Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROFESOR Achmad Ali terbang ke Jakarta, Selasa pekan lalu, untuk mengadukan nasibnya yang malang. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar ini memang sedang tersandung masalah: ia diduga menyelewengkan dana program pascasarjana Rp 250 juta. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan bahkan sudah menetapkannya sebagai tersangka.
Pada Rabu lalu, Achmad yang juga anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu datang ke kantornya sendiri, Komnas HAM. Tapi ada yang berbeda. ”Saya ke sini sebagai manusia biasa yang hak asasinya terlanggar,” ujarnya. Sehari kemudian, ia mengunjungi DPR. Kepada Komisi Hukum ia mengadukan nasibnya. ”Mereka mendukung saya,” ujarnya.
Kasus korupsi yang dituduhkan kepada Achmad bermula dari laporan mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) yang tergabung dalam Gerakan Radikal Tindak Pidana Korupsi (Garda Tipikor) ke kejaksaan tinggi. Berbekal laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Garda meminta kejaksaan memeriksa Abdul Razak, dekan Fakultas Hukum Unhas periode 2002-2004.
Satu bulan kemudian kejaksaan turun tangan. Dari penyelidikan, ditemukan penyimpangan dalam penerimaan negara bukan pajak pada program pascasarjana nonreguler Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin periode 2002-2004. ”Negara dirugikan,” kata Masyhudi Ridwan, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, kepada Tempo.
Menurut Masyhudi, Rektor Unhas telah menetapkan pembayaran program pascasarjana Fakultas Hukum Rp 3,5 juta. Tapi, prakteknya, Fakultas memungut Rp 4 juta. Lalu ada lagi tambahan biaya registrasi Rp 100 ribu, uang ujian masuk Rp 250 ribu, dan uang pendaftaran Rp 100 ribu. Dihitung-hitung, jumlah uang akibat praktek menyimpang ini sekitar Rp 562 juta.
Pada Juni lalu, Abdul Razak pun ditetapkan sebagai tersangka. Ketika diperiksa tim penyidik, Abdul ”berkicau”. Ia menyatakan, yang dilakukannya hanyalah meneruskan ”tradisi” yang telah dilakukan dekan periode sebelumnya. Siapa dekan itu? Ya, Achmad Ali, dekan Fakultas Hukum periode 1994-2001
Berbekal keterangan Razak, kejaksaan pun mengubek-ubek dokumen keuangan program pascasarjana nonreguler Fakultas Hukum Unhas periode 1999-2001. Satu bulan setelah penetapan Abdul Razak sebagai tersangka, Achmad dipanggil sebagai saksi. ”Waktu itu saya hanya ditanya proses pembentukan program pascasarjana,” ujar Achmad. Soal pembayaran program pascasarjana, Achmad mengaku tak tahu-menahu. ”Zaman saya, Fakultas Hukum dan program pascasarjana dipisah. Program pascasarjana ditangani langsung ketua programnya, Rusli Effendi,” kata Achmad.
Adapun Rusli Effendi kepada Tempo mengaku tidak pernah ikut campur menetapkan besarnya biaya program pascasarjana yang kini jadi persoalan itu. ”Rektor yang menentukan, saya hanya mengatur hal yang berkaitan dengan kurikulum dan belajar-mengajar,” ujarnya.
Meski kepada jaksa Achmad berkeras mengatakan pungutan itu bukan tanggung jawabnya, keterangannya tak banyak membantu. Pada 20 September lalu kejaksaan menetapkannya sebagai tersangka. ”Keterangan saksi dan dokumen itu sudah cukup untuk menetapkan Achmad Ali sebagai status tersangka,” ujar Masyhudi. Dokumen yang dimaksud, surat Rektor Universitas Hasanuddin dan surat yang dikeluarkan Achmad sendiri.
Achmad diduga menyelewengkan dana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam program pascasarjana periode 1999-2001. Perbuatannya itu, menurut Masyhudi, membuat negara rugi Rp 127 juta lebih. Ada tuduhan lain. Pakar hukum pidana ini diduga juga menyelewengkan uang muka kerja (UMK) yang bersumber dari program S1 reguler, S1 ekstensi, dan S2 nonreguler. Uang tersebut, jumlahnya sekitar Rp 122 juta, dipakai Achmad untuk biaya perjalanan dinas. Jadi, total kerugian negara Rp 250 juta.
Tuduhan ini membuat Ali terperangah. Menurut dia, masalah biaya perjalanan dinas dan uang lungsum buat para dosen sudah ia pertanggungjawabkan kepada tim verifikasi universitas. ”Tuduhan ini mengada-ada,” kata Ali.
Masyhudi membantah mencari-cari kesalahan Ali. Menurut kepala kejaksaan tinggi ini, pihaknya memiliki bukti, termasuk dokumen surat dari Abdul Razak, yang kuat untuk membawa Achmad ke pengadilan. ”Tidak mungkin kami mengajukan dia tanpa bukti,” ujarnya.
Masyhudi juga membantah kabar yang menyebut penetapan sebagai tersangka itu ”titipan” dari Jakarta. ”Ah, tidak ada titipan,” katanya. Suara senada dikeluarkan juru bicara Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suartha. Suartha membantah ada muatan politis dalam penetapan Achmad, yang kini calon hakim agung itu, sebagai tersangka. ”Semua sesuai prosedur,” ujarnya.
Kendati Achmad menyandang status tersangka, Komisi Yudisial tidak buru-buru mencoret namanya dari daftar calon hakim agung. Menurut Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, status tersangka tidak menggugurkan pencalonan Ali sebagai hakim agung. ”Tidak ada undang-undang yang menentukan hal itu,” katanya. Kecuali, kata Busyro, jika Achmad dipidana minimal lima tahun. ”Itu pun harus berkekuatan hukum tetap.”
Poernomo Gontha Ridho, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo