Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bintara dari Negeri Pala

Ini kisah seorang bintara kaya asal Aceh yang terpuruk karena berurusan dengan sejumlah jenderal.

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tampangnya khas Aceh pesisir.Berkulit cokelat tua. Hidung mancung. Rambut ikal. Saiful Syamsudin namanya. Dia mengaku ber­asal dari negeri Serambi Mekah,tapi nuansa Padang dalam logatnya membuat orang setempat bisa menebak dia adalah Aneuk Jamee, kaum pendatang yang hidup di pantai selatan provinsi itu.

Saiful, 42 tahun, lahir di Desa Air Berudang, Tapak Tuan, Aceh Selatan. Kawasan itu dikenal sebagai daerah ­Aneuk Jamee. Buyut mereka datang da­ri Padang. Anak sulung dari delapanbersaudara ini lahir dari pasangan­Syamsuddin Balu dan Syamsiar Ali. Ayah­nya pedagang pala yang berada. Saiful memperistri Cut Rosana Ariani, putri bangsawan dari Buloh Blang Ara, Makmur, Aceh Utara.

Teuku Hamzah Risjad, mertua Saiful, seorang ulee balang sekaligus hartawan lama. Hamzah mewarisi tanah yang luas, kini tersisa 200 hektare. Kepada Saiful, Hamzah menyerahkan pengelolaan PT Banda Kersa, perusahaan keluarga yang bergerak di bidang kontraktor, peternakan, dan agroindustri. Alhasil, Saiful yang cuma polisi berpangkat brigadir kepala itu berkantong pengusaha.

Tapi kekayaan itu kini tak berjejaklagi pada diri Saiful. Dia tinggal di rumah kos gratis di kawasan Jakarta Pusat, dan tidur di kasur beralas tikar tanpa dipan. Di pintu masuk kamarnya berjejer tujuh pasang sepatu yang solnya sudah aus dan miring. Setiap hari dia berupaya mencari uang Rp 12 ribu untuk keperluan makan. Entah kiriman dari kampung atau belas kasihan teman-temannya.

Kisah keterpurukan Saiful benihnya11 tahun lalu. Kala itu, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh membutuhkan lahanuntuk membangun markas Brigadir ­Mobil di Aceh Utara pada 1995. Kolonel Suwahyu yang memimpin Polda Aceh ketika itu.

Saat mencari lahan untuk markas,Kepala Direktorat Logistik Polda Aceh­­masa itu dijabat oleh Letnan Ko­lo­nel Ramli Arsyadmemanggil Saiful. Dia menyampaikan kebutuhan mereka.Seorang pejabat di lingkungan Polda ­kemudian berkata kepadanya: ”Mertua­mu kan banyak tanah, Ful. Tolong be­ri­kan 10 hektare untuk polisi,” kata Sai­ful, menirukan ucapan si pejabat, kepada Tempo.

Tapi Saiful tak mau penyerahan tanahitu gratis. Dia bertanya kepada si pejabat.”Saya bertanya apa ketentuannya. Dijawab, proyek pembangunan itu akan di­serahkan kepada saya,” Saiful melanjut­kan. Kata sepakat dicapai. Terbitlah per­janjian yang diteken oleh Kepala PoldaAceh, Kolonel Suwahyu dan Teuku Hamzah Risjad, mertua Saiful. Kerja sama tersebut dibuhul pada 11 Desember 1996seperti tercantum dalam sejumlah dokumen yang kini ada di tangan Tempo.

Kenyataannya? Proyek tak jatuh ke tangan Hamzah. Belakangan keluarga Saiful diberi kompensasi proyek lain, yaitu pembangunan asrama Polri di Lancang Garam, Lhokseumawe, Aceh Utara dan Blang Keujren, Aceh Tengga­ra, pada 1999.

Setelah proyek selesai, Saiful mene­rima surat pemecatan. Dalam dokumenyang diperoleh Tempo, surat pemecatanitu diteken Kepala Polri Jenderal Bi­mantoro pada Maret 2000. ”Saya tak tahu apa kesalahan saya,” katanya. Em­patbulan kemudian, surat pemecatan ditarik. Saiful dimutasi ke Polres Aceh Besar, tapi tanpa tugas yang jelas. ”Bahkan saya tak menerima gaji,” katanya.

Sejak itulah, Saiful memperjuangkan nasibnya yang terkatung-katung di kepolisian. Dia juga menuntut ganti rugi atas tanah milik keluarganya. Lima tahun upaya dia menempuh penyelesaian kasusnya di Aceh tak membuahkan hasil. Di penghujung 2005, dia terbang ke Jakarta dengan harapan kasusnya beres di Mabes Polri.

Setiba di Jakarta, mula-mula dia me­nginap di Hotel Sari Pan Pacific di kawasan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Biaya hidupnya Rp 2 juta per hari. Itu tidak jadi soal karena, katanya, ”Keluarga membekali saya dengan banyak uang.” Dia lupa jumlahnya. ”Termasukbiaya melobi sejumlah pejabat yang dapat membantu saya.”

Dua bulan di hotel bintang lima, Saiful pindah kelas ke Hotel Grand Melia, Kuningan. Dari situ dia turun ke Hotel Citra di Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, lalu melorot ke Wisma Haji di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Belakangan ada temannya yang membantunya me­nginap gratis.

Kantong Saiful kini cekak benar. Untuk biaya makan Rp 12 ribu per hari saja dia harus bersandar pada bantuan teman­-temannya. Hampir setiap hari dia berjalan kaki dari kamarnya di Jakarta Pusat ke Mabes Polri di Jakarta Selatan untuk mengurus perkaranya.

Dari tujuh pasang sepatunya yang telah miring solnya itu, hanya dua yang bisa dipakai. Toh, dia belum berniat­pulang kampung. ”Sampai Kapolri (Jen­deral Sutanto) mengganti rugi tanah saya atau menangkap orang yang me­rugikan saya,” dia menegaskan.

Di balik bilik yang ditempatinya kini, Saiful terkenang-kenang akan masa ke­cilnya yang indah. Dia teringat kala berlari-lari di pasir putih di tepi pantai kota tempat dia dilahirkan. Ayah­nya, Syam­suddin, sebenarnya lebih suka Saiful meneruskan bisnisnya berdagang pala. Itulah sebabnya dia disekolahkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) di Tapak Tuan. ”Agar pintar dagang,” katanya.

Sebagai orang berpunya, Syamsuddin mampu mengirim anaknya ke perguruan tinggi. Saiful diterima di Fakultas Eko­nomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada 1984.

Namun, Saiful lebih suka jadi polisi. Dia terpengaruh oleh dua sosok dalam film seri yang kerap ditontonnya di TVRI, Hunter dan Chips. Saiful terpikat pada sosok detektif Rick Hunter (diperankan oleh Fred Dryer), bintang serial Hunter. Dia juga kagum pada sosok Erik Estrada yang memerankan polisi Frank ”Ponch” Poncherello yang simpatik dalam Chips. ”Maka saya pun bercita-cita menjadi penegak hukum,” katanya.

Bangku kuliah dia tinggalkan dan anak juragan pala ini melamar masuk pendidikan kepolisian. Lulus dengan pangkat sersan dua pada 1986, Saiful menjadi polisi lalu lintas di Kepolisian Daerah Aceh. Kendati tak memakai motor besar, dia sudah merasa mirip Ponch.

Dua tahun kemudian dia menjadi in­tel di Kepolisian Resor Aceh Tenggara. Ka­li ini, Saiful mengaku seakan menjadi Rick Hunter. Selang setahun, ”Rick Hunter” ditarik menjadi reserse di Pol­res Aceh Utara. Di tengah tugas ­mengu­ber bandit, dia terpincut Cut Rosana Aria­ni, adik kelasnya di Fakultas Ekonomi ­Universitas Syiah Kuala.

Melamar Rosana bukan urusan gampang jika cuma mengandalkan pangkatbintara. Tapi semua itu bukan halang­an bagi Saiful karena dia memang anak orang berada. Syaiful menyunting Ro­sana pada 1991. Kini mereka dikaruniai empat anak.

Paduan ayah yang pengusaha dan bermertuakan bangsawan membuat kan­tong Saiful tebal mirip pengusahabahkan di masa dia masih seorang bintara. Sejumlah koleganya di kepolisian menyebut Saiful polisi jumawa yang senang pamer harta. ”Teman-temannya bilang, dia sombong sekali,” kata Inspek­tur Jenderal Bahrumsyah, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, kepada Tempo.

Tampaknya pertempuran sang Bin­tara melawan sejumlah jenderal itu masih akan panjang.

Nurlis E. Meuko, dan Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus