Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kurang tapi Melenggang

Sejumlah calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak diunggulkan lolos hingga tahap akhir. Tergagap saat uji publik.

31 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANYAAN Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Ko--misi Pemberantasan Korup-si Yenti Garnasih mengenai tindak pidana pencucian uang membuat Gracia Sri Handayani gelagap-an. Calon pemimpin KPK dari unsur kepolisian berpangkat brigadir jenderal itu tak bisa menjelaskan penerapan pasal tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. “Saat penyidikan tentu harus sudah menyiapkan itu,” kata Yenti saat wawancara dan uji publik calon pemimpin KPK di Sekretariat Negara pada Kamis, 29 Agustus lalu.

Tahap wawancara dan uji publik yang diikuti 20 peserta ini merupakan rangkai-an akhir tes sebelum panitia menyetor sepuluh nama kepada Presiden Joko Widodo. Mereka berhasil lulus dari serangkaian tes, seperti administrasi, psikologi, kompetensi, dan penilaian profil. Sri bersama 19 peserta lain telah menyingkirkan 356 pendaftar.

Sri menjawab bahwa ketentuan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Ia menga-ku tidak begitu mendalaminya. Namun mantan Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat tersebut mengklaim tahu bahwa subyek inti tindak pidana pencucian uang (TPPU) adalah pelaku tindak pidana korupsi. Gemas terhadap jawaban Sri, Yenti kembali melontarkan pertanya-an. “Saya ingin bertanya, walau bukan ujian, unsurnya apa saja dalam TPPU? Pasal 3, 4, 5 unsur-unsur TPPU?” ujarnya.

Dalam responsnya, Sri menyebutkan unsur TPPU berdasarkan undang-undang tersebut terkait dengan masalah korupsi, yakni penyuapan. “Kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut termasuk TPPU, yang di dalamnya ada pasal 2. Di situ kami baru mendalami dan baru mempelajari Undang-Undang TPPU,” ucap Sri.

Mendengar jawaban itu, Yenti mengaku bingung. “Saya mendengarkan itu malah makin mumet. Secara singkat TPPU itu apa dan bagaimana? Karena penyidik harus mencari bukti-bukti itu,” tutur -Yenti. Jawaban Sri serupa dengan pernyataan se--belum-nya. “Orang itu melakukan pencuci-an uang di luar, baru balik lagi,” kata perem-puan yang baru menjabat Kepala Biro Perawatan Personel Staf Sumber Daya Manusia Kepolisian RI per Agustus 2019 tersebut.

Putus asa, Yenti menyudahi pertanyaannya dan melemparkan kesempatan bertanya kepada anggota panitia seleksi, Al Araf. Direktur Imparsial itu mencecar Sri soal makalahnya mengenai analisis hotspot dan SWOT atau strengths, weaknesses, opportunities, and threats dalam mencegah korupsi. “Bagaimana penggunaan konsep analisis hotspot?” Al Araf bertanya.

Sri mengatakan hotspot adalah titik panas atau titik yang berpotensi menimbulkan korupsi. “Hotspot di makalah saya, eva-luasi strategi penanganan korupsi, ada titik panas yang berpotensi menimbulkan korupsi,” ujar perempuan 57 tahun itu. Al Araf meminta Sri menjelaskan pernyataan yang tertuang di makalah bahwa ia akan menindak grand corruption.

Namun Al Araf masih tak puas mende-ngar jawaban Sri hingga mempertanyakan keaslian pembuatan makalah itu. Sri beralasan kesibukannya sebagai Wakil Kapolda Kalimantan Barat satu tahun empat bulan terakhir membuatnya tak bisa berfokus mengerjakan makalah.

Persoalan yang ditemukan pada Sri ini juga terjadi pada kandidat lain, Neneng Euis Fatimah. Mantan Kepala Pusat Layan-an Pengadaan Secara Elektronik Kementerian Keuangan itu dalam makalahnya menyatakan ingin menjadikan KPK sebagai lembaga kelas dunia. Namun, saat panelis wawancara dan uji publik, Meutia Ghani-Rochman, meminta elaborasi pernyataan itu, Neneng tak bisa menjawab lugas. “Agar korupsi tak boleh dilakukan oleh negara mana pun,” kata Neneng. Meutia mempertanyakan apakah yang berkelas dunia lembaganya. “Jadi bukan agensinya? Anticorruption agency maksudnya?” Neneng menjawab KPK dan sumber daya manusianya yang harus bertaraf dunia.

Kurang tapi Melenggang/TEMPO/Dian Triyuli Handoko

Panelis lain, Luhut Pangaribuan, lantas bertanya mengenai Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNCAC. “Tahu UNCAC? Isinya tahu? Apakah sudah diratifikasi?” Neneng hanya menjawab sudah tahu tanpa mengelaborasi jawabannya. Ia berdalih sudah membaca hasil konvensi itu tapi belum mendalaminya.

Lemahnya pengetahuan Sri dan Neneng mengenai tindak pidana korupsi sudah terlihat sejak tahap penilaian profil atau profile assessment. Saat itu jumlah peserta masih 40 orang. Dalam seleksi tahap keempat di gedung Lembaga Ketahanan Nasional pada 8-9 Agustus lalu itu, semua peserta kembali diminta mengikuti tes psikologi, wawancara dengan psikolog, dan permain-an. Peserta juga harus membuat makalah dan mendiskusikannya dalam kelompok kecil yang diisi enam-tujuh orang.

Ketika itu, Sri Handayani satu kelompok dengan Roby Arya Brata, Jimmy Muhamad Rifai Gani, Supardi, Sujanarko, dan Eko Yu-lianto. Dari kelompok ini, hanya Eko yang terpental. Padahal, menurut salah seorang peserta, Eko, yang merupakan auditor Badan Pemeriksa Keuangan, lebih mema-hami tindak pidana korupsi ketimbang Sri ataupun Jimmy. “Sri pasif saat diskusi, tidak punya gagasan,” kata peserta tersebut. Bah-kan perempuan yang dua kali menjadi ke-pala kepolisian resor di Jawa Tengah dan Wa-kil Kepala Polres Metro Jakarta Selatan itu tak begitu bisa menggunakan komputer.

Demikian pula Neneng Euis. Mantan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubung-an Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak itu satu kelompok dengan Kepala -Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri; Direktur Gratifikasi KPK Giri Su-prapdiono; mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki; Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak; serta mantan Wakil Kepala Pusat Pelapor-an dan Analisis Transaksi Keuangan, Agus Santoso. Giri, Suparman, dan Agus, yang malang-melintang di sektor penegakan hukum, justru terpental. Wakil Ketua KPK Lao-de Muhammad Syarif juga kandas pada tahap ini. “Saat diskusi, Pak Firli memang menguasai isu. Kalau Neneng ba-nyak diam tapi justru lolos,” ucap peserta diskusi tersebut.

Giri mengatakan presentasi makalah tidak melibatkan profesional, hanya psikolog yang tidak memahami substansi. “Dalam diskusi grup ada yang pasif, tidak punya ide. Ada juga yang tidak setuju operasi tangkap tangan, tidak setuju penanganan korupsi, menyalahkan calon pimpinan lainnya, justru mereka lolos,” ujarnya.

Ihwal banyaknya kandidat yang lolos ke tahap 20 besar tidak memahami substansi tindak pidana korupsi, anggota panitia seleksi, Hendardi, berdalih penilaian profil dilakukan vendor. “Bukan kami. Itu kan banyak tesnya, aspeknya, tidak cuma diskusi kelompok. Ada wawancara psikolog yang lebih ke kejiwaan,” katanya. Ia menye-butkan seleksi untuk tahap sepuluh besar nanti bakal lebih ketat karena panitia juga akan mencantumkan hasil penelusuran rekam jejak kandidat dari masyarakat, KPK, PPATK, Polri, Badan Intelijen Negara, dan lainnya.

LINDA TRIANITA, MUSTAFA SILALAHI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus