Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA proses tahapan tes pe-nilaian profil atau profile assessment baru saja dimulai, sejumlah peserta seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi langsung melayangkan protes kepada penyelenggara. Mendadak sontak suasana di Aula Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, pada Kamis pagi, 8 Agustus lalu, menjadi gaduh. Mereka mempertanyakan kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK kenapa tahapan seleksi kali ini kembali mengerjakan tes psikologi. Bahan ujiannya pun serupa dengan tes psikologi yang digelar sebelumnya.
Karena suasana riuh, salah satu perwa-kilan lembaga yang digandeng Panitia Seleksi untuk menggelar tahapan tes tersebut, PT ARA Indonesia, menjelaskan alas-an mereka mengulang tes psikologi. Setelah mendapat penjelasan dari assessor, peserta kemudian mulai mengerjakan tes sembari menggerutu karena harus mengulang hal yang sama. “Ada satu tes yang menurut ARA penting untuk diulang karena assessor sebelumnya, TNI AD, hanya memberikan skala penilaian, sementara yang mereka butuhkan skor mentahnya,” ujar Yenti Garnasih, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, pada Kamis, 29 Agustus lalu.
Menurut anggota Panitia Seleksi, Hamdi Muluk, tak ada keharusan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyerahkan hasil psikologi yang mereka lakukan. Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengaku bisa memahami keinginan ARA. Sebab, menurut dia, bahan uji yang hendak mereka ulang merupakan parameter penting untuk mengukur profil para kandidat. Dengan cara itu, ARA dapat memiliki gambaran utuh untuk membuat interpretasi dan penilaian. “Karena ARA tidak puas dengan scaled score (angka skala) itulah mengapa tes tersebut harus diulang,” katanya.
Yanti Munthe, Direktur PT ARA Indonesia, enggan menjelaskan alasan lembaganya mengulang tes psikologi. “Yang paling berwenang menjelaskan hal ini adalah Panitia Seleksi. Saya tidak dalam posisi memberi informasi,” ujar Yanti.
Ditemui Tempo, lima kandidat calon pemimpin KPK yang mengikuti tahapan tes tersebut mengatakan pertanyaan dan bahan tes psikologi dalam tahapan penilaian profil sama persis dengan psikotes yang digelar Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat. Mereka menyebutkan tes psikologi mubazir. Tes psikologi oleh pihak TNI Angkat-an Darat digelar di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Sekretariat Negara di Cilandak, Jakarta Selatan, pada akhir Juli lalu. Dari 104 kandidat, hanya 40 orang yang dinyatakan lolos untuk mengikuti penilaian profil.
Hamdi Muluk mengatakan rangkaian seleksi tahap psikotes ataupun penilaian profil memiliki tujuan berbeda tapi saling melengkapi. Tahapan psikotes berguna meng-ukur aspek psikologis para kandidat. Hasil akhirnya akan memberi gambaran tingkat kecerdasan, penalaran, kemampuan analisis-sintesis, integritas, kepribadian, ataupun stabilitas emosi seseorang. Metode yang dipakai hanya meminta setiap orang menjawab daftar pertanyaan dan lembar jawaban.
Menurut Hamdi, tahapan psikotes merupakan saringan awal. Untuk mengukur aspek yang lebih halus dari kepribadian setiap kandidat, kata dia, diperlukan tahapan seleksi tambahan berupa penilaian profil. Instrumen ini mengobservasi kepribadian melalui serangkaian kegiatan simulasi penugasan dan grup diskusi. “Fokusnya menilai aspek kepemimpinan, kerja sama, kemampuan mengambil keputusan, dan inovasi,” ujar Hamdi.
Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, me-ngatakan pengulangan tes psikologi ini tak lazim. Menurut dia, ketika ia meng-ikuti seleksi pemimpin KPK dan proses-proses sebelumnya, tahapan tes psikologi dan tahap-an penilaian profil disatukan dan pelaksanaannya dikerjakan oleh satu vendor atau assessor. Selain memudahkan proses seleksi, kata dia, metode itu dianggap lebih efisien dan menghemat anggaran. “Setiap kandidat dan lembaga assessor cukup bertemu muka dalam satu tahapan,” ucapnya.
Bukan hanya soal tes psikologi yang diulang, sejumlah tahapan seleksi juga disebut bermasalah. Saat tahap penulisan makalah, misalnya, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono mengaku kesulitan menyelesaikan tugas. Itu karena laptop yang ia gunakan terhitung tidak standar. Komputer jinjing yang disediakan Panitia Seleksi, menurut dia, memiliki papan keyboard yang tak lazim. “Ada belasan laptop serupa yang digunakan peserta lain,” ujar Giri, yang terpental di tahapan penilaian profil.
Dampak penggunaan laptop yang ia rasakan cukup serius. Selain harus beradaptasi dengan tampilan desain keyboard, sejumlah tombol tak berfungsi sesuai dengan peruntukan. Ketika ia menyentuh tanda baca titik, tampilan di layar berubah menjadi koma. Ada pula penempatan kata dan tulisan yang sering meloncat-loncat. “Masalah seperti ini memakan hampir sete-ngah waktu yang disediakan. Syukurnya saya masih bisa menyelesaikan makalah sepuluh halaman,” tuturnya.
Giri juga mempersoalkan cara kerja Panitia Seleksi dalam sesi presentasi dan wawancara makalah. Sebab, menurut dia, orang yang ia hadapi bukanlah tenaga profesional yang menguasai persoalan seputar isu pemberantasan tindak pidana korupsi. Tenaga penguji yang disiapkan semuanya adalah psikolog rekanan Panitia Seleksi. “Mereka tidak menguasai substansi makalah yang dibuat para peserta. Bagaimana mungkin bisa memberi penilaian yang fair?” katanya.
Sejumlah peserta juga mempersoalkan pengawasan saat proses seleksi berlangsung. Dua kandidat yang masuk 20 besar mengatakan kepada Tempo bahwa bebera-pa di antara mereka bisa leluasa meminta ajudannya keluar-masuk ruangan untuk meladeni kebutuhan ringan, seperti meng-ambil alat tulis.
Ada pula yang terpantau menggunakan telepon seluler selama dalam ruangan padahal hal itu dilarang. Bahkan, ketika tes psikologi, ada beberapa calon yang sudah mematikan komputernya, lalu kembali dan menyalakannya lagi. Beberapa peserta mengaku melihat peserta lain menggunakan earphone. “Anehnya, Panitia tidak memberi peringatan kepada mereka,” ujar sumber tersebut.
Saat tahapan penilaian profil, sejumlah kandidat mengakui dipantau oleh polisi. Beberapa calon mengaku mendapat lapor-an dari tetangga mereka bahwa ada orang yang bertanya mengenai sosok mereka, terutama menyangkut ada atau tidak hubung-annya dengan lembaga Islam garis keras. Tapi calon lain justru tidak mendapat perlakuan seperti itu.
Yenti Garnasih mengatakan Panitia Seleksi memang melibatkan sejumlah lembaga, seperti kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan Badan Nasional Penanggulang-an Terorisme, untuk melacak rekam jejak calon dalam tahapan penilaian profil. Dia membantah ada permasalahan ketika proses seleksi. Semua tahapan seleksi, kata Yenti, sudah sesuai dengan prosedur. Termasuk pengawasan yang dilakukan pihaknya. Dalam setiap seleksi, anggota Panitia Seleksi akan memantau proses tersebut. “Alhamdulillah semua sesuai dengan rencana,” ujar Yenti.
RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo