Dompak dituduh meracun seorang anggota polisi. Nah, kemudian terjadilah cerita penyiksaan itu. CERITA tahanan yang didera di kantor polisi seperti tak pernah tamat. Cerita ini terungkap dari mulut Dompak Siagian, 26 tahun. Dukun bujangan yang pekan-pekan ini akan divonis Pengadilan Negeri Lubukpakam sebelumnya babak belur dihajar sebelas anggota Polsekta Pancurbatu, Medan, tanpa belas kasihan. Akibatnya, Dompak kini agak tuli. Matanya lamur. Bila mengunyah sesuatu, terasa sakit. Kemaluannya perih jika kencing. Engsel bahu kiri lepas. Tulang dada, jari kelingking, dan tapak tangan patah. "Hingga kini ia suka muntah darah," ujar Ramlin Barus, pengacara Dompak, dari LBH Medan. Jika dakwaan jaksa benar, Dompak memang pantas dihukum. Ia dituduh mencoba membunuh Sersan Mayor Karel Sirait, anggota Polda Sum-Ut, pada 24 Juli 1990 lalu. Hubungan Dompak dengan Karel mula-mula karena urusan "jimat". Dompak menolong memasangkan "penangkal" di rumah Karel, agar tempat kediamannya itu tak dibobol maling seperti pernah terjadi pada 1988. Namun, ternyata, sejak itu Karel sering cekcok dengan istrinya. Untuk itu lagi-lagi Dompak diminta membuat "obat pengasih" dengan imbalan uang Rp 835 ribu, dan 227 gram emas perhiasan. Singkat kata, seperti disebutkan Jaksa Rita Rosmiathy dalam dakwaannya, mereka pergi ke lapangan pacuan kuda Tuntungan, dekat Medan. Di situlah Dompak memberikan "obat" kepada Karel. Ramuan pengasih yang terbuat dari plastik berisi tepung dan cairan dalam botol plastik serta botol coca-cola itu diminta Dompak agar diminum Karel. Ternyata, minuman itu bereaksi. Mulut Karel panas. Bahkan sakit dan berdarah. Lidah dan bibirnya terasa bengkak. Sambil menahan sakit Karel berlari ke perkampungan penduduk dan minta tolong. Ia menceritakan bahwa Dompak telah mengerjainya dengan mistik. Karel segera dilarikan ke Rumah Sakit Polda Sum-Ut. Sementara itu, karena tak melihat jalan lain, Dompak pun kabur. Namun, berniat hendak melihat keadaan Karel, hari itu juga Dompak muncul ke Kantor Polsekta Pancurbatu. Nah, saat itulah polisi langsung menahannya. Tangan dan kakinya digari dan diikat. Prosesi penyiksaan pun berlangsung. Semua anggota tubuhnya dipukuli dengan besi dan pentungan. Ia juga diterjang dan diinjak. Penyiksaan babak kedua berlangsung esok harinya. Seorang tamtama polisi, T.H. Hutagaol, menendang perut Dompak dan mengantukkan kepalanya ke dinding sel. Karena menolak mengisap kemaluan Hutagaol, Dompak dikencingi laiknya comberan. Puncaknya, Dompak disalib dengan merentang tangannya ke terali besi tahanan. Saat itu pulalah Dompak, yang tak lagi berdaya, dipukuli dan ditendang bak bola. Dalam keadaan sekarat itulah Dompak diobati seorang dukun. "Ia lalu dipaksa menandatangani BAP," kata Ramlin, pengacaranya. Tak heran jika di depan hakim Pengadilan Negeri Lubukpakam, yang bersidang di Pancurbatu, ia menyangkal dakwaan jaksa. "Saya tak berniat mencelakainya," kata Dompak, atas pertanyaan hakim. Ia mengaku obat minuman itu tak berbahaya. Lagi pula, ketika ditahan polisi, ia pernah diminta meminumnya. "Ternyata, saya tak apa-apa," kata Dompak. Namun, menurut keterangan saksi ahli, Ir. Tarsim Tarigan, dari Laboratorium Kriminal, ramuan itu ternyata mengandung asam cuka dan soda api. Ini diperkuat dr. Yetti Arifin, yang memeriksa Karel dan mengeluarkan visumnya. Di situ disebutkan ramuan tersebut berdosis tinggi, yang jika masuk dalam perut dapat mengakibatkan kematian 90 hingga 100 persen. Perbuatan Dompak -- jika benar -- yang dituntut jaksa dengan hukuman 9 tahun memang terbilang perbuatan jahat. Tapi bukankah penganiayaan yang dilakukan kesebelas oknum polisi itu jika benar juga tak kalah sadistisnya. Kadispen Polda Sum-Ut, Letnan Kolonel Yusuf Umar, membantah keras cerita Dompak itu. "Jika benar disiksa seperti itu, mungkin ia sudah mati," kata Yusuf pada TEMPO. Lagi pula, katanya, kesebelas polisi itu sudah diperiksa dan tak terbukti melakukan penganiayaan. Bersihar Lubis dan Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini