Fred Dryer), bintang serial Hunter. Dia juga kagum pada sosok Erik Estrada yang memerankan polisi Frank ”Ponch” Poncherello yang simpatik dalam Chips. ”Maka saya pun bercita-cita menjadi penegak hukum,” katanya.
Bangku kuliah dia tinggalkan dan anak juragan pala ini melamar masuk pendidikan kepolisian. Lulus dengan pangkat sersan dua pada 1986, Saiful menjadi polisi lalu lintas di Kepolisian Daerah Aceh. Kendati tak memakai motor besar, dia sudah merasa mirip Ponch.
Dua tahun kemudian dia menjadi intel di Kepolisian Resor Aceh Tenggara. Kali ini, Saiful mengaku seakan menjadi Rick Hunter. Selang setahun, ”Rick Hunter” ditarik menjadi reserse di Polres Aceh Utara. Di tengah tugas menguber bandit, dia terpincut Cut Rosana Ariani, adik kelasnya di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Melamar Rosana bukan urusan gampang jika cuma mengandalkan pangkatbintara. Tapi semua itu bukan halangan bagi Saiful karena dia memang anak orang berada. Syaiful menyunting Rosana pada 1991. Kini mereka dikaruniai empat anak.
Paduan ayah yang pengusaha dan bermertuakan bangsawan membuat kantong Saiful tebal mirip pengusahabahkan di masa dia masih seorang bintara. Sejumlah koleganya di kepolisian menyebut Saiful polisi jumawa yang senang pamer harta. ”Teman-temannya bilang, dia sombong sekali,” kata Inspektur Jenderal Bahrumsyah, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, kepada Tempo.
Tampaknya pertempuran sang Bintara melawan sejumlah jenderal itu masih akan panjang.
Nurlis E. Meuko, dan Maria Hasugian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo