Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MAKI menilai capim dan cadewas KPK yang terpilih di era Presiden Jokowi inkonstitusional.
Karena itu, mereka meminta Presiden Prabowo Subianto segera membentuk panitia seleksi untuk menghasilkan capim dan cadewas KPK baru.
Namun waktu yang tersisa hanya dua bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK saat ini berakhir.
PERKUMPULAN Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat tak melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2024-2029. MAKI juga meminta Presiden Prabowo Subianto segera membentuk panitia seleksi untuk memilih capim dan cadewas yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyatakan akan mengirim surat kepada Prabowo untuk meminta sang presiden segera membentuk panitia seleksi guna menyeleksi capim dan cadewas baru. "Baru siang nanti dikirim setelah sidang," ujar Boyamin kepada Tempo lewat pesan teks pada Senin, 21 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boyamin menyebutkan pansel capim dan cadewas KPK seharusnya tidak dibentuk oleh Joko Widodo, melainkan oleh Prabowo. Hal itu, menurut dia, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Merujuk pada putusan yang mengubah masa jabatan pimpinan dan Dewas KPK dari empat tahun menjadi lima tahun itu, Boyamin mengatakan presiden dan DPR dalam satu periode hanya boleh memilih satu periode pimpinan KPK.
Rujukan Boyamin tersebut terdapat dalam bagian pertimbangan putusan MK. Bunyinya, "Namun, jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun, seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh presiden dan DPR periode 2019-2024, yaitu pada Desember 2019, sedangkan seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK periode 2024-2029 akan dilakukan oleh presiden dan DPR periode berikutnya.”
Boyamin menyebutkan putusan MK sudah melebur menjadi bagian tidak terpisahkan dalam UU KPK, termasuk rekrutmen pimpinan dan dewan pengawas melalui panitia seleksi. "Jika tidak patuh pada putusan MK, sama dengan melanggar UU KPK."
Dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, sepakat dengan Boyamin. Dia menilai proses pemilihan capim KPK 2024-2029 oleh pemerintahan Jokowi bertentangan dengan ketentuan dalam putusan MK. "Jika diteruskan, selain inkonstitusional, proses tersebut bisa membahayakan legalitas semua keputusan yang kelak diambil pimpinan terpilih," ucap Bivitri saat dihubungi secara terpisah.
Ia mengatakan putusan MK bersifat umum final dan mengikat. Jokowi sebelumnya bahkan menindaklanjuti putusan itu dengan memperpanjang masa jabatan pimpinan saat ini, dari Desember 2023 menjadi Desember 2024. "Sayangnya, pemerintahan Jokowi tidak mengikuti klausul dalam pertimbangan putusan tersebut ketika menentukan calon pimpinan KPK periode lima tahun ke depan," tuturnya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, juga berpendapat sama. Menurut dia, capim dan cadewas KPK periode 2024-2029 seharusnya diproses oleh pansel di era Prabowo. Kendati demikian, ia menyebutkan alasan MAKI kurang tepat karena Putusan MK Nomor 112 sebenarnya mengatur masa jabatan KPK. "Nah, yang paling benar adalah, sederhana saja, jika Presiden Jokowi yang memilih, dia sudah tiga kali menentukan pimpinan KPK," kata Feri saat dihubungi secara terpisah kemarin.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Jokowi memang tercatat tiga kali membentuk panitia seleksi untuk memilih capim dan cadewas KPK dalam dua periode pemerintahannya, yaitu pada 2015, 2019, dan 2024. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sama-sama memerintah selama 10 tahun, hanya melakukannya dua kali. "Apalagi yang akan bekerja sama dengan pimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi adalah presiden terpilih. Jadi tentu saja sebaiknya presiden terpilih yang menentukannya," ujar Feri.
Pendapat Feri itu diamini oleh eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana. Denny menilai sudah sepatutnya Presiden Prabowo yang memproses pemilihan capim dan cadewas KPK periode KPK 2024-2029 karena dialah yang akan bekerja bersama dalam lima tahun ke depan. "Sesuai dengan putusan MK, pimpinan KPK tidak boleh dipilih untuk kedua kalinya oleh presiden yang sama," ucapnya lewat pesan suara.
Ketiganya pun sepakat soal perlunya seleksi ulang capim dan cadewas KPK. Feri Amsari menyatakan Prabowo bisa saja menarik nama-nama yang sudah diajukan Jokowi ke DPR sebelumnya. "Kan presiden terpilih bisa mengajukan surat keberatan," ujarnya.
Celah Aturan dalam UU KPK
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Nur Ramadhan, menilai persoalan apakah capim dan cadewas KPK era Jokowi konstitusional atau inkonstitusional sangat mungkin diperdebatkan. Di satu sisi, menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi memang menyatakan seorang presiden hanya bisa menyeleksi pimpinan KPK satu kali dalam satu periode. Namun, di sisi lain, mepetnya waktu pelantikan Prabowo sebagai presiden dengan akhir masa jabatan pimpinan KPK saat ini membuat Jokowi harus membentuk pansel agar tak terjadi kekosongan kepemimpinan di lembaga antirasuah.
Prabowo baru secara resmi menjabat Presiden Indonesia ke-8 setelah dilantik pada Ahad, 20 Oktober 2024, sedangkan masa jabatan para pemimpin KPK saat ini berakhir pada 20 Desember 2024. "Jadi pelaksanaan seleksi itu apakah memungkinkan dilakukan dari 20 Oktober ke 20 Desember?" kata Ramadhan lewat sambungan telepon kemarin.
Apalagi, ia menyebutkan, dalam putusan MK tidak ada aturan lebih lanjut yang mengatur konsekuensi logis dari perpanjangan masa jabatan pimpinan dan Dewan Pengawas KPK. "Nah, itu yang kemudian jadi ruang kosong juga," tuturnya.
Ramadhan pun menyatakan selama ini terjadi kekosongan aturan soal waktu pembentukan pansel KPK. Tak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang KPK yang menyebutkan secara pasti batas waktu pembentukan pansel sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir. Hal itu, menurut dia, berbeda dengan pengisian jabatan di lembaga negara lain.
Ramadhan mencontohkan aturan seleksi untuk komisioner Komisi Pemilihan Umum. Undang-Undang Pemilu jelas menyatakan presiden harus membentuk panitia seleksi paling lama enam bulan sebelum masa jabatan komisioner KPU berakhir. Aturan yang sama tak ada dalam UU KPK. "Memang ketiadaan norma itu membuat semua prosedurnya jadi tidak jelas," ucap Ramadhan.
Boyamin Saiman tak menampik bahwa tidak ada aturan waktu konkret soal pembentukan pansel KPK. Merujuk pada praktik sebelumnya, dia menyebutkan seleksi capim dan cadewas KPK bisa dilakukan minimal tiga bulan sebelum masa jabatan pimpinan yang bertugas habis. "Kalau dulu boleh kapan pun, dengan perkiraan waktu tiga bulan sebelum masa jabatan berakhir," ujarnya.
Meski pelantikan Presiden Prabowo dengan masa akhir jabatan pimpinan KPK hanya berjarak dua bulan, Boyamin yakin seleksi ulang capim dan cadewas KPK masih sangat mungkin dilakukan. Menurut dia, jika Prabowo membentuk pansel dengan cepat, proses pemilihan bisa dilakukan hingga akhir November sehingga DPR bisa memilih pada Desember 2024. "Masih ada cukup waktu," kata Boyamin.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tak berkomentar banyak soal desakan MAKI agar pihaknya tak menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap capim serta cadewas yang terpilih di era Jokowi. Dia justru mempertanyakan dasar hukum seleksi ulang capim dan cadewas tersebut. "Seleksi ulang itu mekanismenya diatur oleh putusan MK enggak? Gimana caranya?" kata Dasco kepada Tempo kemarin. Politikus Partai Gerindra itu juga mengaku belum tahu apakah nama capim dan cadewas tersebut sudah masuk ke meja DPR. "Karena kesibukan-kesibukan kemarin, belum mengecek surat-surat masuk ke pimpinan DPR."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo